Dan, akhirnya, hari yang melankoli menghampiri. Hari perpisahan dengan host family. Tapi perpisahan itu, hanya soal ruang dan waktu, sebab sejatinya, hati telah tertali. Hubungan saya dengan Rita-Ted, bahkan lestari hingga hari ini.
Saya mesti berpindah ke sebuah apartemen sederhana di dekat kampus OSU. Di apartemen itu dua minggu, menunggu asrama mahasiswa buka untuk bisa dihuni.
Di apartemen itulah, ada pria mengejutkan. Ia menyapa dalam bahasa yang aneh, menduga saya orang Thailand. Sadar bahwa saya tak memahaminya, ia meminta maaf. Tapi justru itu, yang membuat persahabatan terjalin. Malah, lewat obrolan sekejap itu, kami menjadi akrab.
Namanya Kemathat. Setidaknya, itu yang ia sebut saat memperkenalkan diri. Lumayan, hari itu saya mendapat teman untuk mengusir bosan.
Meski betemu sahabat baru dari Thailand adalah penghibur di saat jenuh, saya mulai galau, karena belum ketemu orang Indonesia. Harapan datang di Jumat pertama di apartemen. Tapi harapan hanya berhenti sebagai harapan. Saat sholat Jumat, saya tetap tak menemukan orang Indonesia. Juga di Jumat kedua.
Waktu dua minggu berlalu. Saya harus pindah ke asrama mahasiswa (campus dormitory) di dalam kampus OSU. Saya pamit pada Kemathat, sahabat baru dari Thailand. Tak disangka, ia malah ikut membantu membawakan selimut biru. Jadilah saya tak sendiri membawa koper besar dari apartemen menuju asrama. Memang tak jauh, tapi cukup menguras peluh.
BACA JUGA NKS Menulis Corvallis-4: Selimut Rindu Warna Biru
Di asrama, saya satu kamar dengan mahasiswa S1 yang tentu lebih muda. Pemuda asal Jepang itu bernama Hiroto Murase. Penguasaan bahasa Inggrisnya hampir sama dengan yang saya punya. Obrolan kadang tak bisa nyambung karena pengucapan “r” dan “l” yang tak jelas bedanya.
Jelas saya senang mendapat teman. Bahkan rekan-rekan Jepangnya pun sering ikut bertandang. Juga teman dekatnya, Hiroto Murase yang tak ragu nangis tersedu, entah bercerita apa. Mereka bicara dalam bahasa Jepang yang cepat.
Perkuliahan dimulai. Saya mesti ada tambahan English Course sebagai syarat untuk meningkatkan ketrampilan berbahasa Inggris. Hal yang menyenangkan adalah saat bersama-sama mahasiswa yang kebanyakan tinggal di dormitory makan di McNary Dining Hall. Sangat ramai karena waktu lapar yang datang hampir bersamaan.
Musim gugur sudah di muka mata. Ada warna kuning kemerahan, seperti begitu saja menempel dedaunan. Saya takjub. Sebab, suasana menjadi terasa berbeda di banding saat pertama tiba di Corvallis.
Yang juga berbeda adalah cara berpakaian. Mesti menyesuaikan. Jadi, setiap hari harus mengecek ramalan cuaca, jika tidak ingin kecewa karena salah kostum. Urusan salah kostum, bahkan bisa berakibat fatal jika harusnya baju tebal yang dikenakan namun kaos tipis yang dipakai. Nah, jika lupa mengecek ramalan cuaca yang akurasinya bisa dipercaya, kelar hidup lu.
Suatu ketika saya mendapat kabar ada orang Indonesia yang telah menetap lama di Corvallis. Mereka mengundang makan malam, yang tentu sayang untuk dilewatkan. Jadilah saya makan nasi dan lauk bergizi khas negeri sendiri.
Di situlah saya menemukan banyak kawan Indonesia. Salah satunya adalah Mas Harman Ajiwibowo. Lebih pasnya kalau Mas Harman menemukan saya dan mulai detik itu banyak hal dibantu oleh beliau.
Saya dikenalkan oleh Mas Harman yang kala itu sedang kuliah S3 kepada Ketua DKM Islamic Center of Corvallis. Melalui Mas Harman pula saya mengenal para mahasiswa yang rata-rata mengambil S3.
