Niat munggah kaji sudah terpatri di hati. Walau masih entah kapan bisa melangkah ke tanah suci. Tapi saya dan istri sudah mendatangi petugas bank berkerudung yang turut mendukung: membuka rekening tabungan haji.
Tahun itu, tahun 2004. Usia saya dan istri sama-sama di angka 36 tahun. Saya memulai langkah. Mengarahkan jiwa, raga, hati, dan niat ke sebuah bank di Jalan Margonda. Istri terus mengingatkan agar tak salah arah atau justru bank tujuan terlewati tanpa sempat berhenti.
Maklum saat itu belum musim aplikasi yang mengarahkan kemana kita pergi. Tapi sebenarnya saya tahu pasti maksud istri. Ia tak ingin niat naik haji berubah arah.
Urusan membuka rekening haji, tak perlu menunggu waktu. Mungkin ini lantaran memang bukan di kala kebanyakan orang bertransaksi. Tapi bisa jadi ini jalan Illahi yang memudahkan sebuah niat suci. Proses terasa cepat pula saat bank menjalankan kewajiban prinsip know your costumer (KYC).
Sejatinya urusan di bank hanya memindahkan dari tabungan biasa ke tabungan haji. Sesederhana itu. Jadilah, saya dan istri telah memegang buku tabungan haji. Jangan ditanya isi tabungannya. Sungguh hanya setoran minimal. Tapi bertanyalah soal niat, sungguh, sudah benar-benar maksimal.
Saya percaya, naik haji adalah soal niat. Urusan ini, memang menjadi urusan rumit dan berat justru pada urusan niat. Tapi kami sudah berusaha memaku niat sangat kuat. Munggah kaji.
BACA JUGA:
NKS Munggah Kaji-1: Saat Niat Menguat…
Dan, niat itu, membuat waktu bagai berlari. Saking cepatnya waktu berlalu, orang selalu berseru “tahu-tahu”. Jadi, tahu-tahu sudah dua tahun sejak pembukaan tabungan haji itu. Tahu-tahu saya dihubungi pihak bank yang memberi informasi sudah waktunya untuk berangkat munggah kaji.
Saat dihubungi pihak bank itu tahunnya, 2006. Namun, saya memilih berdalih. Bukan hanya jiwa yang merasa belum kuasa memenuhi panggilan secepat itu, tapi yang sebenarnya terjadi, rupiah yang belum melimpah untuk mencukupi pelunasan tabungan haji. Maklum ada cicilan-cicilan yang tak bisa diabaikan.
Jika boleh blak-blakan, di tahun 2006 saya sedang dalam posisi yang tidak terlalu kokoh secara mental spiritual. Ada sebuah kerapuhan layaknya tulang yang kekurangan kalsium. Sepertinya benar apa yang sering disampaikan para ustadz: kadar iman seseorang itu kadang naik kadang turun.
Niat yang kuat di saat awal mendaftar dan membuka tabungan haji dua tahun lalu, kini terkikis sampai menipis. Ini memang soal sebab-akibat. Niat yang melemah tiba-tiba, tidak datang tiba-tiba. Nah, situasi itu, yang menjadi soal. Harus saya akui, saya sedang dalam suasana kecewa. Dada didera rasa merana.
Jadi ceritanya, upaya keras yang sudah saya lakukan tidak mencapai hasil yang diinginkan. Padahal cita-cita itu, sudah lama ada dalam angan-angan.
Sialnya, pada saat kita diperbudak kehendak, kita dibuat tak tertarik dengan majelis ilmu. Ya sudah. Kekecewaan tambah ngladrah. Hidup kian tidak tenang. Hati semakin kering kerontang, jauh dari siraman iman yang sangat dibutuhkan. Padahal, pak ustadz mengingatkan taman surga ada di dalam majelis ilmu.
BACA: NKS Menulis Corvallis 7: Akhirnya, Bayi Vallisa sampai ke Kota Asal Namanya
Jelas tegas. Kombinasi antara kurangnya pundi-pundi rupiah dan fluktuasi kadar iman membuat tawaran pelunasan ongkos haji yang berarti mendapat kursi berangkat haji, tak bisa dipenuhi.
Dengan berjalannya waktu, saya mendapat hikmah dari tak tercapainya impian, angan-angan dan belum dikabulkannya doa. Yang kita kira baik untuk kita, tidaklah demikian menurut Sang Maha Pencipta. Itulah mengapa ada doa yang tidak langsung dikabulkan Alloh Ta’ala namun Alloh menunda pengkabulannya atau bahkan Alloh menyiapkan pengganti doa kita dengan sesuatu yang lebih baik lagi.
Lama saya merenungi apa yang terjadi. Tak pantas saya memprotes keputusan Alloh untuk diri ini. Karena ternyata itu adalah yang terbaik. Hanya saja saya yang tak mengerti, sementara Tuhan Maha Mengetahui. Dalam sujud saya memohon ampun atas semua sakwasangka buruk yang tak seharusnya terlintas di hati. Air mata pun mengucur deras tak terbendung. Sajadah tempat saya bersujud itu menjadi saksi penyesalan diri.
