Pusing, Stress, Bosan, Bete. Dan, tak perlu lalu kata-kata itu disingkat karena akan menjadi P.S.B.B. Tapi memang itulah yang sedang terjadi kini, di banyak tempat, nyaris seisi dunia. Hidup seperti dipaksa tanpa warna.
Tunggu dulu. Pandemi Corona, boleh saja memaksa kita berada di rumah. Tapi hidup tetap harus berlanjut. Bukankah masih ada cerita yang tertunda? Juga cerita Sewu Kutho yang masih memberi ruang untuk berkisah tentang kotamu.
Tak mudah memang bekerja dari rumah atau istilah ndesonya ‘makaryo saking griyo’. Hari demi hari serasa sama yang saya lewati. Irama yang tak lagi berubah dari waktu ke waktu. Saya mengintip dari balik jendela untuk melihat dunia yang masih sendu. Saya melihat dunia terasa buram tak ada tanda-tanda keceriaan.
Ini hari ke-21 saya tak sedikitpun beringsut dari rumah. Taat dan patuh pada himbauan pemerintah. Sampai orang-orang terheran, begitu tawaduknya saya. Paling banter saya membuang sampah yang jaraknya tak lebih dari 5 meter dari pojok kanan rumah.
BACA JUGA NKS Menulis Bertemu Wapres: Membahas Sadikin & Jamila
Tak bisa dipungkiri, pengalaman hidup turut serta membentuk diri. Bekerja berpuluh tahun di sektor pemerintahan, membawa saya memahami alur pikir pengambilan kebijakan. Termasuk kebijakan dalam menghadapi virus covid-19 yang mematikan ini untuk nang omah wae, stay at home.
Bangun tidur lalu berwudhu dan sholat berjamaah di rumah. Sejatinya saya malu menjadi imam karena surat-surat bacaan saya tak jauh dari qulhu. Untungnya, tidak semua sholat dan rokaat harus dikeraskan bacaannya. Belum terbayang nanti saat menjadi imam untuk sholat tarawih di Ramadhan tang segera datang. Sudah seharusnya saya menambah hapalan surat yang dimulai dari selain qulhu.
BACA NKS Menulis Jogja-1: Mini-Reuni & Temu Rindu
Selepas sholat subuh, lantas dilanjutkan dengan menikmati teh dan cemilan ringan penghangat badan. Semua awalnya terasa indah tanpa ada rasa terburu-buru untuk persiapan ke kantor. Tak lagi merasakan macetnya Jakarta. Just stay at home. Nang omah wae. Kebersamaan dengan keluarga tercinta yang sempurna selama 24 jam penuh dalam satu harinya.
Saya pun sepakat dalam waktu dekat tidak pulang kampung walau terasa itu sangat berat. Mungkin lagu berjudul Jogjakarta yang pernah populer milik Kla Project sedikit mengobati rindu. Memang untuk saya, Jogja itu, melulu rindu. Bahkan Jogja teramat istimewa, karena di Daerah Istimewa Yogyakarta ada Kulon Progo-nya. Tempat kelahiran saya yang tentu saya cintai tanpo winates walau ibu kota kabupatennya bernama Wates. Di situ, lintasan wajah teman-teman lama selalu menggugah rindu.
Kembali ke perkara tak mudah: bekerja dari rumah. Setiap pagi, melalui aplikasi percakapan, sekretaris menjalankan tugasnya wfh mengingatkan jadwal rapat. Morning briefing dengan berbagai kantor wilayah dan kantor cabang disusun dalam jadwal yang ketat. Bayangkan bpjamsostek memiliki 11 kantor wilayah, 123 kantor cabang, dan 202 KCP.
Pertemuan virtual diawali dari video conference seluruh direksi dengan para deputi direktur bidan dan wilayah, seluruh kepala kantor cabang, para kepala KCP dan beberapa asisten deputi direktur. Total peserta mencapai 241 orang dengan aplikasi komunikasi dengan menggunakan video. Tentu harus ada aturan main yang harus dipenuhi agar tidak semua bicara secara bersama. Jika tidak, maka suara tak jelas yang akan menggema tanpa bisa dicerna.
Senang sekali melihat rekan kerja semuanya sehat. Mereka berada di kota berbeda, dari wilayah Indonesia yang paling barat sampai dengan bagian yang paling timur. Walau kami tak bisa berjumpa secara fisik, kami bisa bercerita tentang keadaan rekan-rekan semua, bagaimana sepinya Bali dan beberapa daerah wisata, kondisi pelayanan pada pelanggan dan sebagainya.
Sungguh beruntung bpjamsostek punya LAPAK ASIK yang dapat melayani peserta dalam melakukan pengurusan klaim. LAPAK ASIK adalah singkatan dari layanan tanpa kontak fisik. Ini dimaksudkan tetap dapat melayani para peserta dengan tetap mengindahkan anjuran pemerintah dalam mencegah penyebaran covid-19. Insan bpjamsostek bekerja dari rumah pun dapat melayani peserta tanpa tatap muka. Tentu masih ada berbagai penyesuaian guna kemudahan penggunaannya.
