Oleh Man Suparman
SEMUA orang pastinya sudah tahu, apa itu berjama’ah, baik dalam pengertian bahasa maupun yang dimaksud dalam ibadah sholat. Sholat berjama’ah dari segi bahasa, artinya sholat yang dikerjakan bersama-sama oleh lebih dari satu orang.
Sedangkan menurut pengertian syara’ adalah sholat yang dikerjakan bersama-sama oleh dua orang atau lebih, salah seorang diantaranya bertindak sebagai imam sedangkan lainnya manjadi ma’mum. Sholat berjama’ah di masjid berpahala 25 atau 27 kali lebih besar daripada shalat sendirian. Sholat fardhu berjama’ah di masjid x 5 kali sehari = 135.
Rasulullah SAW bersabda, ”Shalatnya seorang pria berjama’ah pahalanya 25 derajat dibanding sendirian di rumah atau di pasar, yang demikian itu karena jika ia berwudhu dengan sempurna kemudian ia keluar rumah dengan satu tujuan shalat berjama’ah di masjid, maka setiap langkahnya mengangkat satu derajat dan diampuni satu dosanya, dan selama ia di majelis shalat tanpa hadats didoakan para malaikat, “Ya Allah, ampunilah ia dan rahmatilah ia”, dan dianggap mengerjakan shalat sepanjang menunggu waktu shalat” (HR. Bukhari dan Muslim).
Nah, istilah berjama’ah dalam situasi sekarang di negeri yang tengah karut-marut dan sangat subur dengan tindak pidana korupsi, istilah “berjamaah” juga sering digunakan, jika tindak pidana korupsi dilakukan tidak hanya oleh seorang atau terdapat mata rantai yang saling berkaitan. Maka disebutlah korupsi “berjamaah”. Artinya korupsi bersama-sama.
Korupsi berjamaah bisa terjadi, misalnya dilakukan oleh atasan hingga bawahan mulai dari presiden sampai ke tingkat ketua RT, atau dari menteri, kepala dinas provinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa/keluarahan, bahkan tingkat ke-RT-an. Munculnya istilah korupsi berjama’ah, mungkin karena banyak oknum penyelenggara pemerintahan atau eksekutif – legislatif ramai-ramai melakukan korupsi.
Apa bedanya sholat berjama’ah dengan sholat yang tidak berjama’ah. Tentu saja sangat beda sebagaimana dikemukakan di atas, bagi yang melaksanakan sholat berjama’ah diberi pahala atau ganjaran yang berlipat. Pahala yang diberikan tentu saja tidak ada kompromi atau dikurangi diberikan sesuai dengan janji Alloh SWT asalkan sholatnya benar-benar khusuk dan ihklas.
Bagaimana dengan korupsi “berjama’ah”. Nah, masalah yang satu ini, biasanya sang atasan mengorbankan bawahannya, atasannya yang sama-sama terlibat mencari selamat. Bawahanlah jadi korban atau dikorbankan atau ditumbalkan.
Kejadian seperti ini, kerapkali terjadi mewarnai korupsi “berjamaah”. Sang atasan aman-aman saja. Mestinya yang korupsi “berjama’ah” dihukum berat tanpa ada kompromi oleh para penegak hukum. Artinya ganjarannya atau hukumannya berlipat-lipat sama seperti pahala untuk yang sholat berjama’ah. Wallohu’alam.(Penulis wartawan Harian Umum Pelita 1980 – 2018/www.koranpelita.com)