1441 Hijriah memberi Ramadhan yang berbeda. Tak ada wisata ngabuburit lengkap dengan antusiasme berburu takjil. Jadwal buka puasa bersama juga sudah lama dicoret dari agenda. Sementara itu, saat malam datang, suara imam masjid memimpin sholat tarawih, ikut dikukut.
Semua dilakukan sendiri-sendiri di rumah. Ramadhan, menjadi lebih personal, karena seluruh peribadatan di bulan Puasa, dilakukan tanpa keriuhan. Haruskah kita bersedih hingga letih di hati? Rasanya tidak. Toh beribadah, sejatinya, urusan privat kita dengan Allah, Gusti Kang Murbeng Dumadi.
Ramadhan yang tak berhias ritual-ritual massal (gabuburit, buka bersama, nabuh bedug bareng-bareng dll) semestinya dimaknai sebagai sesuatu yang niscaya. Anggaplah Tuhan sedang ‘bercanda’ dengan umat Islam yang selama ini, melewati Ramadhan secara rutin, itu-itu melulu, seperti kehilangan kreativitas.
Lebih dari semua itu, seharusnya kita juga berprasangka baik kepada kepada Sang Maha Pencipta? Yakinlah, Allah hanya ingin memberi rasa berbeda pada Ramadhan kali ini. Tak perlu kehilangan gairah dan kebahagiaan menjalani bulan penuh berkah ini.
Tapi memang, sambil menuliskan ini, ada ngungun, takjub, heran dengan tingkat paling tinggi. Kaget juga dengan cara Tuhan yang amat kreatif, memberi Ramadhan yang sama sekali belum pernah kita alami.
BACA JUGA NKS Menulis: Merawat Tali SilaturahMeet
Saking takjubnya, saya baru bisa menulis tentang Ramadhan, setelah puasa lewat tiga hari. Mungkin, karena telah tiga hari pula saya menjadi imam sholat tarawih dengan makmum tiga orang: istri dan dua putri kami.
Sesuai janji, saya tak akan mengulang bacaan surat dalam 11 rakaat sholat. Tak melulu qulhu. Menjadi imam dadakan setiap malam, mengubah rasa malas untuk menghafal. Niat kuat untuk datang bersama kondisi itu, sehingga saya bisa menambah hafalan, walau hanya surat-surat yang tidak terlalu panjang.
Ramadhan di rumah saja, pada akhirnya, memang benar-benar mengubah perilaku. Saya melihat itu, pada tingkah polah kedua puteri saya yang kini beranjak dewasa. Tak pernah terbayangkan, si bungsu yang dari dulu sudah terlihat trengginas, mampu menjadi tukang cukur untuk rambut gondrong ayahnya. Ia hanya perlu kursus kilat memotong rambut pria yang dibaca dari media dan menonton youtube.
Berbekal peralatan yang dipesan melalui belanja online, rambuat ayahnya dipotong tanpa ragu. Saya melihat gerakannya, serba lincah, cak-cek, cekatan, layaknya seorang barber berkaliber. Dan hasilnya, lumayan. Tidak memalukan.
Beda dengan pengalaman tahun 1996 saat ingin mengirit ongkos potong rambut, saya meminta istri untuk mengeksekusi. Maklum waktu itu sedang sekolah S2 di Amerika dan ongkos cukur mahal. Jadinya, saya mesti menggunakan topi selama sebulan untuk menutupi rambut yang dipotong tidak rapi.
Tapi kali ini, saya tak perlu malu atau menutupi kepala dengan topi. Bukan hanya karena hasil potongan si bungsu yang lumayan itu tadi, tapi oleh sebab memang kita sedang tidak boleh keluar rumah.
Sejatinya, saya menginginkan potong gundul selama masa pandemi. Usulan itu sayangnya ditolak karena puteri bungsu saya itu, seperti punya rasa trauma, ingat masa kecilnya yang agak ketakutan melihat ayahnya plontos di akhir tahun 2008. Agar ayahnya tak nekat membuat kepalanya plontos, ia rela belajar memangkas rambut.
Selama Ramadhan di rumah saja, pembagian peran untuk masing-masing insan juga dilakukan. Asisten rumah tangga sudah lama tak lagi ada, bahkan sebelum PSBB diterapkan. Beruntung, masing-masing personil sudah punya ketrampilan dan pilihan yang mesti dilakukan. Siapa yang mesti menyapu dan siapa yang lebih menyukai mengepel lantai.
Si sulung menyeterika sambil mendengarkan K-POP, sementara si bungsu punya hobby memasak kue. Ibunya tentu menjalankan tugas memasak yang seolah tiada hentinya agar saat sahur dan saat berbuka ada menu yang berbeda.
Sementara itu, tugas saya yang melekat, selain menjadi imam dengan terus menambah hafalan adalah mencuci piring dan membuang sampah. Kadang entah siapa yang menikmati makanannya, tapi tetap saya yang ditugasi mencuci piring. Begitulah hidup.
Suatu saat saya harus memimpin rapat dan terlambat, sekretaris sampai harus mengirim pesan singkat sebagai pengingat. Ia sampai menelepon anak dan istri agar saya segera bisa bergabung dalam rapat malam pukul 20.00 wib melalui aplikasi video conference (vicon).
Saya yakin, anak dan istri saya tak akan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi, sehingga saya telat rapat. Mungkin hanya kirim foto saja agar mbak sekretaris maklum ada tugas nanggung yang mesti rampung.
Selama di rumah, saya juga beberapa kali mendapat undangan untuk ngaji bareng. Ngaji melalui aplikasi vicon. Ini penting saya ikuti untuk menjaga keseimbangan dan kesehatan jasmani serta rohani.
