Rincian Pengelolaan

Memberantas Mafia Tanah,  Mulai Dari  dan Berakhur di Mana (3)

Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH

*Penulis, Notaris tinggal di Sampit.

PADA TATARAN konseptual, dengan memerinci lebih lanjut terhadap Reforma Agraria secara garis besar dapat dikategorikan menjadi empat yaitu, pertama Radical Land Reform, tanah milik tuan tanah yang luas diambil alih oleh pemerintah, dan selanjutnya dibagikan kepada petani tidak bertanah. Kedua, Land restitution, tanah – tanah perkebunan luas yang berasal dari tanah – tanah masyarakat diambil alih oleh pemerintah, kemudian tanah tersebut dikembalikan kepada pemilik asal dengan kompensasi. Ketiga, Land Colonization, pembukaan dan pengembangan daerah – daerah baru, kemudian penduduk dari daerah yang padat penduduknya dipindahkan ke daerah baru tersebut, dan diberi tanah dengan luasan tertentu. Keempat,Market Based land Reform (market assisted land reform), land reform yang dilaksanakan berdasarkan atau dengan bantuan mekanisme pasar.

Pencapaian Tujuan
Institusi teknis yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan Reforma Agraria adalah penguasa administratif pertanahan. Dalam mengemban tugas menyelenggarakan administrasi pertanahan, dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dalam hal ini secara administratif BPN berpedoman pada empat prinsip pertanahan yang memberikan amanat dalam berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat; menata kehidupan bersama yang lebih berkeadilan; mewujudkan keberlanjutan sistem kemasyarakatan; kebangsaan dan kenegaraan Indonesia; serta mewujudkan keharmonisan (terselesaikannya sengketa dan konflik pertanahan).

Di dalam mencapai visi dan misinya, selanjutnya Badan Pertanahan telah menetapkan 11 agenda pertanahan yang terdiri dari ; Membangun kepercayaan masyarakat pada Badan Pertanahan Nasional RI; Meningkatkan pelayanan dan pelaksanaan pendaftaran tanah serta sertifikasi tanah secara menyeluruh di Seluruh Indonesia; Memastikan penguatan hak –hak rakyat atas tanah; Menyelesaikan persoalan pertanahan di daerah- daerah korban bencana alam dan daerah – daerah konflik di seluruh tanah air; Menangani dan menyelesaikan perkara, masalah, sengketa, dan konflik pertanahan secara sistematis.

Pada perspektif lainnya adalah Membangun Sistem Informasi Manajemen Pertanahan Nasional dan sistem pengamanan dokumen pertanahan di Seluruh Indonesia; Menangani masalah Kolusi, Korupsi, Nepotisme (KKN) serta meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat; Membangun basis data penguasaan dan pemilikan tanah skala besar; Melaksanakan secara konsisten semua peraturan perundang-undangan pertanahan yang telah ditetapkan; Menata kelembagaan Badan Pertanahan Nasional RI; Mengembangkan dan memperbarui politik, hukum, dan kebijakan pertanahan (Reforma Agraria).
Berangkat 11 (sebelas) agenda inilah selanjutnya ditetapkan tujuan dari pelaksanaan Reforma Agraria yang terdiri dari tujuh rumusan yaitu Menata kembali ketimpangan struktur penguasaan dan penggunaan tanah ke arah yang lebih adil; Mengurangi kemiskinan; Menciptakan lapangan kerja; Memperbaiki akses rakyat kepada sumber – sumber ekonomi terutama tanah; mengurangi sengketa dan konflik pertanahan; Memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup dan meningkatkan ketahanan pangan.

Mekanisme Reforma Agraria
Secara umum, terdapat tiga mekanisme dasar Reforma Agraria, sesuai dengan kondisi atau kedudukan subyek (petani miskin, buruh tani, atau pengelola tanah) dan obyek ( tanah yang akan diredistribusikan), sebagaimana dapat dicermati pada dokumen Badan Pertanahan nasional Republik Indonesia, yaitu subyek dan objek berdekatan atau berhimpit, mekanisme dengan skenario seperti ini sebenarnya relatif lebih sederhana dan langsung fokus pada ketiga objek tanah dalam Reforma Agraria ini, dengan mengarur tanah kelebihan maksimum; tanah absentee; dan tanah negara lainnya, termasuk tanah tumbuh.

Penyelenggaraan Reforma Agraria dalam skenario ini dapat ditempuh melalui penataan asset atau meredistribusi subjek tanah di atas, serta penguatan akses atau memperbaiki akses petani kepada teknologi baru, mendekatkan pelaku usaha dengan sumber – sumber pembiayaan, serta menyediakan akses pasar dan pemasaran bagi produk yang akan dikembangkan oleh subjek Reforma Agraria, dengan kebijakan, pertama, Subjek mendekati objek. Mekanisme seperti ini diterapkan apabila subjek dan objek berada pada lokasi yang berjauhan. Skema transmigrasi umum dan transmigrasi lokal seperti dengan memindahkan subjek petani miskin dan tidak bertanah dari daerah padat penduduk ke daerah jarang penduduk, serta memberikan atau meredistribusikan tanah seluas dua hektar atau lebih di daerah tujuan kepada subjek Reforma Agraria.
Kedua, Objek mendekati subjek. Mekanisme seperti ini juga diterapkan apabila subjek dan objek berada pada lokasi yang berjauhan. Skema yang sesuai untuk mendekatkan objek kepada subjek dikenal dengan skema swap atau pertukaran tanah yang didasarkan pada strategi konsolidasi lahan atau bahkan bank tanah. Skema ini memang agak rumit karena melibatkan hubungan kepemilikan tanah bertingkat yang tidak sederhana, sehingga perlu dirumuskan secara hati- hati, dengan kelembagaan yang jelas dan berwibawa.

