Ketentuan Pidana Undang Undang Hak Cipta Indonesia saat ini dinilai mengalami masalah yuridis. Masalah yuridis tersebut dapat dilihat adanya kontradiksi terkait kewenangan wilayah yurisdiksi hukum antara pengadilan niaga atau pengadilan umum jika terjadi sengketa hukum terkait hak cipta di Indonesia.
Karena, didalam formulasi rumusan disebutkan dalam tekstual pasal, disebutkan hanya pengadilan niaga Pengadilan yang memiliki kewengan mengadili, namun dipasal lain, Pengadilan umum juga bisa mengadili bahkan dapat menuntut ganti rugi secara pidana.
Fakta ini terlihat rancu, karena kontradiksi pasal menyulitkan dalam proses aplikasi UUHC diruang lingkup pengadilan. Dampaknya, tak jarang pelaku tindak pidana banyak yang dituntut bebas karena selain masalah yuridis tersebut pemahaman hukum penegak Hukum tentang wawasan khusus tentang Hukum hak cipta belum dipahami secara merata.
Hal itu dikatakan Dr. Edi Ribut Harwanto, SH MH, pakar Hukum pidana Ekonomi dan HAKI Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Metro, Lampung, saat dimintai tanggapan wartawan atas diterbitknya Buku edisi ke -5 Di Jakarta malam ini Senin (20/7).
Dr. Edi alumni Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP Semarang yang juga pengacara Label besar Nagaswara, mengatakan, ” Hal krusial yang tidak diatur dalam UUHC Indonesia adalah, tidak diaturnya sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pembajakan atau pengandaan atau pencurian hak cipta tanpa izin yang dilakukan oleh korporasi,”ungkapnya.
Doktor Edi memberikan masukan kepada pembuat UUHC agar kedepan dilakukan reformulasi ketentuan pidana bagi korporasi, sanksi pidana tambahan korporasi, saksi pidana ganti rugi pidana bertentangan KUHAP, harus ada kejelasan kualifikasi deliknya, yurisdiksi Pengadilan.
Semua hal itu harus jelas dan tersingkronisasi dengan kesatuan system hukum pidana secara nasional. Diperlukan harmonisasi kesatuan system pidana, sehingga acuan jangan menyimpang dari aturan umum di buku I KUHP. Dan, kalaupun menyimpang dan akan mengatur secara khusus harus dijelaskan dalam pasal pasal khusus secara terpisah dan jelas.
Suatu contoh, dalam ketentuan pidana, UUHC ketentuan pidana terhadap pelaku pembajakan atau pemakaian hak cipta di kanal YouTube oleh Yuotuber Black Corporation and Individual tanpa izin, pemilik hak cipta, pemegang hak cipta, hak terkait dan pelaku pertunjukan, hanya disebut sebagai pelangaran pidana namun frasa kalimat pelanggaran menyatu dalam pasal pasal ketentuan pidana tidak disebut secara khusus dalam pasal yang lain.
“Bahwa dalam Buku I KUHP sudah ditentukan berapa ancaman hukuman pidana bagi tindak pidana pelanggaran maksimal dibawah 2 tahun, namun dalam UUHC disebut dalam ketentuan pidana saksi pelanggaran tindak pidana pembajakan sampai 10 tahun penjara yang mana saksi hukuman penjara ini masuk dalam rumpun kejahatan bukan pelanggaran, “paparnya.
Ditambahkannya,”Fakta ini menimbulkan masalah yuridis yang saya maksud, dalam aplikasi dan eksekusinya dilapangan dan hal ini merugikan para seniman Indonesia,”ucap Dr. Edi yang menjabat kepala Laboratorium Fakultas Hukum UMM. (Dohand)