Di beberapa grup juga ada acara membaca Alquran bersama. Tetap indah didengar oleh telinga dan dirasa oleh hati. Tidakkah kalbu kita membutuhkan sentuhan syahdu alunan ayat-ayat suci Alquran? Kata orang IT, jika ingin membuka hati, jangan lupa mengingat sandi. Password, kata kunci jelas dari firman Illahi.
Dan, saat tulisan sampai pada paragraf ini, tiba-tiba ada pesan masuk di grup whatsapp. Seorang panutan dalam menjalani hidup, sekaligus ustadz dan atasan saya, seolah menampar lewat pesan tulisannya.
Dalam pesan panjang itu, Pak Ihsan mengajak merenung. Wabah Corona yang memaksa orang di seluruh dunia diam dan tinggal di rumah, harus dimaknai secara mendalam. Lalu, Pak Ihsan mengajak membuka surat Al-Kahfi.
Pak Ihsan mengingatkan bahwa sejatinya Allah menghentikan laju kecepatan hidup ini secara mendadak. Allah SWT mengembalikan seluruh manusia ke kehidupan “Gua” (Al-Kahfi).
Serta merta saya mencari tahu dengan membuka terjemahan Al-Kahfi yang sering dibaca di setiap malam Jumat. Al-Kahfi diartikan sebagai para penghuni gua. Lewat wabah Corona, Pak Ihsan mengingatkan bahwa Allah Ta’ala sedang menghentikan kita, sedang menarik perhatian kita semua, dan bertanya kepada kita semua: “Kamu semua mau ke mana?”
Allah menghentikan kita, untuk memberi tahu bahwa semua kesusahan, kesibukan, pekerjaan, tidak hakiki. Tidak asli. Pasti pergi. Sirna. Sebenarnya, kitalah yang selama ini membesar-besarkan segala yang kita punya: harta, tampang, jabatan, dan kedudukan.
BACA NKS Menulis PSBB: Saat Hidup Dipaksa tanpa Warna
Allah menghentikan kita, untuk mengingatkan kita bahwa DIA maha berbuat atas semua yang DIA inginkan. Bahwa semua kekuatan materil yang telah mencuri hati kita, teknologi canggih yang telah merampas akal kita, atau segala yang bersifat duniawi, hanyalah permainan dan kelalaian.
Maka, melalui makhluk sangat kecil, yang bahkan tidak terlihat dengan mata, Tuhan Yang Maha Kuasa menghentikan segalanya.
Allah menghentikan kita, untuk membersihkan hati dari kebanggaan dengan syubhat para atheis, dengan serangan dari para materialis, dengan ketakburan para pengagum kemajuan kaum werternis. Allah Ta’ala bermaksud mendidik kita agar tidak terpengaruh oleh popularitas orang-orang yang berakhlak buruk, lalu kembali ke budaya dan tata krama ketimuran yang jauh lebih beradab.
Allah mengembalikan kita ke “Gua”, untuk mengingatkan bahwa di rumah kita ada teman hidup, yang tanpa terasa, kesenjangan hubungan batin dengan mereka semakin luas, walaupun secara fisik kita sangat dekat.
BACA NKS Menulis Kulon Progo: Nge-pit Membelah Bukit Menoreh
Tanpa terasa, mata air cinta terhadap mereka mulai mengering, akibat kesibukan dan beban hidup. Tanpa terasa, suara dari perasaan kasih sayang dan cinta, semakin mengecil, hampir tak terdengar, di tengah bisingnya deru kehidupan yang berlalu sangat cepat.
Allah mengembalikan kita ke “Gua”, untuk mengingatkan kita bahwa kita dikaruniai putera dan puteri yang tanpa terasa telah beranjak dewasa, bahkan sudah menikah, tetapi kita belum mengenal mereka dengan baik. Batin kita cukup jauh dari batin mereka.
Mungkin mereka telah matang, akan tetapi mereka belum mengambil pelajaran yang cukup dari kita. Bahkan mungkin kita belum menemukan hakekat mereka, belum mengenal mereka secara mendalam, sampai kita belum paham bahasa tubuh mereka, problem mereka, pemikiran mereka, cita cita mereka, sebaliknya mereka lebih dekat teman dan dunianya yang kadang menjerumuskannya.
Sebuah pesan panjang yang saya baca berulang-ulang termasuk surat Al-Kahfi beserta terjemahannya. Benar sekali pesan itu sangat mengena di kala wabah corona. Tidakkah hidup itu harusnya yang bisa bermanfaat bagi orang banyak? Itu pula yang ingin saya coba lakukan walau dalam langkah kecil.
Jadilah Sabtu sore kemarin, saat saya diminta Mas Vetra dari Subuhadi Productions dan ditemani Mbak Tika mengupas sebuah Buku NKS, saya langsung oke. Bukan mau pamer kesuksesan. Bukan. Taoh, buku saya itu juga jauh dari kisah heroik, selain sekadar ingin menyemangati saudara-saudara yang tidak dalam kecukupan untuk tak putus asa dan terus berjuang dengan sebuah kesungguhan.
Tak hanya lewat buku, tapi melalui chanell youtube-nya Mas Vetra saya membagi kisah hidup yang mungkin berguna bagi pemirsa.
Walau kita hanya di dalam “gua” saja, semoga kita tetap bisa berguna untuk sesama. Ambil hikmahnya. Paling tidak, inilah saatnya kita dekat dengan keluarga dan bermanfaat bagi sesama. Ayo lawan corona dengan di rumah saja.
Salam Sehat. Nami Kulo Sumarjono. Salam NKS