Selalu ada yang menarik setiap bertemu senior. Layaknya ketemu mentor. Juga saat datang ke peringatan hari ulang tahun ke-60 SMP N 1 Pengasih (d/h SMP N 2 Wates).
Ketemu teman seangkatan, teman satu perjuangan walau beda kelas. Alhamdulillah. Semua sudah sukses di bidangnya masing-masing. Termasuk Mas Triyanto Raharjo yang kini menjadi Panewu Pengasih setelah sebelumnya memimpin Kapenewon Samigaluh.
Lalu ada Mbak Titik yang memilih berkarir menjadi pendidik, kembali menggabdi ke almamater. Saat ini, Mbak Titik menanjak karirnya menjadi pengawas. Ada pula Mas Salamun. Setelah terpisah sejak 1984 lalu, baru tahu, beliau juga berkarya di SMP N 1 Pengasih.
Momentum bertemu konco lawas itu, menjadi semakin haru-biru, setelah kami bisa berfoto bersama di depan sekolah. Lengkap dengan Pak Muhammad Sohin, Kepala Sekolah saat ini.
Pada tulisan sebelumnya, saya kisahkan pembentukan paguyuban alumni Lutessih 2.1 yang bertepatan dengan peringatan 60 tahun sekolah. Lalu, setelah sambutan demi sambutan yang saya simak dengan tekun, nama saya disebut.
Saya diminta ikut memberi sambutan. Peristiwa ini benar-benar mengejutkan. Bukan soal tidak biasa memberi sambutan, tapi ini, di sekolah yang dulu saya tak begitu dikenal. Sambil melangkah, saya berfikir keras, apa yang mesti saya sampaikan. Itu sama sekali tidak pernah terjadi. Biasanya saya serba pede saja berbicara di depan forum apapun.
BACA JUGA: NKS Menulis Pengasih: Lutessih, Wadah Berterimakasih
Tapi kini, di depan para tokoh Lutessih 2.1, Kepala Sekolah, para guru, dan alumni, saya grogi. Persis seperti saya grogi, lebih dari 30 tahun lalu, saat disuruh maju ke depan untuk menyanyi.
Ya sudah. Untuk menyelamatkan diri, menghilangkan grogi, sambil mengingat-ingat masa lalu, saya menyampaikan rasa kebahagiaan. Bahagia bisa berada di acara lustrum ke-12 SMPN 2 Wates yang sekarang berganti nama dengan SMPN 1 Pengasih.
Syukurlah, setelah grogi pergi, kemudian bertemu ingatan tahun 1981, saya bisa agak lancar bercerita. Sampai tahun 1984, yang saya selalu ingat adalah semangat. Beruntunglah saya, memiliki semangat khas Nganjir yang pantang mlintir.
Saat masuk SMPN 2 Wates di Pengasih itu, saya terlempar ke kelas 1.D. Tahun 1981, posisi kelasnya sangat strategis. Dekat dengan sawah yang ditanamani tebu. Rasa-rasanya, bagi kami waktu itu, tebu-tebu yang seperti melambai-lambaikan tangan dari luar jendela, terasa ranum. Cemolong.
Dan, benar. Lebatnya kebun tebu, memberi kenangan yang tak terhapuskan. Bukan drama, jika saya sebut, peristiwa itu, menjadi sangat ikonik saat ini. Sebab, sama sekali tidak pernah saya bayangkan, akan terjadi.
Apa yang terjadi? Ini ada urusannya, dengan tebu-tebu yang cemolong tadi. Ya dasarnya anak SMP, suatu hari, rasa dahaga ditambah iseng, membawa kami ke tengah kebun tebu. Hari itu, sepertinya, sudah tidak ada yang tahan, hanya digoda angan tentang manisnya air tebu, di tengah siang yang membakar di Pengasih.
BACA: NKS Menulis Sewu Kutho: Mengenang Mas Kempot yang Rela Repot
Ramai-ramai, kami meninggalkan kelas. Untung ramai-ramai, kalau sendiri-sendiri, saya pasti tidak berani. Begitu saja, kami sepakat membuat prakarya berupa lingkaran di tengah-tengah kebon tebu. Sehingga, tidak ada yang tahu apa yang kami perbuat, karena seolah kebun tebu aman, meski sebenarnya di bagian tengah tinggal serpihan pohon tebu yang sudah kami braktoti.
Ulah bocah yang ora genah itu, jadi perkara. Kemarahan pemilik tebu membuncah. Mengadu pada guru, menuntut pertanggungjawaban. Akhirnya, kami satu kelas disidang meski tidak ada yang benar-benar dihukum, selain dinasehati.
Saya sering tertegun, setiap kali mengingat peristiwa memalukan yang sama sekali tidak pernah bia dihapuskan itu. Jadilah, mendapat kesempatan berdiri di depan guru dan para alumni tanggal 1 Agustus 2020 itu, saya manfaatkan untuk meminta maaf.