Beberapa mengambil S2 dan mereka dikirim oleh instansinya dengan beasiswa. Pak Suwardi yang bekerja di LIPI, Mas Djoko yang berkarya di Perhutani, Mas Budiman Saleh yang di IPTN, dan Mas Dwi Larso yang profesinya sama dengan Mas Harman sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi terkenal di Bandung, satu almamater dengan saya.
Pada saat bersamaan, saya juga mengenal beberapa rekan muda dari Indonesia yang mengambil S1 di berbagai jurusan dengan biaya sendiri. Memang ada yang beda dengan beberapa rekan yang S1. Mereka mudah dikenali, hanya dari mobilnya.
BACA JUGA NKS Menulis Corvallis-3: Tiga Hari Bersama Host Family
Benar. Rata-rata, mereka ke kampus dengan mobil. Bukan sembarang mobil, tapi mobil yang tak murah. Nomor kendaraannya pun bertuliskan kata-kata dalam bahasa Indonesia yang langsung kita orang Indonesia bisa menebak pasti mobil milik orang Indonesia.
Nah, yang nyebelin, saat saya bilang saya orang Indonesia, mereka menanyakan mobil apa yang saya punya. Pertanyaan itu, benar-benar menonjok dada saya, karena boro-boro punya mobil, wong belajar nyetir saja belum.
Tapi rasa dongkol, sebal, sakit hati, karena ditanya soal mobil, terhapus oleh suasana kampus yang secara umum menyenangnya. Apalagi, begitu kuliah sudah mulai dengan berbagai tugas.
Seperti saat masih kuliah di Bandung, ada pelajaran yang disukai namun ada pula yang jika mungkin dihindari. Karena pilihan konsentrasi bidang aktuaria di bawah program studi matematika, jadilah saya bertemu dengan berbagai ilmu wajib yang mesti diambil.
Jujur saja, ada pelajaran yang membuat berkerut karena saya memang kurang menikmatinya. Analisis riil (real analysis). Dulu, di Bandung, pelajaran ini, juga tak bisa saya pahami. Sialnya, di Amerika, saya mesti ketemu lagi dengan mata kuliah ini.
Menurut saya, analisis riil tak seindah nama mata kuliahnya. Tidak terlalu nyata. Dijelaskan menggunakan bahasa Indonesia saja, saya nggak mudeng, apalagi dijelaskan in English, jelas tambah puyeng.
Memang. Banyak alasan jika tidak menyukainya. Tentunya berbeda dengan yang menyukai ilmu matematika murni ini.
Nah, mata kuliah yang mau tak mau saya harus menyukainya tentu terkait dengan ilmu aktuaria. Apalagi di OSU ada ahlinya. Ahli actuarial science. Beliau adalah salah satu dari pengarang buku wajib yang digunakan di prodi ilmu aktuaria saat itu. Bukunya berjudul Actuarial Mathematics.
Dr. Donald A. Jones. Itulah nama yang dalam dua tahun (1995-1997) menggembleng saya. Adapun kelima pengarang buku Actuarial Mathematics (Bowers) yang terkenal itu secara lengkap adalah Newton L. Bowers, Hans U. Gerber, James C. Hickman, Donald A. Jones, dan Cecil J. Nesbitt.
BACA NKS Menulis Corvallis-2: Nganjir, Mimpi Pertama di Amerika
Jika melihat film-film kungfu, seharusnya saya sudah tepat memilih tempat untuk berguru. OSU memiliki suhu, yang mumpuni mengajari murid-muridnya. Kitab keramat bahkan disusun sendiri oleh sang suhu yang rela menurunkan seluruh ilmu tanpa ada yang tersisa.
Sayangnya, saya bukan murid yang tergolong pandai dalam menyerap ilmu yang diajarkan oleh para suhu. Jadilah, dua tahun bukan waktu yang cukup untuk murid tak cerdas seperti saya.
Andai saja boleh menawar, rasanya tak ingin hanya sebentar berguru pada semua suhu. Di akhir pendadaran, seperti halnya di dunia persilatan, ada ujian untuk menentukan seseorang sudah layak untuk meninggalkan padepokan atau gugur tidak lulus ujian dan harus mengulang.
