Maret 1996. Inilah bulan yang dinanti. Saat itu, musim dingin sedang bersiap pulang, saat istri dan anak saya menjelang datang. Saya senang, terus-terang. Sebab, musim sepi, nyeri, dan sendiri akan segera pergi.
Demi anak-istri, saya sudah melakukan banyak persiapan. Saya menyewa sebuah rumah flat dengan satu kamar tidur di lantai dua. Alamat tepatnya Apt#10, Benton Village, 970 NW Garfield Avenue, Corvallis.
Di tempat itu, nanti, celoteh bayi tujuh bulan akan menghiasi hari-hari. Tempat tinggal yang tidak besar namun hangat. Nyaman dengan dapur dan ruang tamu yang cukup untuk bayi Vallisa belajar jalan.
Tempat tinggal untuk anak-istri ini, bukan sekadar bangunan. Tapi omah. Rumah yang oleh orang bule disebutnya home. Berbeda makna dengan house yang menggambarkan sebagai bangunan. Jelasnya, yang saya siapkan adalah rumah atau home yang menjadi tempat memadu rindu. Inilah omah, tempat saya pomah, betah, jauh dari gundah karena ada dua cinta yang menemani.
Dan, akhirnya, Vallisa sampai di Corvallis, kota yang diabadikan pada namanya. Bersama itu, kepada anak-istri, saya mengucapkan, Welcome home, my sweethearts. Selamat datang di rumah. Inilah rumah cinta kita.
BACA JUGA NKS Menulis Corvallis-6: Jadi Pencuci Piring dan Loper Koran
Saya juga telah menyiapkan kereta bayi. Baby stroller dengan merk terkenal, meski harus menguras isi kantong. Bukan benar-benar baru, tapi agak baru karena diburu dari garage sale.
Persiapan lain adalah membeli mobil Toyota Tercel yang sebenarnya masuk kategori mobil operasional untuk loper koran, kuliah, dan cuci piring di McNary Dining Hall. Untuk duduk aman dan nyaman buat bayi pun, baby car seat sudah saya dapatkan. Lagi-lagi hasil dari garage sale-lan.
Saat bayi Vallisa bersama ibunya tiba di bandara Seatac International Airport, rasa bahagia sangat kentara dari wajah saja. Pada kesempatan pertama berjumpa Vallisa, saya langsung menggendongnya.
Tapi saya mesti bersabar agar bayi mungil itu mengenali. Harap maklum. Saya meninggalkannya ketika ia berumur kurang dari satu bulan. Saat mendarat di Bandara Internasional Seatac yang merupakan gabungan dua kota Seattle dan Tacoma ini, ia sudah berusia tujuh bulan.
Saya kaget saat menggendongnya, karena tubuhnya agak hangat. Perjalanan panjang yang melelahkan, membuat bayi tujuh bulan itu masuk angin. Malah, Eva Air tidak langsung membawanya ke tujuan, melainkan harus menginap satu malam di Taiwan. Baru, sehari kemudian, perjalanan sangat panjang itu, dilanjutkan dari Taiwan menuju Seatac.
Sampai di Seatac, Amerika Serikat bayi tujuh bulan itu, masih belum bisa istirahat. Bersama sang ibu, masih harus menempuh jalan darat menuju Corvallis.
Meninggalkan Seatac, Mas Harman Ajiwibowo bergegas. Ngegas menyusuri Highway 5. Tiba-tiba, saya merasa, tangan dan kaki bayi Vallisa terasa dingin. Secara samar, kami mengendus aroma tak sedap, yang saya yakin merupakan sinyal sesuatu yang tidak beres.
BACA NKS Menulis Corvallis-5: Kuliah & Asyiknya Berburu Garage Sale
Lalu, di tengah perjalanan menyusuri Highway 5, jalan bebas hambatan tanpa bayar di sisi barat Amerika Serikat, saya meminta Mas Harman mencari rest area. Sadar ada yang tidak beres, ibunya secara kilat mengganti pampers dan memberi minyak kayu putih pada hampir seluruh tubuh bayi imut itu.
Tugas itu, saya percayakan pada ibunya, karena saya belum dikenali oleh bayi Vallisa, selain belum mahir mengganti popok. Tapi dalam hati, saya lega. Sebab, yang terjadi pada anak saya, adalah pertanda bahwa dia akan betah di negeri para bule.
Jarak antara Seatac dan Corvallis tidak pendek. Butuh lebih dari empat jam dengan menempuh 244,8 mil atau hampir 400 km. Karena perjalanan sangat panjang, kami mampir makan siang yang agak terlambat. Rupanya bayi mungil itu terserang jetlag juga. Saat disuapi untuk makan, ia sering terlelap di antara suapan.
Jadi begitulah. Setelah menempuh jarak yang jauh, mulai malam itu saya tak lagi sendiri. Ada suara tak terlalu jelas dari mulut lucu bayi yang saya terjemahkan sebagai memanggil saya antara ayah atau daddy. Namun saya terus membiasakannya memanggil ayah dari pada dad. Tidak cocok rasanya wong ndeso ini dipanggil daddy.
Saya makin giat belajar dan mencari tambah-tambah nafkah. Lumayan, bukan dalam bentuk rupiah namun dollar. Kadang istri ikut membantu memasukkan koran ke dalam kantong plastik agar mudah buat saya melepar dan koran aman dari terkena air hujan.
Saya memilih beralih loper koran The Corvallis Gazette Times (biasa disebut The Gazette Times), bukan The Oregonian. Alasannya sederhana, walau upahnya tidak sebesar mengantar koran The Oregonian, namun jarak dan lingkupnya the Gazette Times tidak menyebar dan tidak sampai ke rumah di dekat hutan. Tak perlu takut dengan lolongan binatang dan tak melewati binatang yang menyeberang jalan.
BACA NKS Menulis Corvallis-4: Selimut Rindu Warna Biru
Demikian juga dengan urusan bekerja di McNary Dining Hall tetap dijalani. Selain sejam $7, makan murah dan enak saat bertugas saya dapat nikmati. Jadi tak baik jika saya melepasnya. Walau lidah ndeso, namun karena terbiasa bekerja di McNary Dining Hall, akhirnya saya terbiasa makan tanpa harus dengan nasi.
Membawa serta anak-istri, mesti membuat mereka berbahagia dengan berbagai aktivitas. Setelah mencari informasi termasuk dari koran yang kadang kelebihan dari jumlah pelanggan yang mesti diantar, ada kegiatan setiap hari Rabu bernama Storytime. Tempatnya di Benton County Public Library di pusat kota Corvallis. Storytime menjadi waktu menyenangkan baik untuk anak maupun istri karena tak hanya berkutat di rumah saja.
Melalui Tante Sinta, istri salah satu rekan yang sudah terlebih dahulu mengenal beberapa kegiatan yang diselenggarakan oleh kampus OSU bagi pendamping atau keluarga mahasiswa, akhirnya istri mengikuti acara Crossroads International. Kegiatan ini bertujuan menghubungkan mahasiswa internasional, dosen & cendekiawan, dan anggota keluarga mereka dengan sukarelawan lokal untuk menjalin persahabatan dan meningkatkan penguasaan bahasa Inggris.
Dengan aktif mengikuti acara Crossroads International, istri mengenal para sukarelawan yang mau meluangkan tenaga dan fikirannya untuk berbagi pengalaman. Para sukarelawan membantu meningkatkan penguasaan bahasa dengan berbagai aktivitas menarik.
Lumayan. Crossroads International membantu mengusir kebosanan hari-hari para istri menemani suami sekolah. Dari sana pula, istri memiliki banyak teman dari berbagai negara, lengkah dengan budaya dan makanannya.
Saat istri mengikuti acara Crossroads International, bayi Vallisa dan Lintang (anak Tante Shinta) dititipkan pada daycare yang tempatnya menyatu dengan acara Crossroads International. Ia pun bermain dengan berbagai anak-anak dari berbagai negara. Saya tidak tahu jika ini kelak membuat ia menyukai, mendalami serta memilih kuliah di program studi hubungan internasional.
Di sini, saya tidak terlalu cemas dengan kesehatan bayi Vallisa. Sebab, pemerintahan Oregon State sangat memikirkan kesehatan ibu yang hamil, menyusui, dan memiliki bayi sampai umur tertentu. Untuk urusan tumbuh kembang bayi dan anak, Oregon State memiliki program Women, Infant, and Children atau disingkat WIC Program.
WIC Program membantu keluarga dengan pendapatan per tahun kurang dari nilai tertentu. Uniknya, hal ini tidak hanya bagi warga negara Amerika Serikat saja. Semua keluarga yang memenuhi kriteria, dapat memperoleh manfaat program WIC ini. Termasuk saya dan keluarga Indonesia lainnya yang hidupnya tergantung dari beasiswa yang jumlahnya memang tidak dihitung untuk membawa keluarga.
Penyelenggaranya program WIC bernama Benton County WIC Clinic. Di klinik ini, ibu, bayi, dan anak-anak diperiksa secara berkala dan diberi imunisasi hingga ia mendapat sertifikat kelulusan komplit diimunisasi wajib.
BACA NKS Menulis Corvallis-3: Tiga Hari Bersama Host Family
Ada program WIC yang juga sangat dirasakan manfaatnya. Yaitu pembagian voucher belanja bahan makanan kebutuhan ibu, bayi, dan anak. Sehingga, setiap minggu jus, susu, telor, dan kacang-kacangan dibeli dengan voucher tersebut dengan jumlah yang mencukupi. Karena porsinya banyak sesuai dengan ukuran bule, tak dipungkiri akhirnya sang ayah pun merasakan jus, susu, telor dan kacang-kacangan itu.
Di akhir pekan, setelah urusan mengantar koran usai, biasanya saya bersama keluarga kecil dan kadang bersama dengan keluarga Indonesia yang lain, mulai hunting barang-barang di garage sale. Ini hiburan tersendiri. Anak-anak bule diajari untuk berdagang dan berhitung. Sebuah penerapan ilmu pelajaran yang didapat dari sekolah.
Selepas bergerilya mencari barang atau mainan buat si kecil, acara berikutnya adalah menukarkan voucher WIC ke Fred Meyer di super market yang lokasinya dekat dengan Islamic Center of Corvallis. Pada musim panen sayur atau buah tiba, kami pergi ke pinggiran kota yang tak jauh jaraknya dan membeli sayur mayur atau buah langsung dari pemiliknya. Yang sering kami lakukan memetik buah apel, strawberry atau blueberry.
Enaknya hidup di kota kecil adalah suasana ramah yang terasa jamak. Setiap bertemu pasti menyapa atau minimal tersenyum. Ini mebawa ingatan pada Nganjir, kampung halaman saya yang tak kalah ramah.
Saat belanja bulanan di Cub Foods, menukar voucher WIC di Fred Meyer, atau belanja di K-Mart dan yang lainnya, hal menyenangkan adalah saat berada di kasir. Sebab, sekaligus bisa belajar bahasa Inggris. Kasirnya sangat ramah dan selalu menyapa dengan menanyakan kabar.
Enaknya belanja di Oregon berapa harga yang tertempel di situ, itulah harga sebenarnya. Tidak ada pajak penjualan di Oregon State.
Ketika musim semi tiba, kami bisa bertemu keceriaan baru. Tidak terlalu dingin, namun tidak pula panas mengganas. Masih perlu menggunakan jaket meski tak perlu terlalu tebal. Bunga-bunga bermunculan untuk pohon yang tak berdaun sekalipun. Cherry blossoms di mana-mana termasuk di kampus OSU. Yang terlihat bunga yang indah, sementara daunnya belum muncul.
Saya sempat dua kali menikmati musim bunga tulip. Kalau kita ingin pergi untuk melihat bunga tulip yang sangat indah, tidak perlu membutuhkan waktu yang lama dari Corvallis. Cukup 1 jam 10 menit untuk mencapai Wooden Shoe Tulip Farm.
Di sana kita akan disuguhi pemandangan menakjubkan. Sangat indah hamparan bunga tulip yang dikelompokkan menurut warna bunganya. Inilah pengalaman tak terlupakan melihat bunga tulip pertama kali. Bunga yang tidak saya temui di Dusun Nganjir, Kulon Progo.
BACA JUGA NKS Menulis Corvallis-2: Nganjir, Mimpi Pertama di Amerika
Saya juga bersyukur pernah melihat pemandangan yang tak kalah indah bernama Crater Lake. Danau ini terletak di Pegunungan Cascade. Cukup seru untuk mencapai lokasi danau Crater ini. Di kanan kiri jalan terhampar hutan pinus sejauh mata memandang. Di musim dingin salju turun relatif tebal di kawasan ini.
Crater lake adalah danau air tawar berwarna biru jernih ini dan termasuk danau terdalam di Amerika Serikat dan sekaligus danau terdalam ketujuh di dunia. Suku Indian yang bermukim di Oregon (Suku Klamath), telah lama menganggap danau ini sebagai situs suci.
Cerita misterius pun ada di sana di mana ada satu batang kayu dengan panjang 9 meter dengan diameter sekitar 61 centimeter mengambang dengan tegak berdiri bukan dalam posisi horisontal. Yang muncul di permukaan air mungkin sekitar kurang dari satu meter.
Batang kayu yang diberi nama “The Old Man of The Lake” atau Pak Tua ini sudah lebih dari 120 tahun berada di danau Crater Lake ini tanpa lapuk. Pak Tua berpindah-pindah posisinya terdorong arus air yang tertiup angin. Namun tetap kokoh dalam posisi berdiri. (bersambung)
Nami Kulo Sumarjono. Salam NKS.