Itulah peristiwa yang menyadarkan saya. Sadar bahwa kita harus selalu berfikiran positif, apalagi terhadap ketetapan yang digariskan oleh Dzat yang menciptakan kita. Dan sadar bahwa Allah itu Maha Adil. Alloh tak akan menuliskan kisah sedih untuk kita sebelum Dia menulis kisah indah sebagai gantinya. “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (QS. Al-Insyirah: 6).
BACA NKS Menulis Corvallis-6: Jadi Pencuci Piring dan Loper Koran
Lega. Plong. Hati tertata kembali. Saya bergembira, bekerja pun dengan penuh rasa riang. Semangat tanpa memikirkan hal lain kecuali menyelesaikan berbagai tugas sebaik-baiknya. Makin banyak pekerjaan yang dilimpahkan kepada saya, saya selalu berfikiran bahwa atasan mempercayai kita dan kita dinilai memiliki kapasitas untuk menyelesaikannya.
Mengerjakan suatu tugas jangan selalu dihitung dengan uang. Sejatinya, saat menyelesaikan berbagai pekerjaan, kita selalu mendapat ilmu dan mendapat banyak teman. Selain mengenal banyak rekan, kita pun dikenal oleh berbagai kalangan. Dan, sewaktu kita mampu menyelesaikan pekerjaan secara bermutu, semesta akan tahu itu.
Dan, tahu-tahu sudah masuk tahun 2007. Kesibukan bertambah di tahun ini. Saya tak menyangka dipromosikan ke jenjang yang lebih tinggi. Tuhan Maha Tahu kapan seseorang siap menanggung tanggungjawab yang lebih berat. Sudah seharusnya melalui ujian yang tak ringan.
Selagi asyik menikmati banyak pekerjaan baru, pihak bank kembali memberi tahu agar melunasi ongkos haji dan dapat berangkat di tahun 2007. Tak dipungkiri, pundi-pundi rupiah kala itu sudah cukup untuk melunasi. Namun, lagi-lagi sepertinya hati belum merasa terpanggil. Kali ini kesibukan duniawi mengalahkan menutup pendengaran dan melewatkan panggilan Alloh untuk berhaji. Jika mengingat hal ini, membuat saya makin malu kepada Sang Pemberi Rejeki.
Pihak bank memberitahu bahwa jika kesempatan berangkat tidak juga diambil pada tahun 2008, maka waktu menunggu mendapat kursi berangkat haji berlaku yang baru dan dimulai dari nol tahun di tahun 2008. Ini jelas kode keras dari Yang Maha Memberi Rejeki melalui pegawai bank. Intinya mempertanyakan derajat keseriusan niat munggah kaji.
Diskusi panjang dengan istri harus saya lalui. Terkait anak kedua yang waktu di awal tahun 2008 masih manja dan saat tidak dituruti kemauannya, ia ngambek dan marah tak peduli. Membahas siapa yang pas untuk menjaganya ketika kita berhaji.
Juga diskusi tentang Rukun Islam yang wajib dipedomani. Sejak kecil sebagai umat Islam, sudah ditanamkan pentingnya pemahaman dan pelaksanaan Rukun Islam yang berjumlah lima itu.
BACA NKS Menulis Corvallis-5: Kuliah & Asyiknya Berburu Garage Sale
Perumpamaan yang saya anggap pas adalah apabila Islam diibaratkan sebagai sebuah bangunan, maka Rukun Islam merupakan tiang-tiang penyangga utama bangunan itu, yaitu syahadat, sholat, zakat, puasa ramadhan dan haji.
Kita sejak dini membangun empat pilar utama: syahadat, sholat, zakat, dan puasa ramadhan. Namun, sering kita mengesampingkan satu pilar utama terakhir bernama haji. Haji seolah adalah masalah nanti, toh seumur hidup cukup sekali. Masih banyak kebutuhan hidup yang mesti dipenuhi dan rasanya belum mampu-mampu amat.
Akhir diskusi diambil sebuah kesepakatan bahwa berangkat tahun 2008. Usia 40 tahun semestinya cukup ideal. Persiapan dimulai. Pertama mencari Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) yang terpercaya. Ini penting karena menyangkut ibadah yang tak sebentar sehingga tak ingin terlantar. Kriteria KBIH yang dicari tentu bukan dilihat dari harganya murah, namun pelayanan, tingkat komplain, cerita yang pernah menggunakan jasanya. Satu hal yang saya dan istri sepakat adalah memilih KBIH yang bagus memimpin jemaah/rombongannya dan menegakkan aturan Allah Ta’ala. Tanpa mengurangi atau menambah rukun haji.
Akhirnya, tanpa bermaksud untuk promosi atau endorse saya dan istri memilih KBIH Yayasan Islam Ummu’l Quro Depok. Saat kami mendaftar dan mendatangi KBIH, tak disangka saya bertemu dengan tetangga rumah yang sama-sama tinggal di Pesona Khayalan. Komplek perumahan kampung yang dipisahkan okeh kali Ciliwung dari perumahan Pesona Khayangab. Tetangga saya ini bernama Pak Kosasih yang ternyata bekerja di KBIH tersebut. Alhamdulillah, semua urusan menjadi lancar dibantu oleh Pak Kosasih.