Dengan dimbimbing oleh suhu iy,s, Dr. Donald A. Jones, saya merampungkan sebuah tulisan yang telah melewati sebuah sidang. Judul tulisan “Actuarial Analysis of Second-to-Die Insurance covering Lives with Dependent Future Lifetimes” menandai saya lulus pendadaran. Oleh sang suhu, saya sudah boleh pulang dan saya diminta mengamalkan ilmu yang telah diterima kepada masyarakat di dunia nyata.
Ada cerita tentang teman seperguruan Cindy Huang yang tak mengenal waktu siang ataupun malam menghubungi untuk sekadar berdiskusi. Janji untuk belajar bersama atau mengerjakan tugas hingga sama-sama mendaftar ujian profesi.
Cindy Huang sangat cerdas dan tentu senang bila belajar bersamanya. Tapi saat istri dan anak sudah bergabung bersama, cerita menjadi berbeda. Waktu malam datang, kadang Cindy Huang menelepon untuk mengajak belajar bersama. Ini yang tak mungkin bisa. Paling diskusi lewat telepon saja agar tak meninggalkan keluarga.
Cerita seru sebenarnya bukan pada kuliah di kelas. Pelajaran di luar kelas justru lebih bisa diserap bagai kanebo kering bertemu air. Pertemuan dengan Mas Harman mengenalkan saya untuk dapat hidup lebih hemat, apalagi saya berencana membawa serta anak dan istri. Tak hanya itu, saya akhirnya mendapatkan tempat kontrakan yang masih dalam jarak yang ditempuh dengan jalan kaki ke kampus. Lebih murah dibanding dengan di asrama karena makan tak harus di McNary Dining Hall. Namun, bisa memasak sendiri, toh cara belanja sudah diajari oleh Rita, Ibu saya di Amerika.
Kegiatan di hari Sabtu dan Minggu, biasanya sangat seru. Budaya menjual barang-barang bekas layak pakai di garasi rumah orang Amerika, menurut hemat saya adalah budaya yang mulia. Hal ini banyak membantu bagi yang berpenghasilan pas-pasan atau bahkan kurang, termasuk pendatang yang penghasilannya tergantung dari beasiswa yang tidak terlalu berlebihan.
BACA NKS Menulis Corvallis-1: Tirakat hingga Amerika Serikat
Di sisi lain “garage sale” begitu disebutnya, adalah cara untuk mengurangi barang yang tidak dibutuhkan oleh yang empunya. Kadang barang kita rusak tanpa sempat digunakan karena sejatinya mungkin kita tak membutuhkannya. Mengenai harga tentu sangat berbeda dengan barang baru.
Informasi mengenai di mana ada garage sale dengan mudah didapatkan lewat koran dan tempelan di beberapa papan pengumuman, di kampus atau di pinggir jalan. Ini rekreasi tersendiri bagi saya dan Pak Suwardi LIPI terutama yang saat itu menjomblo karena keluarga belum bisa menemani.
Banyak juga barang dengan kualitas bagus harus dilepas dengan harga pantas karena sang empunya akan pindah atau pulang ke negaranya setelah mereka menyelesaikan studinya. Saya pun mendapatkan sepeda dari berburu ke beberapa tempat garage sale. Sepeda dengan harga hanya $20 mampu menemani saya menyelesaikan S2. Hanya saat musim dingin tiba, sepeda tidak menjadi pilihan sebagai alat transportasi yang nyaman.
Berbagai perkakas rumah pun saya dapatkan dari berburu di garage sale. Dari lampu belajar, meja dan kursi, alat masak dan lain-lain. Saya juga mendapatkan stroller dengan merk terkenal yang masih sangat bagus. Ini sebagai persiapan karena menjelang berakhirnya winter keluarga kecil saya akan menyusul menemani hingga sang ayah dan suami selesai studi.
Namun saya mesti bersabar. Ada syarat berat yang entah bisa saya penuhi atau harus gigit jari menanti. Saya mesti memiliki tabungan dalam jumlah lumayan besar untuk bisa membawa serta anak sulung yang saya beri nama yang berasal dari kota di mana ayahnya bersekolah. Tapi saya yakin ada jalan jika kita mau bersungguh-sungguh mengupayakannya disertai doa. (bersambung)
Nami Kulo Sumarjono. Salam NKS