Saya juga mengucapkan terimakasih untuk kesabaran yang luar biasa para guru, yang saat itu, tidak benar-benar menghukum kami. Mendidik bukan hanya mengajari untuk mengerti berbagai pelajaran, tapi juga mengajari tentang berbudi pekerti.
Selain cerita tentang nyolong tebu ramai-ramai, saya juga mengakui, selama di SMPN 2 Wates dari tahun 1981 sampai dengan 1984, saya termasuk anak minder. Saya selalu iri pada teman-teman yang mulai mengenal rasa senang satu sama lainnya. Sepertinya semangatnya sangat tinggi mereka untuk bersekolah karena alasan ingin saling bertemu.
Saat itu, saya juga punya semangat ingin bertemu, namun dengan guru dan pelajaran. Walau anehnya kalau gurunya pas tidak bisa mengajar, senangnya luar biasa.
Untuk bisa bertemu guru, jarak bukan masalah. Jauh menjadi mudah tempuh, karena simbok selalu mbombong untuk menyongsong masa depan, seberat apapun lelaku yang harus dilewati. Saya menurut, bukan karena paham dengan yang dingendikake simbok, tapi karena memang tidak ada pilihan.
Jadilah, tiga tahun nglajo Nganjir-Pengasih, tak merasa perih. Kadang mengayuh sepedah, tapi lebih sering bermandi peluh, karena harus jalan kaki. Semua dijalani dengan sumringah, tanpa keluh, apalagi misuh.
Sebagai penghibur, karena minderan, saya akhirnya bertemu dengan matematika. Pelajaran ini, seperti memberi kesenangan baru. Saya selalu semangat berjalan kaki Nganjir-Pengasiih, karena ingin bertemu matematika. Di sini, di SMPN 2 Wates di Pengasih, saya benar-benar menemukan matematika sebagai cinta pertama saya.
Saya masih ingat beberapa nama guru, salah satunya adalah ayahanda Mas Triyanto. Beliau, dikenal oleh murid-muridnya sebagai guru yang tegas. Kata tegas, sangat bisa jadi, hanya penghalusan dari kata galak, saya tidak tahu.
Beda dengan ayahnya yang dikenal galak (tapi saya tidak pernah melihat kegalakan beliau selama menjadi murid), Mas Triyanto yang saya kenal, justru nglembah-manah, meski kadang tegas juga. Sahabat saya ini (walaupun beda kelas) yakinlah, yakinlah, tidak pernah membayangkan bahwa masuk SMPN 2 di pengasih adalah jalan untuk mengenal kota kecamatan itu, sebelum kini memimpinnya, menjadi orang nomor satu di Kapenewon Pengasih.
Meski saya senang matematika, tapi yang apes, saya bukan yang benar-benar jago matematika. Saya tetap murid yang biasa-biasa saja. Itu yang membuat saya sering ngenes, karena tak banyak sahabat yang mengingat saya, bahkan sampai saat ini.
Teman-teman saya sendiri itu, biasanya baru ngeh tentang Sumarjono itu yang mana, setelah membentuk grup WA. Memang, selain minderan, saya juga kuper. Tak banyak teman, karena saat pulang sekolah, tak banyak waktu untuk bermain. Membantu mengurus ternak dan berbagai pekerjaan di rumah untuk meringankan tugas orangtua yang berprofesi sebagai tani dan penderes.
Walaupun bukan murid yang menonjol pada matematika, tapi menyenangi pelajaran ini, menjadi modal sangat besar, bagi jalan hidup saya berikutnya. Kesukaan pada matematika berlanjut saat ke bangku SMA.
Saya sempat kaget. Saat masuk SMAN 1 Wates, teman-teman saya tak banyak berganti, karena (ini yang luar biasa) sebagian besar sudah saya kenal karena sama-sama dari SMPN 2 Wates. Saya yakin, kualitas itu, terus menjadi tradisi hingga kini: lulusan SMP N 1 Pengasih mendapat SMA favorit di Kulon Progo ini.
Di SMA Negeri 1 Wates, saya juga masih meneruskan tradisi selama di SMP Negeri 2 Wates. Tradisi menjadi murid yang minderan, kuper, dan tidak terkenal alias biasa-biasa saja. Saya bisa tertolong masuk kelas A1 atau fisika, karena matematika yang saya sukai.
Rupanya, matematika yang saya senangi sejak di SMPN 2 Wates yang dilanjutkan di SMAN 1 Wates, membawa saya pada peruntungan yang lain. Jika siswa yang lain mengambil UGM, UNY, UNDIP atau UNS atau ITS, saya justru mencari tempat yang agak jauh. Bandung. Saya diterima di Jurusan Matematika ITB.
Beberapa tahun kemudian, setelah bekerja di Kemenkeu, saya mendapat fasilitas khusus fast track belajar ke Luar Negeri. Dan alhamdulillah mengambil matematika dengan konsentrasi aktuaria Oregon State University. (bersambung)