Prinsip Reforma Agraria
Secara garis besar, sebagaimana dapat dicermati paa dokumen resmi dari pemerintah (dalam hal inipihak departemen terkait), terdapat prinsip dalam Pembaruan Agraria. Prinsip dimaksud adalah, pertama, Menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.

Bahwa di dalam kaitan ini hak atas dasar sumber daya alam merupakan hak ekonomi setiap orang. Sesuatu yang menjadi hak setiap orang, merupakan kewajiban/tanggung jawab bagi negara/pemerintah untuk melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhinya (Pasal 69 Ayat (2) UU No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia).

Dalam kaitan dengan prinsip ini, perlu didukung upaya penyempurnaan Pasal 33 Ayat (3) yang saat itu dilakukan oleh PAH I, karena pasal ini yang merupakan landasan bagi hubungan antar negara dengan sumber daya alam (sumber agraria) dan antara negara dengan rakyat. Penyempurnaan rumusan Pasal 33 Ayat (3) didukung oleh perlunya klarifikasi tentang makna ”dikuasai oleh negara” dari segi normatif dan aplikatifnya.

Dalam hubungan ini meliputi 4 (empat) permasalahan mendasar yang memerlukan klarifikasi dimaksud yakni : Kalau negara ”menguasai” sumber daya alam, maka siapa yang sebenarnya berhak atas sumber daya alam itu secara konkret. Apakah makna di balik konsep ”dikuasai” oleh negara. Seberapa luas kewenangan menguasai oleh negara dalam potensi sumber daya alam yang ada di dalam wilayah negara. Bagaimana hubungan antar negara sebagai institusi yang mempunyai kekuasaan atas sumber daya alam, khususnya keagrariaan.

Dari segi empiris, rumusan Pasal 33 Ayat (3) yang penjelasanya amat singkat. Dalam kaitan ini telah diterjemahkan secara longgar melalui berbagai UU yang terkait dengan sumber daya alam, konkretnya seisal tanah, hutan, tambang, dan sebagainya. Dengan demikian terjadi apa yang disebut ”negaraisasi” sumber daya alam dengan segala implikasinya. Antara lain terjadinya semacam benturan yang orientasinya adalah menafikan atau mengenyampingkan hak-hak masyarakat adat/lokal atas `sumber daya alam.

Sebagai misal dapat dirujuk pada Penjelasan UUPA tentang kekuasaan negara terhadap bumi, air, ruang angkasa. Dalam kaitan ini maka implikasinya adalah bahwa ”hak menguasai negara” meliputi : Tanah-tanah yang di atasnya sudah ada hak perorangan Tanah-tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat, hak masyarakat adat, dan tanah-tanah yang di atasnya tidak terdapat hak-hak swebagaimana disebutkan.

Analog dalam hal tersebut di atas jika diorientasikan dengan UU Kehutanan (UU N0 5 Tahun 1967 dan telah direvisi dengan UU No 41 Tahun 1999) dengan segala peraturan pelaksanaannya khususnya hak menguasai negara atas hutan (hutan negara) maka hal itu berarti meliputi kawasan hutan di seluruh Indonesia. Di samping hutan negara, diakui keberadaan hutan milik pribadi atau adat dengan persyaratan tertentu. Namun demikian keberadaan hutan adat tidak diakui karena menurut UU No 41 Tahun 1999 hutan adat adalah kawasan hutan yang berada di atas hutan negara. Hal ini adalah sebagai konsekuensi segala potensi alam dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat.

Dengan demikian makna yang terkandung di dalam Pasal 33 Ayat (3) yang telah disempurnakan akan diperoleh penegasan konseptualisasinya, bahwasanya sumber daya alam merupakan hak bersama seluruh rakyat, dan dalam pengertian hak bersama itu terdapat dua hak yang diakui, yaitu hak kelompok (hak bersama) dan hak perorangan. Bahwa kewenangan negara terhadap sumber daya alam terbatas pada kewenangan pengaturan. Bukan kewenangan kepemilikan atau pembatasan. Pengaturan oleh negara diperlukan karena adanya kekhawatiran bahwa tanpa campur tangan negara akan muncul ketidak adilan dalam akses terhadap perolehan dan pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat.**

About redaksi

Check Also

Ulang Tahun SMSI: Sewindu Mengarungi Disrupsi Multidimensi

Oleh: Firdaus, Ketua Umum SMSI DISRUPSI teknologi kian menjadi-jadi ketika organisasi pers Serikat Media Siber …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap selesaikan captcha sekali lagi.

Eksplorasi konten lain dari www.koranpelita.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca