Oleh: Ahmad Doli Kurnia Tandjung (Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat RI)
Indonesia pada Maret ini kedatangan group K-Pop dunia asal Korea Selatan, Blackpink. Rasanya tak ada kaum Milenial maupun Gen-Z yang tidak kenal dengan group ini. Antusiasme ditunjukkan Blink dengan konser kali ini, di mana tiket konser di Gelora Bung Karno, 11 Maret,sold out pada November lalu.
Tak hanya di Indonesia, gempuran K-Pop juga melanda dunia, menjadi virus global. Sepintas tak ada yang salah jika kaum muda Indonesia mengidolakan Blackpink, BTS, atau group musik dari negara mana pun. Mereka punya pilihan. Namun di saat yang sama, sebagai bagian dari anak bangsa, kita harus mendorong agar generasi muda mencintai karya anak bangsa.
Entah kebetulan atau tidak, di tengah tsunami musik Korea, tidak ada group musik milenial lokal yang cukup menggema. Kita pernah memiliki banyak group bandlegend, semisal Slank, Dewa-19, Noah, Gigi, Mahadewi, sampai BIP. Namun, mereka semua berasal dari generasi 1980-an sampai 2000-an awal.
Selepas itu tidak ada band ikonik yang bisa bersaing dengan penyanyi-penyanyi dari luar negeri. Di sini perlu digaris bawahi bahwa kita tidak sedang membangun nasionalisme sempit atau xenopobia. Yang ingin kita dorong, behavior anak muda untuk mengenal, memahami dan mencintai musik nasional.
Dalam jangka panjang, dengan mencintai musik sendiri, maka kebanggaan kepada karya anak bangsa akan membuncah. Itulah salah satu aktualisasi spirit nasionalisme di era modern.
Hubungan musik dan politik tidak terpisahkan, begitu sejarah menulis. Setidaknya itu terlihat dari karya-karya Ismail Marzuki yang menggugah rasa nasionalisme kita. Lagu Gugur Bunga, Rayuan Pulau Kelapa, Juwita Malam, Indonesia Pusaka, dan masih banyak lagi, seolah menegaskan bahwa musik bisa menjadi media propaganda untuk membangun apa yang disebut Bennedic Anderson sebagai imaginer Community. Suatu kondisi yang membuat kita di Aceh sampai Papua—yang jaraknya sama dengan Istambul ke London, belasan negara di Eropa—namun seolah sangat dekat sebagai sesama anak Indonesia.
Tentu saja kita tidak memaksa anak-anak muda meng-copy apa yang dilakukan Taufik Ismail. Tantangan setiap zaman tentu berbeda. Namun ada satu yang (selalu) sama, benang merahnya, bahwa lagu dan musik bisa menginspirasi dan meningkatkan rasa kebangsaan, kapan pun.
Propaganda
Sebagaimana ditulis oleh Sastropoetro (1983) bahwa musik atau lagu-lagu perjuangan digunakan sebagai alat komunikasi massa untuk melawan propaganda musuh. Saat revolusi kemerdekaan, Jepang melancarkan propaganda melalui lagu-lagu patriotik yang mendukung kebijakan kolonialisme mereka di Asia.
Setelah janji-janji Jepang tak dipenuhi, para seniman tanah air melawan dengan memproduksi lagu-lagu patriotik, yang kita kenal dan kenang sampai sekarang. Saking pentingnya peran para seniman dalam propaganda dan perjuangan kemerdekaan, Soedarsono dalam bukunya “Seni Pertunjukan di Era Globalisasi”, 1998, menyebut mereka sebagai art of participation. Atau seni melibatkan diri dalam perjuangan.
Lalu bagaimana cara mentransfer semangat musik perjuangan tersebut di era kini yang tentu saja dengan tantangan berbeda?
Pertama, stakeholders industri musik harus memikirkan bagaimana caranya membuat musik lokal, musisi dalam negeri menjadi tuan di negeri ini. Tak bisa kita berhenti dan meratapi nasib.
