Pertikaian Postulasi Awal Wujud Jagad Raya
Oleh: Erry Amanda
Entah sejak kapan manusia terus berusaha menggali kemungkinan Awal Kejadian Jagad Raya ini hingga bahan baku bentukkan. Juga berapa jumlah kisah mithologi (menghindari kata Dongeng) yang mencoba menggambarkan Alam Raya ini bermula dan terbentuknya).
Perjalanan panjang Pengetahuan berubah menjadi Ilmu Pengetahuan (yang seolah memberikan kedekatan kebenaran bersifat postulat sahih yang didalilkan) – melalui kajian rumit yang kemudian melahirkan code ilmiah yang dianggap bisa dipertanggung-jawabkan validitasnya. Diawali dari disiplin ilmu kepurbakalaan – etnologi – arkeologi – geologi – antropologi – fisika – bio fisik – Astronomi – filsafat hingga relegiusitas – manusia kian tak lelah ingin membuktikan bagaimana Sang Pencipta kali awal menciptakan jagad universe dengan seluruh isinya.
Apa Penting Dengan Guna Mengetahui Muasal Ciptaan
Ketika seseorang ingin mengetahui apa bahan baku kaca dan kemudian bisa dibuat berbagai macam bentuk atau peralatan yang terbuat dari kaca, jelas keinginan ini sangat wajar. Sikap dan sifat ingin mengetahui kemudian ingin mengikuti atau meniru adalah sebuah kewajaran. Bahan sama, fungsi sama namun soal mutu dan kreasi menjadi sebuah tantangan yang bersifat kompetisi. Termasuk di dalamnya mengembangkan ‘temuan baru dari fungsi kaca.
Pertanyaan mendasar soal ingin mengetahui bagaimana jagad raya seisinya ini terjadi, apa fungsi signifikannya? Bedakan jika hanya ingin mengetahui Sifat-sifat Alam Raya dan Seluruh Isinya, property yang memiliki Kecerdasan Muasal, jelas hal yang demikian memiliki unsur penting dalam usaha memanfaatkan seluruh kecerdasan materi tersebut.
Adakah ketika manusia tahu betul bagaimana Alam Raya dibentuk dan terbentuk serta rowmaterial (bahan bakunya) apakah manusia berusaha menciptakan Alam Baru (bukan sekadar menderivasi?)
Kian Gemuruh
Belakangkangan pertikaian antar disiplin ilmu pengetahuan makin gemuruh. Saling memfalsifikasikan disiplin satu dengan disiplin lainnya. Seolah satu disiplin tertentu merasa lebih benar dan disiplin lain hanya mengupas di permukaan.
Saya tak menyebut displin mana yang bertikai. Sederhananya, Agama merasa lebih benar dalam menjelaskan soal Jagad Raya, demikian pula filsafat dan sains. Masing-masing dari kesemuanya itu merasa lebih unggul dalam kajian yang juga tak merasa hanya sebuah terma kebenaran.
Sains merasa lebih tahu soal alam (dunia) dan jagad raya. Begitu pula sebaliknya disiplin yang lain.
Ada kelompok kajian yang menyatakan, bahwa di jagad raya ini sesungguhnya adalah energy atau cahaya dan bukan materi. Difinisi atau dalil ini sudah melalui kaji klinis atau laboratorium bio cosmic atau hanya perkiraan (fiksi).
Dialektik soal energi. Jika seseorang menyaksikan seekor unggas atau serangga yang besarnya setara satu titik jarum dan bisa terbang. Berapa besar sayap dan berapa besar resonan – getar sayap hingga mampu terbang dan melawan angin? Lantas seberapa juga besar energi yang dibutuhkan dari tubuh sebesar titik jarum menyimpan energi tersebut? Bagaimana materi berubah menjadi energi dan sebaliknya – energi berubah menjadi materi.
Dari hal (yang dianggap sepele dan nyaris tak pernah menarik untuk diamati ini saja sudah sangat rumit, ketika dicoba untuk dipahami bagaimanja muasal bentuk itu diciptakan (dan tak perlu membincang apa fungsi gugus bintang yang milyaran atau bahkan trilyunan tersebut).
Bagaimana setiap benda langit (ruang angkasa ada jalur edar yang dikenal dengan orbiter) dan semua benda-benda langit itu tunduk pada jalur edar tersebut.
Paham Sederhana
Seluruh cakupkan wujud yang maujud sesungguhnya hanya untuk dipahami sebagai pendukung hidup dan kehidupan kemudian dikaji fungsi-fungsinya (bukan Muasal Kejadisnnya ) untuk dimanfaatkan – diderivasi diaplikasikan untuk kepentingan hidup dan kehidupan – kemudian mengelola alam, yang sering dikenal sebagai simbiosis mutualis di ruang ekosistem, bahasa lain Kelola Tata Ruang Mukiman (Sosio Ergonomi). (Penulis, budayawan tinggal di Bandung, 24 Juni 2020)