Sepi. Sendiri. Dan, nyeri teriris krisis perasaan. Sekolah pada kondisi jauh dari anak-istri, memang hanya berteman sepi. Apalagi di tahun 1995, saya belum bisa bermanja-manja dengan teknologi untuk memotong jarak Amerika-Indonesia.
Telepon melalui fixed line sudah barang tentu menguras kepeng. Paling banter fasilitas email, itupun dengan koneksi internet yang tak selancar hari ini. Sialnya, cara itu, tak mampu menghapus rindu.
Krisis perasaan memuncak. Dan, saya tidak kuat. Akhirnya, dengan deg-degan, setelah menimbang banyak tentang, saya putuskan mengundang istri dan anak kami yang masih bayi, untuk ikut tinggal di Amerika.
Yang pertama saya lakukan adalah berhitung plus dan minus antara menjemput atau meminta mereka datang. Pasti berhitungnya, tak perlu repot-repot menggunakan analisis riil yang memang sudah njlimet. Rasa-rasanya, menghitung dengan menggunakan berbagai formula, ketemunya sama: mahal jika saya harus menjemput mereka.
Hasil kajian amatir dari kamar asrama mahasiswa merekomendasikan biarlah anak-istri datang sendiri. Datang mandiri tanpa perlu kawalan.
Untuk mengurus visa jenis F2 yaitu visa pendamping dari yang sedang tugas belajar, ada persyaratan yang harus dipenuhi. Saah satu syarat adalah memiliki tabungan dengan jumlah tertentu untuk menjamin anak dan istri tak membebani.
BACA JUGA NKS Menulis Corvallis-1: Tirakat hingga Amerika Serikat
Jelasnya, saya harus memiliki dolar yang lumayan besar, untuk bisa membawa anak dan istri ikut tinggal di Amerika. Mumet juga awalnya, memikirkan solusi soal ini.
Lalu saya teringat Mas Harman yng sudah membawa keluarga. Anaknya bahkan, lahir di Amerika. Saya juga ingat mas-mas senior yang lain yang juga membawa keluarga. Ada Mas Djoko dan juga Mas Dwi Larso.
Saya melihat mereka dapat hidup berkecukupan dengan keluarga. Saya yakin beasiswa yang mereka terima tak jauh beda dari yang saya dapatkan. Akhirnya, saya dapat bocoran bahwa rekan-rekan saya ini bekerja paruh waktu di sela kuliahnya.

Mas Harman yang telah lama tinggal di Corvallis, ternyata selain kuliah juga bekerja dan menjadi supervisor di McNary Dining Hall. Tempat saya makan setiap harinya saat tinggal di campus dormitory.
Melihat itu, saya tertarik meniru. Mengumpulkan dollar sebagai syarat dapat membawa keluarga. Dengan dollar yang terkumpul, saya juga berniat membawa anak-istri menjelajahi negeri Paman Sam ini.
Untuk bisa bekerja paruh waktu, ternyata saya mesti memiliki kartu jaminan sosial. Kartu yang di dalamnya ada social security number-nya itu, sangat sakti. Nomor tunggal itulah yang dipakai untuk berbagai hal termasuk payroll, pajak, dan sebagainya.
Dari situlah, saya mulai mengenal jaminan sosial yang penerapannya sekaligus terintegrasi dengan banyak hal termasuk pajak.
Akhirnya, mulailah saya bekerja. Kontraknya tak boleh saya bekerja lebih dari 20 jam dalam satu minggu. Tentu juga dengan pertimbangan agar tetap dapat fokus belajar. Saat itu, upah untuk pekerjaan yang tidak diperlukan skill, adalah $7 per jam. Lumayan.
BACA JUGA NKS Menulis Corvallis-2: Nganjir, Mimpi Pertama di Amerika
Tugas saya di McNary Dining Hall berbeda-beda, tergantung arahan supervisor. Misalnya saja, melayani ratusan atau bahkan kadang hingga ribuan mahasiswa yang makan. Kalau tidak ingat soal $7 per jam yang lumayan itu, saya menyerah, karena ya lumayan capek juga mengurus ribuan orang makan dalam rentang waktu tiga jam.
Saat itu, tugas yang paling menyenangkan adalah mencuci piring. Saya senang ditempatkan di situ. Soalnya tidak terlalu ribet. Piring kotor dibawa pelanggan secara mandiri. Mereka juga harus meletakkan di sebuah tempat.
Lalu nampan berisi berisi piring kotor, sendok/pisau, garpu atau mangkuk dibawa oleh sabuk berjalan (belt conveyor) menuju kami yang bertugas di dapur cucian piring.
BACA NKS Menulis Corvallis-3: Tiga Hari Bersama Host Family
Sudah ada yang bertugas memasukkan piring, mangkuk, dan nampan, ke dalam mesin cuci piring berukuran raksasa. Sementara sendok/pisau dan garpu dikumpulkan terlebih dahulu baru dimasukkan dalam mesin cuci.
Di sisi yang lain, ada beberapa petugas yang mengambil piring, nampan, mangkuk, sendok/pisau dan garpu yang keluar dari mesin cuci. Karena menggunakan air panas untuk mencucinya, semua barang yang keluar dari mesin cuci terasa panas di tangan.
Kami harus dengan cepat memasukkan piring ke ke dalam mesin cuci. Demikian juga petugas yang mengambilnya dari mesin cuci, harus dengan kecepatan yang tinggi. Sebab jika tidak, antrean kian menumpuk.
Prosedur untuk memulai bekerja juga sudah diatur dengan baik dari mulai absensi, penggunaan pakaian sesuai standard keselamatan kerja, dan lain-lain. Ms. Susan, atasannya Mas Harman, sangat ketat mengawasi tentang hal ini.
Di hari yang lain, saya mesti bertugas di tempat grill. Tugas di posisi ini perlu kehati-hatian yang cukup tinggi. Di bagian grill ini, saya menyiapkan burger untuk pelanggan yang menginginkannya.
Kita harus paham tentang kapan burger itu dikatakan sudah matang dipanggang. Namun sebenarnya tugas terberat adalah membersihkan grill ini dengan menggosoknya dengan amplas hingga tak meninggalkan bekas di alat grill-nya.
Saat bertugas menjaga stand sandwich, saya awalnya agak kerepotan. Maklum wong ndeso tak bisa membedakan beraneka macam jenis roti untuk sandwich. Tidak banyak waktu untuk bisa menghafal: roti tawar putih, roti tawar gandum, baguette, sourdough, English muffin, atau croissant. Belum lagi isinya yang mesti saya juga hafal macam-macam sayuran in English tentunya.
Nah, yang juga menyenangkan adalah saat saya harus bertugas di stand masakan Meksiko. Setidaknya, saya senang bisa terinspirasi untuk suatu hari nanti, bisa memiliki usaha warung atau resto dengan menu makanan Meksiko di Indonesia.
Dari bekerja di stand ini saya tahu jenis makanan Meksiko seperti burritos, tacos, fajita (chicken/beef), nachos, atau quesadilla. Cara membuatnya pun tak terlalu rumit. Tentang rasa, entah kenapa saya sangat menyukainya.
Bekerja dengan berdiri hingga tiga jam di dining hall membuat badan terasa lelah. Tapi sekali bekerja bisa mendapat antara $14 sampai dengan $21, saya rela lelah. Bagi saya, itu uang yang tidak sedikit, apalagi saya memang punya niat membahagiakan anak dan istri yang tak lama akan datang menemani.
Yang juga menyenangkan bekerja di McNary Dining Hall adalah dengan membayar $1 kita boleh makan pada saat pelanggan sedang sepi secara bergantian atau saat selesai bekerja. Sementara harga normal untuk sekali makan kurang lebih $5.
Tapi dasar wong ndeso yang tidak tega melihat makanan bersisa, saya ngelus dada melihat banyak makanan dari McNary Dining Hall yang tak habis. Padahal, sudah ada aturan yang tidak boleh dilanggar: sisa makanan harus dibuang dan tidak boleh dibawa pulang.
Tapi saya melihat ada pula yang menempatkan sisa burger di plastik sampah yang entah nanti dibuangnya ke mana atau inj cara untuk membawa pulang tanpa ketahuan. Jangan ditanya pernah mengambil plastik di tempat sampah yang berisi berger atau tidak.
Soal bekerja di McNary Dining Hall, peran Mas Harman sangat besar, saya tidak akan pernah melupakan itu. Lalu, peran beliau yang juga tidak mungkin terhapus dalam hidup saya adalah mengajari nyetir mobil. Ini tidak main-main, karena saya belajar nyetirnya di Amerika.
BACA NKS Menulis Corvallis-4: Selimut Rindu Warna Biru
Saya memang belum bisa menyetir mobil. Walau kesempatan untuk belajar mobil sangat terbuka waktu kuliah di Bandung. Saat itu, saat saya ikut tinggal di rumah Mbak Kemi, sepupu saya itu sudah punya mobil.
Bukan soal tidak ingin sebenarnyaa. Tapi kala itu, saya agak-agak congkak pada diri sendiri. Tujuannya sih memotovasi diri, karena saya akan belajar mobil jika saya telah mampu memilikinya sendiri.
Saat itu Mas Harman mengajari nyetir menggunakan mobil Honda Civic miliknya. Tapi karena kesibukan Mas Harman, latihan menyetir mobil berhenti sementara. Lalu saya mulai akrab dengan Mas Dwi Larso dan keluarganya.
Nah, di Amerika, saya terpaksa harus belajar nyetir karena memutuskan untuk membeli mobil. Pilihan jatuh pada Toyota Tercel Wagon yang sudah barang tentu bukan mobil baru. Harganya saya masih ingat $1.500.
Dengan mobil ini saya diajari oleh Mas Larso menyetir hingga mahir. Sesekali Mas Harman juga memberi masukan bagaimana menyetir yang baik. Termasuk parkir yang tak boleh salah menghadapnya, tidak seperti di Indonesia yang parkir di pinggir jalan tak diatur harus menghadap kemana. Di USA, ada larangan parkir di pinggir jalan yaitu dilarang menghadap bagian depan mobil ke arah lalu lintas yang berlawanan.
Mobil toyota tercel wagon ini punya peran sangat penting. Saya menyiapkan agar dapat membawa anak dan istri berbelanja dengan nyaman saat musim dingin tiba atau berwisata menjelajah Oregon State atau bahkan kota-kota di luar Oregon.
Tapi sejatinya membeli mobil tidak semata untuk itu. Saya tertarik cerita tentang menjadi loper koran. Ini juga dilakukan oleh rekan-rekan lain seperti Mas Larso dan Mas Harman, atau bahkan Mas Syahdela yang sekolah pilot pun seolah tertantang mencobanya. Loper koran menurut saya adalah perpaduan profesi antara pembalap formula one, pelempar cakram, dan sesekali pelari jika anjing pelanggan ketimpuk koran dan mengejar.
Maka saya kemudian ditraining menjadi loper koran. Yang mentraining namanya Paul dan untuk pertama kali ditemani pula oleh Mas Larso. Surat kabar harian yang harus diantar ke pelanggan adalah The Oregonian. Paul meminta saya untuk menggantikan untuk sementara (sekitar sebulan) karena ia ingin pulang ke Indonesia.
BACA NKS Menulis Corvallis-5: Kuliah & Asyiknya Berburu Garage Sale
Pelanggan harian The Oregonian di Corvallis cukup banyak. Namun jarak satu pelanggan dengan pelanggan lain bisa jadi agak berjauhan. Berbeda dengan harian The Corvallis Gazette Times yang di kemudian hari saya memilih ini. Tidak gampang memang untuk bisa langsung hafal rumah pelanggan. Maka masa trainingnya dibuat 3 hari.
Menjadi peloper koran itu mesti disiplin, bangun pagi, cepat mengenal alamat rumah, tahu koran bisa dilempar atau harus ke tempat khusus (dengan catatan biasanya tergantung ada tidaknya tips), dan menjadi sopir yang mesti lincah. Begitu pelajaran yang saya peroleh dari training tiga hari itu.