Pemerintah harus membantu, namun leading sector dalam kegiatan kreatif menjadi domain para musisi dan industri musik. Meski kita risau dengan dominasi K-Pop di dunia, namun kita juga perlu belajar dari mereka. Khususnya terkait metode menciptakan ikon musik populer di era modern melalui cara yang benar, bertahap, bukan sim-salabim.
Dari pengamatan penulis beberapa kali ke negeri Gingseng tersebut, tempaan untuk para artis dan musisi di sana sangat ketat, bahkan bisa dikatakan mendekati semi-militer. Tidak ada musisi atau penyanyi yang ujug-ujug tampil dan terkenal. Semua berjuang dari bawah dengan kompetisi ketat, dengan produk akhir menghasilkan karya-karya besar. Tak heran K-Pop bahkan bisa merajai hingga ke Eropa dan AS, negara yang puluhan tahun menjadi kiblat musik dunia.
Kedua, setelah ikon musik terlahir kembali, kita bisa memanfaatkan previledge tersebut lalu mengisinya dengan pesan-pesan Pancasila, Kebhinekaan, Religiusitas, dan Kebangsaan, melalui pendekatan kekinian. Cara dan metode dalam konteks ini penting, karena kita harus beradaptasi dengan perkembangan dan perubahan.
Nilai-nilai Pancasila tidak mungkin “didakwahkan” dengan metode old school ala Penataran P-4, karena memang zamannya sudah berubah. Penulis awalnya tidak percaya Pancasila bisa disampaikan dengan cara yang ringan. Selama ini stereotype ideologi negara cenderung dipahami sebagai sesuatu yang formal, bahkan mistik.
Padahal dunia sudah bergerak jauh, seperti Hollywood, Bollywood, K-Pop dan Drakor yang menjual nasionalisme dengan sentuhan baru. Sentuhan nge-pop, rock and rool, bahkan jumping.
Kaum Muda Adalah Masa Depan
Ketiga, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan lembaga terkait harus memompa proses ini agar lebih cepat mengembang. Dalam konteks ini, pengalaman penulis bersama BPIP, kami mencoba mengubah cara pandang budaya menggunakan kaca mata yang lebih lebar. Budaya bangsa adiluhur tidak melulu dimaknai kebudayaan klasik dan tradisional, melainkan juga menyentuh budaya pop yang dekat dengan anak muda.
Kita bahkan memodifikasi “harta karun local wisdom”, baik wayang, produk buaya, pertunjukan, lagu maupun musik dengan sentuhan baru yang relate dengan anak muda. Mengapa kaum muda di tulisan ini selalu diulang untuk kita mention? Tak lain karena merekalah masa depan negeri ini.
Kekuatan musik dalam mengubah kondisi di masyarakat (social change) juga diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sehingga musik digunakan sebagai media akselerasi 17 tujuan dalam Sustainable Development Goals (SDGs). Sebagaimana disampaikan oleh Dr. Natalia Kanem, Executive Director of the United Nations Population Fund, bahwa, “Music is a wonderful medium to raise awareness about our collective quest for peace, justice, equality and dignity – the noble ideals of the United Nations. It is a powerful, unifying language that can help build bridges and advance social justice in all of its forms”.
Musik adalah media yang luar biasa untuk meningkatkan kesadaran tentang pencarian kolektif kita akan perdamaian, keadilan, kesetaraan, dan martabat. Di mana itu semua adalah tujuan yang ingin dicapai oleh PBB. Musik juga merupakan bahasa pemersatu yang kuat, yang dapat membantu membangun jembatan dan memajukan keadilan sosial dalam segala bentuknya.
“You may say I’m a dreamer…. But I’m not the only one……… I hope someday you’ll join us…….. And the world will live as one”, itulah lirik penutup di lagu Imagine yang dinyanyikan John Lennon.
Melalui musik, kita bisa membangun kesadaran baru, perilaku baru, masyarakat baru, dan akhirnya peradaban baru. Selamat Hari Musik!(***)