Semua kegiatan dengan KBIH sudah tersusun rapi. KBIH Ummul Quro sesuai tugas dan fungsinya memberikan layanan dan konsultasi tentang haji secara teori di tempat yang sangat nyaman dengan menyewa sebuah ruangan di Pusat Studi Jepang Universitas indonesia.
Di situlah kami diberi pemahaman tentang teori dasar ibadah haji dan motivasi untuk mengejar kemabruran ibadah haji. Tak hanya sekali pertemuan, namun dilakukan beberapa kali layaknya perkuliahan. Sementara secara praktek, manasik haji dilakukan kawasan Asrama Embarkasi Jakarta Pondok Gede.
Saat mengikuti bimbingan haji ini, saya melihat memang rata-rata berusia di atas 50 tahun. Namun, ada beberapa keluarga muda turut ikut serta. Bahkan jauh lebih muda dari saya. Ada yang usianya saya perkirakan antara 25 sampai dengan 30 tahun. Tapi walau masih berusia muda, sepertinya penguasaan ilmu agamanya namun sangat bagus, sangat berbeda dengan saya.
BACA NKS Menulis Corvallis-4: Selimut Rindu Warna Biru
Tiba-tiba di kala sedang asyik-asyiknya menikmati proses kegiatan belajar agama fokusnya tentang haji, ujian keimanan datang tak hanya sekali. Ibu mertua yang sedang menengok cucu di rumah keluarga adik ipar di Depok jatuh yang mengakibatkan tulang pinggul retak dan mesti dioperasi. Saya membawanya ke RSPAD Gatot Subroto dan mendapat saudara baru yang sangat baik membantu. Beliau adalah dr. Mulyana yang mengoperasi ibu mertua, mengganti tulang pinggulnya dengan implant.
Karena usia yang tidak lagi muda, proses penyembuhan dan belajar jalan sehabis operasi menjadi lebih lama. Nah, ujian keimanan berikutnya kembali datang. Lebih kencang dari ujian pertama. Ini menyangkut bapak mertua. Mungkin karena kelelahan dan beban pikiran melihat dan menunggui ibu mertua yang sakit, bapak mertua terkena serangan stroke dan jatuh di kamar mandi saat di rumah adik ipar yang lain lagi di Depok.
Lagi-lagi melalui bantuan dr. Mulyana, saya dapat membawa bapak mertua ke RSPAD Gatot Subroto. Operasi dilakukan untuk mengeluarkan darah di otak. Untungnya kantor Kementerian Keuangan tak jauh dari lokasi RSPAD sehingga jam istirahat saya bisa menengoknya. Sementara untuk jaga malam, saya bergantian dengan adik ipar yang laki-laki.
Sekitar 40 hari, saya seolah memiliki rumah kedua di RSPAD saat bapak mertua di rawat di sana. Setelah lebih stabil kondisinya, bapak mertua saya bawa pulang untuk dirawat di rumah. Kondisinya beliau mengenaskan karena tidak bisa komunikasi dan makan harus dengan sonde. Selain saya dan istri merawatnya sendiri, ada juga suster dan terapis yang sesekali datang.
Ibu mertua akhirnya bisa berjalan kembali dengan dibantu tongkot. Namun Bapak justru terserang stroke yang kedua. Atas permintaan ibu mertua, bapak akhirnya dibawa ke rumah Cirebon tak lama sebelum saya dan istri dijadwalkan untuk berangkat haji. Inilah kami anggap ujian keimanan kami untuk bisa bersabar dan apakah saya dan istri tetap dalam niat berangkat haji. Lalu saya pun teringat Firman Allah: “ Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? (Al-Ankabut :2 ).
BACA NKS Menulis Corvallis-3: Tiga Hari Bersama Host Family
Akhirnya semua persiapan sudah dilakukan. Paspor haji dan vaksin sudah ditangan. Namun saya yakin ibadah haji adalah ibadah tidak ringan. Saya pun sudah mulai hafal kalimat talbiyah: “Labbaik Allahumma Labbaik, labbaika la syarika laka labbaik inna al hamda wa an ni’mata laka wa al mulk la syarika laka”.
Jika kita tahu makna dari kalimat talbiyah ini, dan kita ikut melafalkan kalimat ini saat berangkat haji, di pesawat, dan mendarat serta bersama jutaan umat yang berhaji melafalkan kalimat talbiyah ini, tangis tak mungkin terbendung. “Kami memenuhi dan akan melaksanakan perintah-Mu ya Allah. Tiada sekutu bagi-Mu dan kami memenuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala pujian, nikmat dan kekuasaan/kekuatan adalah milik-Mu dan tidak ada sekutu bagi-Mu”.
Makna yang sangat mendasar bagi umat muslim, bukan saja bagi yang sedang berhaji. Ya, minggu ketiga November 2008 saya dan istri mantab memenuhi dan akan melaksanakan perintah-Mu ya Allah. Labbaik Allahumma Labbaik. (Bersambung)
Nami Kulo Sumarjono. Salam NKS