Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH
*Penulis Notaris tinggal di Sampit.
MAFIA tanah benar benar meresahkan. Praktik yang menyasar properti paling esensial dalam kehidupan, dan menjadi alas kehidupan bagi siapa saja, menjadi produk yang bermasalah. Pelaku mafia tanah yang mengerjai bidang tanah secara administratif itu akan terus ada, sebelum ada solusi komprehensif yang bisa membeantas kejahatan ini. Konsep yang secara ilmiah dijadikan sebagai dasar pemberantasan praktik mafia tanah, disajikan bersambung.
SECARA represif, memang sudah ada Satgas Mafia Tanah yang dibentuk apparat penegak hukum. Namun praktik mafia masih saja bergentayangan. Belakangan, menyusul kasus yeng menimpa Ibunda Dino Patti jalal, Satgas itu akan diefektifkan lagi dengan lebih banyak menggandengn oihak terkait, yang selama ini tidak atau belum dilibatkan secara maksimal. Tugas Satgas ini tentunya melacak berbagai modus yang ada berkait dengan praktik mafia tanah. Dengan demikian dibutuhkan operasionalisasi yang bersifat prefentif, dalam arti terstruktur dan jitu untuk memerangi mafia tanah.
Reforma Agraria, Sejarah
Dua istilah, yang selama ini dijadikan sebagai solusi untuk membeantas mafia tanah, yaitu Reforma Agraria. Secara konseptual, pengelolaan administratif terhadap keberadaan tanah itu dilaksanakan berdasarkan konsep berjuluk Reforma Agraria. Konsep ini lahir dan merupakan proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumberdaya agrarian. Dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian pembeantasan mafia tanah adalah bagian dari upaya untuk mencapai tujuan dimaksud.
Bermula dari muara system ketatanegaraan dan administrasi negara, paa awal kemerdekaan Indonesia, pemerintah selalu berusaha merumuskan UU agraria baru untuk mengganti UU agraria kolonial. Pada 1948 pemerintah membentuk Panitia Agraria Yogya. Namun, usaha tersebut kandas karena pergejolakan politik yang keras. Berbagai panitia telah terbentuk, namun selalu gagal dan berganti-ganti: Panitia Agraria Jakarta 1952, Panitia Suwahyo 1956, Panitia Sunaryo 1958, dan Rancangan Sadjarwo 1960.
Setelah Peristiwa Tanjung Morawa, pemerintah mengeluarkan UU Darurat No 8 tahun 1954 tentang pemakaian tanah perkebunan hak erfpacht oleh rakyat. Pendudukan lahan tak lagi dianggap sebagai pelanggaran hukum. Pemerintah akan berupaya menyelesaikannya melalui pemberian hak dan perundingan di antara pihak-pihak yang bersengketa. Pada perkembangannya, tepatnya pada yahun 1957, Belanda yang masih tidak rela melepaskan wilayah Irian Barat terus mengulur penyelesaian Irian Barat. Kemudian Indonesia memberikan tindakan tegas dengan membatalkan perjanjian KMB secara sepihak. Hal ini kemudian diikuti dengan nasionalisasi perkebunan-perkebunan asing.
Pemerintah kemudian mengeluarkan UU No 1 tahun 1958 tentang penghapusan tanah-tanah partikelir. Tanah partikelir adalah tanah yang oleh penguasa kolonial disewakan atau dijual kepada orang-orang kaya dengan disertai hak-hak pertuanan (landheerlijke rechten). Hak pertuanan artinya sang tuan tanah berkuasa atas tanah beserta orang-orang di dalamnya. Misalnya, hak mengangkat dan memberhentikan kepala desa, menuntut rodi atau uang pengganti rodi, dan mengadakan pungutan-pungutan. Hak dipertuanan itu seperti negara dalam negara. Dengan UU No 1 tahun 1958 tersebut hak-hak pertuanan hanya boleh dimiliki oleh negara. Kemudian upaya mengambil alih lahan asing ke tangan rakyat dilakukan dengan ganti rugi. Artinya reforma agraria dikoordinasikan oleh pemerintah dengan cara ganti-rugi untuk meminimalisasi adanya konflik.
Setelah pergulatan selama 12 tahun, melalui prakarsa Menteri Pertanian Soenaryo, kerjasama Departemen Agraria, Panitia Ad Hoc DPR, dan Universitas Gadjah Mada membuahkan rancangan UU agraria. RUU tersebut disetujui DPR pada 24 September 1960 sebagai UU No 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria atau dikenal dengan Undang-Undang Pembaruan Agraria (UUPA). UU Pokok Agraria menjadi titik awal dari kelahiran hukum pertanahan yang baru mengganti produk hukum agraria kolonial.