Dan, di hari pertama training, saya tak bisa menahan untuk muntah mabok kendaraan. Bagaimana tidak, saya duduk di belakang sopir bersama tumpukan koran yang sebelumnya kita masukkan ke dalam plastik.
Dengan kecepatan yang tinggi sopir berbelok arah karena tak ada mobil lain di pagi dini hari, atau berbelok untuk sampai pada garasi pelanggan agar lemparan korannya bisa tepat di beranda rumah. Belum lagi dinginnya pagi turut membantu terciptanya proses pembentukan masuk angin. Paul dan Mas Larso memberi semangat bahwa semua orang yang ditraining di hari pertama mengalami muntah.
Hari kedua saya duduk di depan karena Mas Larso tak lagi ikut mengajari. Tetap saja saya pusing tapi tak muntah lagi. Dan di hari ketiga saya menyetir sendiri dan Paul berada di samping saya.
Ini kesempatan saya untuk membalasnya membuat mabuk kendaraan. Saat saya yang menyetir, ternyata tak bisa secepat jika Paul yang membawanya. Maklum saya baru bisa menyetir mobil. Tapi saya yakin saya akan lekas ahli lantaran menjadi loper koran ini. Dan, saya pun gagal membuat Paul muntah mabuk kendaraan. Tubuhnya yang cukup tebal sulit ditembus oleh dinginnya angin pagi.
Ujian berat seorang loper koran adalah di musim dingin. Pukul 03.00 paling lambat saya harus mengambil koran dan memasukkan dalam kantong plastik supaya tidak basah oleh air hujan ataupun salju yang mencair. Setelah itu memasukkannya ke dalam mobil di bagian jok depan dan juga di tengah. Saat mengantar koran ke daerah bukit di pinggir hutan, sesekali saya menemui rusa menyeberang.
Jalanan sangat sepi dan jarang bertemu dengan mobil lain. Rasa merinding saat mendengar lolongan serigala atau pun anjing liar, harus saya buang demi mendapatkan segembol uang. Uang untuk bisa mendatangkan si buah hati dan si jantung hati.
Para profesi loper koran beroperasi di jalanan antara pukul 03.30 sampai dengan pukul 06.00. Jika pukul 06.30 koran belum sampai di tangan pelanggan, siap-siap saja akan datang komplain dan kritikan tajam. Setelah selesai loper koran, kadang baru tidur lagi. Tapi tak jarang, nyambung bekerja nyuci piring di McNary Dining Hall.
Cerita bahwa saya telah lulus menjalani training loper koran ini tak dipercaya oleh Bang Darni Daud mahasiswa S3 OSU (seorang dosen Unsiah) yang tinggal satu rumah namun beda kamar. Karena dalam 3 hari training, saya pulang ke rumah dan tidur mendengkur di saat pukul 07.00 Bang Darni berangkat ke kampus. Ia tak tahu jam operasi, profesi yang kini mungkin terdistrupsi oleh revolusi industri 4.0 ini adalah pukul 03.00-06.00 di kalau bang Darni dan orang lain masih tertidur lelap.
Bekerja 20 jam seminggu di McNary Dinning Hall dan menjadi loper koran ternyata tak juga mendatangkan uang yang bergelimpang. Syarat memiliki minimal tabungan sebesar $7000 untuk dapat membawa anak dan istri masih jauh dari terpenuhi. Apalagi habis membeli mobil toyota tercel wagon.
Dan, Mas Harman kembali menjadi pahlawan bagi saya karena kerelaannya meminjami uang yang cukup besar tanpa ada jaminan serta tanpa bunga.
Tidak hanya itu, Mas Harman pula yang mengantar saya menjemput kedatangan anak dan istri di bandara Seatle. Bayi mungil bernama Vallisa yang saya jemput menjelang musim semi tiba itu segera menemukan kota Corvallis, di mana cerita di balik pemberian namanya berasal. (bersambung)
Nami Kulo Sumarjono. Salam NKS