Jakarta,Koranpelita.com
Perbaikan kualitas sumber daya manusia yang salah satu didalamnya menyasar pada peningkatan indeks literasi masyarakat merupakan fokus dari program pembangunan pemerintah 2020-2024.
Literasi yang dimaksudkan bukan sekedar kemampuan baca-tulis, mengemukakan pendapat, ataupun mengenal sebab akibat. Melainkan proses menumbuhkan ide-ide, kreatifitas, inovasi baru yang bermuara pada penciptaan produk barang dan jasa yang dapat berimbas kepada perbaikan kesejahteraan.
“Literasi tidak hanya dimaknai secara konvensional, yakni kemampuan baca-tulis, namun juga dapat diterjemahkan untuk mengatasi persoalan, meningkatkan kualitas hidup,” urai Kepala Perpustakaan Nasional Muhammad Syarif Bando mengawali Webinar Transformasi Perpustakaan dan Budaya Literasi Untuk Kesejahteraan Masyarakat pada Senin, (9/11/2020).
Syarif Bando menjelaskan, Perpustakaan sebagai salah satu leading sector penyerbaluasan virus literasi juga harus menanggalkan paradigma lama sebagai kolektor buku-buku maupun bentuk karya cetak dan rekam lainnya.
“Perpustakaan yang mengurusi segala jenis adalah citra perpustakaan pada abad 18. Perpustakaan yang mengelola ilmu pengetahuan adalah paradigma perpustakaan di abad ke-20,” jelasnya.
Di abad ke-21, perpustakaan harus memainkan peran yang berbeda. Peran yang lebih bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Perubahan paradigma (transformasi) yang mengharuskan perpustakaan lebih banyak terlibat menebarkan informasi serta pengetahuan agar bisa dimaksimalkan masyarakat.
“Transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial meruapakan pendekatan pelayanan perpustakaan yang berkomitmen meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat pengguna perpustakaan,” tambah Syarif Bando.
Hal yang tidak jauh berbeda disampaikan anggota Komisi X DPR RI Zainuddin Maliki yang menyebutkan bagaimana peran tranformasi perpustakaan bisa tumbuh meski dari pinggiran. Namun, tetap memerlukan support dari pemerintah agar bisa berkembang menjadi lebih baik.
“Dukungan pemerintah (Perpusnas, red) bagi perpustakaan atapun komunitas literasi lainnya dapat menjadi snow ball effect (efek bola salju) yang makin lama akan semakin membesar. Artinya, dampak transformasi perpustakaan semakin luas yang bisa dirasakan oleh masyarakat,” terang Zainuddin.
Jika ini benar-benar ditekuni bukan tidak mungkin keberadaan perpustakaan malah menjadi alat ukur bagi kemajuan masyarakat. Maka dari itu, gerakan mendekatkan masyarakat ke perpustakaan pada akhirnya akan menggiring masyarakat berpikir kritis (critical thinking), dan mampu menyelesaikan problematika kehidupan (problem solving).
Salah satu contoh nyata dari transformasi perpustakaan adalah seperti yang dilakukan oleh Fahrul Alamsyah, pendiri Gubuk Baca Lentera Negeri dari Malang, Jawa Timur. Selama enam tahun berdiri, Fahrul berhasil mengubah dan membangun kualitas sumber daya manusia di kampungnya, terutama mind set para begundal kampung (preman) sehingga pada akhirnya mereka mau terlibat aktif menjadi volunteer literasi. Mereka dipercaya menjadi para kreator perbaikan kesejahteraan masyarakat.
“Gerakan literasi adalah gerakan bersama. Bukan sekedar budaya baca yang dibangun tetapi juga membangun sumber daya manusianya,” imbuh Fahrul.
Secara khusus Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur Supratomo mengatakan transformasi perpustakaan merupakan keniscayaan yang harus didukung dengan kesiapan infrastruktur perpustakaan, koleksi, dan jaringan internet.
“Perpustakaan berperan dalam meningkatkan literasi. Dan literasi adalah kemampuan praktis yang menjadi modal yang bernilai bagi perbaikan kesejahteraan masyarakat,” ujar Supratomo. (Vin)