Prinsip Dasar
Prinsip UUPA adalah menempatkan tanah untuk kesejahteraan rakyat. UUPA mengatur pembatasan penguasaan tanah, kesempatan sama bagi setiap warga negara untuk memperoleh hak atas tanah, pengakuan hukum adat, serta warga negara asing tak punya hak milik. Tanggal ditetapkannya UUPA, yakni 24 September, kemudian diperingati sebagai “Hari Tani”.
Dengan landasan hukum UUPA, dimulailah program reforma agraria. Pelaksanaan program ini ditandai dengan program pendaftaran tanah berdasarkan Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1961, untuk mengetahui dan memberi kepastian hukum tentang pemilikan dan penguasaan tanah.
Kemudian penentuan tanah-tanah berlebih atau melebihi batas maksimum pemilikan yang selanjutnya dibagikan kepada petani tak bertanah. Termasuk juga pelaksanaan UU No. 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH). Namun, pelaksanaan ketiga program tersebut terhambat oleh administrasi yang buruk, korupsi, serta oposisi dari pihak tuan-tuan tanah dan organisasi keagamaan. Karena pelaksanaan reforma agraria yang lamban, PKI dan BTI mengorganisasi program-program gerakan petani untuk melaksanakan UUPA sebagai bentuk perlawanan terhadap gerakan-gerakan hambatan dari tuan tanah yang tidak mau kehilangan tanahnya atau pemilik perkebunan. Oleh karena itu, terjadilah apa yang dikenal dengan konflik agraria.
Salah satu sengketa agraria yang mencuat pada masa itu adalah Peristiwa Jengkol, terjadi di Jember dan Kediri November 1961. Para petani, dengan dukungan BTI (Barisan Tani Indonesia, onderbouw PKI), protes dan menolak pengosongan tanah yang dilakukan Perusahaan Perkebunan. Para petani diusir dengan cara mentraktor tanah tersebut. sebanyak 38 orang tewas. Konflik agraria menjadi isu yang banyak diperbincangkan di tingkat nasional.
Dalam Bahasa konflik, entah berapa banyak konflik besar maupun konflik kecil yang terjadi di setiap daerah di Indonesia. Entah berapa banyak korban nyawa terenggut, rumah, dan kerugian material lain. Akibat banyaknya konflik agraria ini, dikeluarkanlah UU No 21 tahun 1964 tentang Pengadilan Landreform untuk memberi sanksi mereka yang menolak untuk bekerjasama dalam pelaksanaan UUPBH. Pada 1965 terjadi huru-hara politik di tingkat nasional dan pembantaian rakyat di pedesaan-pedesaan, sesuatu yang kemudian membuat semua usaha mewujudkan cita-cita dan semangat reforma agraria itu berhenti.
Pemerintahan Soeharto mengambil kebijakan dengan menjungkir-balikkan proses reforma agraria dan menganggap segala kegiatan yang berkaitan dengan UUPA adalah komunis. Pada 1967 lahir UU Penanaman Modal Asing, UU Pokok Kehutanan, dan UU Pertambangan, yang bertentangan dengan UUPA. Ketiga UU baru tersebut seolah-olah adalah penjelmaan dari UU Agraria kolonial 1870 periode ini yang kemudian menimbulkan lebih banyak konflik agraria sehingga semakin menambah catatan hitam sejarah agraria di Indonesia.
Ideologi Orde Baru
Ideologi Orde Baru adalah pembangunan, tanah kemudian dipersepsikan sebagai kepentingan umum dalam kerangka pembangunan. Semua tanah rakyat bebas dirampas dengan mengatasnamakan pembangunan. Saat itulah terjadi banyak gejolak perampasan tanah. Orde Baru dengan mudah merampas tanah-tanah rakyat, dengan ganti rugi maupun tidak. Penguasa mendasarkan kepada hukum positif, sedangkan rakyat pada hukum adat atau keterangan pengelolaan tanah sementara. Hal ini bisa saja terjadi karena pemerintah tidak melakukan penyuluhan kepada rakyat tentang arti hak kepemilikan tanah. Bagi masyarakat, letter C sudah cukup menjadi bukti hak milik, padahal ketentuannya hanya diberikan hak untuk mengusahakan. Untuk menjadi hak milik, mereka harus mengurus ke Departemen Agraria untuk mendapatkan sertifikat. Karena itulah waktu Orde Baru banyak tanah mudah digusur karena penduduk hanya memiliki letter C.***