Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH
Kebijakan untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional, dipusatkan di provinsi Kalteng, tepatnya di eks lahan sejuta hektar di Kabupaten Kapuas. Kebijakan ini tidak terlalu menarik, setidaknya masih lebih menarik peristiwa dan publikasi mengenai virus korona dengan segala implikasinya. Demikian juga masih kalah menarik jika dibandingkan dengan berita politik lengkap dengan aksesorinya.
Namun dalam kaitan dengan ketahanan pangan nasional, khususnya di provinsi Kalteng masalah ini sangat penting. Penting, sebab menyangkut dengan bahan pangan, yang merupakan kebutuhan elementer bagi fisik manusia. Sama elementernya dengan sandang dan papan. Program yang sejatinya merupakan konsep tentang ketahanan pangan yang kemudian diaplikasikan ini secara konseptual harus diapresiasi. Namun dalam pelaksanannya, ketika bersentuhan dengan lingkungan hidup, memerlukan kontemplasi, setidaknya untuk penyempurnaan dalam pelaksanannya.
Muasal
Pemahaman secara umum, Food Estate (FE) diartikan dengan Lumbung Pangan (LP) merupakan konsep pengembangan pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, bahkan peternakan di suatu kawasan. Konsep ini dilatarbelakangi oleh kondisi yang terjadi antara meningkatnya kebutuhan pangan pada satu sisi, dan peningkatan jumlah penduduk pada sisi lain. Hal ini menyebabkan urgensinya untuk menetapkan sebuah konsep baru yang merupakjan terobosan dalam kaitan dengan upaya untuk memandirikan pemenuhanpangan di Indonesia.
Konsep mengenai PKP ini dicetuskan pada awalnya di tahun 2010, di Kabupaten Merauke. Berdasarkan perhitungan bahwa pada waktu itu 90% dari wilayah itu masih ditutupi oleh hutan alam.
Untuk itu dicetuskanlah konsep yang dinamai dengan MIFEE (Merauke Integrated Food and Energi Estate) atau program pengembangan pangan dan energi yang dikelola secara terpadu di wilayah Merauke, Provinsi Papua, dengan skala areal yang sangat luas. Kementerian Pertanian mencanangkan luas areal seluas 2,5 juta hektar dan direkomendasikan Tim BKPRN (Badan Koordinasi Pemanfaatan Ruang Nasional) sebesar 1.282.833 ha atau sekitar 30 persen dari luas wilayah Kabupaten Merauke saat ini.
Pemerintah membayangkan dan menyuarakan, adanya mega proyek MIFEE akan menghasilkan tambahan cadangan pangan, antara lain: beras 1,95 juta ton, jagung 2,02 juta ton, kedelai 167.000 ton, ternak sapi 64.000 ekor, gula 2,5 juta ton dan CPO 937.000 ton per tahun, pada tahun 2030. PDRB per kapita Merauke terdongkrak menjadi Rp 124,2 juta per tahun pada tahun 2030. Tidak hanya itu, devisa negara dihemat hingga Rp 4,7 triliun melalui pengurangan impor pangan. Seterusnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional Indonesia.
Deskripsi tentang proyek MIFEE yang pro poor dan pro environment hanya pencitraan pemerintah dan menjadisebuah kebijakan ketahanan pangan hari ini. Realitasnya, menunjukkan wajahnya yang neoliberal dan artinya pro pada kepentingan modal. Peta Rencana Investasi yang dikeluarkan BKPMD Merauke (2011) menunjukkan ada 46 perusahaan yang telah mendapatkan ijin lokasi di seluruh wilayah kabupaten Merauke dengan luas sekitar 1.778.908 ha, diantaranya ada 20 perusahaan perkebunan tebu yang menguasai lahan seluas 762.116,53 ha, ada enam perusahaan hutan tanaman yang menguasai lahan seluas 626.819 ha, ada 10 perusahaan perkebunan sawit yang menguasai lahan seluas 389.887 ha, ada lima perusahaan perkebunan tanaman pangan yang menguasai lahan seluas 79.500 ha dan terdapat dua perusahaan industri pengolahan ikan dan empat perusahaan industri kayu olahan yang keseluruhannya menguasai lahan seluas 6.073 ha. Sampai saat ini, diperkirakan luas lahan tanaman pangan dan perkebunan masyarakat hanya seluas 34.000 ha.
Kalimantan Tengah
Untuk Kalimantan Tengah, pengembangan food estate meliputi diversifikasi pangan yang digarap di area 164 ribu hektare. Cara-cara ini diharapkan bisa membantu provinsi terdekatnya untuk meningkatkan produksi tanaman pangan. Secara khusus pula, bahwa jika tanam hanya untuk kepentingan beras saja, banyak sekali di wilayah lain. Tapi pertanian yang ingin dikelola di Kalteng tidak pernah ada di Indonesia.
Pada perspektif lingkungan hidup, dipahami bahwa saat ini seluruh elemen bangsa sedang menghadapi pandemic virus korona atau pandemic COVID-19. Justru di tengah pandemi COVID-19 pemerintah kemudian menggunakan isu krisis pangan sebagai satu alasan untuk mempercepat proyek pencetakan sawah di Kalimantan Tengah di eks Proyek Lahan Gambut sejuta hektar. Pada hal disadari bahwa kebijakan ini merupakan tonggak sejarah kerusakan gambut yang tidak terpulihkan dan menjadi sumber bencana lingkungan dan sumber utama kebakaran hutan lahan gambut hampir dua dekade terakhir.
Upaya pemulihan yang dilakukan selama ini tidak pernah efektif dan terus mengalami kegagalan karena tidak ada niat yang tulus dari pemerintah untuk melakukannya. Bukannya mengambil pembelajaran dari kasus ini, Pemerintah justru kembali berencana membangun proyek food estate seluas -/+ 300.000 ha dan memasukkannya sebagai salah satu Proyek Strategis Nasional, dengan kurangnya transparansi, minimnya kajian ilmiah dan partisipasi masyarakat. Saat ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan coba “mengakali” hal ini dengan melakukan Rapid-KLHS yang cacat prosedur tanpa konsultasi publik sebagai upaya “pembenaran” oleh pemerintah tetapi mengabaikan hak rakyat dan kepentingan lingkungan.
Kegagalan atas pemulihan lingkungan pada masa setelah itu, tepatnya pasca gagalnya proyek ini setidaknya telah ada dua kebijakan penting untuk melakukan rehabilitasi, yaitu melalui Keppres No 80 Tahun 1999 yang telah mengalokasikan dana untuk pembayaran ganti rugi kepada masyarakat yang terdampak dan melalui Inpres 2 Tahun 2007 yang juga mengalokasikan dana sebesar 3,9 Triliun untuk melakukan rehabilitasi lahan gambut tetapi tidak ada kejelasan tentang penggunaannya.
Wilayah ini juga kemudian menjadi wilayah prioritas kerja Badan Restorasi Gambut dengan alokasi dana pemerintah dan itu tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap pengelolaan dan pemulihan kawasan dimaksud hingga saat ini. Fakta menunjukkan, bahwa hampir semua proyek food estate di Indonesia yang bertumpu pada pembangunan skala luas dan modal dari anggaran pemerintah dengan melibatkan perusahaan terus mengalami kegagalan dan dibarengi dengan isu korupsi. Kerusakan lahan gambut juga akan memicu kerugian sosial-ekonomi akibat kebakaran hutan berikut biaya penanggulangan bencana yang akan menguras keuangan negara dan semakin memiskinkan rakyat.
Semoga hal ini menjadi titik perhatian bagi kita semua, khususnya para pengelola yang sedang mengaplikasikan idealisme untuk mewujdukan ketahanan pangan bagi rakyat Indonesia, khususnya warga Kalkimantan Tengah.(Penulis, Notaris tinggal di Sampit)