Sehari saya biasanya dijadwalkan untuk bertemu dengan rekan di wilayah dan di cabang dua kali. Karena namanya morning briefing, pukul 08.00 wib dan pukul 10.00 wib dengan durasi rata-rata 1,5 jam. Selepas morning briefing, jadwal siang hingga sore menghadiri undangan rapat virtual dengan instansi terkait atau koordinasi dengan deputi direktur di kantor pusat.
Uniknya bekerja dari rumah ternyata jam kerja menjadi kurang jelas. Malam sering dijadwalkan juga untuk untuk rapat virtual. Hari libur pun tak lagi sungkan untuk dijadwalkan. Tak jarang video conference dengan dua grup peserta dan dengan topik berbeda dalam satu waktu yang bersamaan.
Untungnya kita bisa mengaktifkan atau menonaktifkan mic (mute and unmute mic) dan juga video kita tidak nyalakan. Namun, konsentrasi menjadi terpecah dan jika tidak terpaksa saya tak akan melakukannya.
Kisah-kisah lucu terjadi saat video conference. Lupa untuk tidak membuat mic dimatikan, ada peserta yang teriak marah-marah entah marah kepada istrinya atau ART-nya namun kemudian pas sadar ia kembali tersenyum dan hilang marah-marahnya. Yang paling sering adalah anak atau cucu ikut nimbrung ber-video conference. Atau saat sudah bicara panjang lebar namun lupa posisi mic masih belum di-unmute.
Kebosanan muncul setelah melewati beberapa hari bekerja dari rumah. Saya merasa kasihan pada pasangan yang kebingungan untuk menyiapkan menu masakan. Wajar. Biasanya makan siang dan tak jarang makan malam karena pekerjaan tak bisa dilkukan di rumah.
Kini pagi-pagi sudah mesti ada sarapan pagi. Pukul 11.30 wib saatnya makan siang dan pukul 17.30 wib waktu untuk makan malam. Belum lagi permintaan ngeteh atau camilan di kala sore atau malam hari untuk menemani video call atau disposisi berbagai surat masuk.
Saya mencoba untuk melenyapkan kebosanan efek bekerja dari rumah dengan hal-hal yang: Positif, Sehat, Berbagi, & Bahagia. Tak dinyana jika disingkat juga menjadi PSBB.
BACA NKS Menulis: Sekali lagi, Ini Tentang Pingpong
Positif. Hal positif yang dapat disepakati terkait pembagian tugas di rumah seperti menyapu, mengepel, membuang sampah, mencuci, dan menggosok pakaian. Satu perjanjian bahwa dilarang marah-marah saat melaksanakan tugas. Di sisi positif lainnya, memanfaatkan waktu untuk membaca buku, mendengarkan musik, atau berkaraoke. Sementara saya disela-sela waktu juga mencoba untuk berlatih menulis dan menonton konser amal Mas Didi Kempot.
Sehat. Nah, perilaku menjadi lebih sehat jelas pula tercipta. Menu makanan yang disajikan jelas terjamin lebih sehat dan tanpa pengawet. Menu sederhana seperti kangkung dengan sambel ditambah tahu dan tempe goreng terasa sedap saat disantap bersama keluarga.
Walau tak bisa bermain pingpong atau bulutangkis di lapangan, saya sempatkan mencari keringat dengan memperbaiki pukulan pingpong dan bulutangkis dengan menerapkan teknik-teknik dari youtube.
Tentu ini upaya untuk sehat. Dengan bekerja dari rumah, kesehatan kantong juga lebih terjamin karena dijauhkan dari virus belanja, kuliner, ataupun bahan bakar. Menerapkan jam tidak boleh bermain handphone agar mendapat quality time, menjadi cara sehat untuk mencegah belanja on-line.
Berbagi. Pagebluk atau wabah penyakit Covid-19 memporak-porandakan tatanan kehidupan yang membuat banyak usaha gulung tikar, mall tidak boleh buka, orang mesti tinggal di rumah, dan banyak pekerja kehilangan penghasilannya. Sementara pekerja tetap perlu penghasilan untuk menghidupi diri dan keluarganya.
Di sisi lain, garda depan yang menangani covid-19, para pekerja medis membutuhkan alat pelindung diri yang memadai. Perlu pula masker dan hand sanitizer untuk masyarakat banyak. Berbagi menjadi hal yang semestinya kita lakukan.
Banyak cara untuk berbagi baik secara langsung atau ikut menyumbang kepada lembaga yang terpercaya, termasuk bagi sobat ambyar yang peduli menyumbang lewat konser amal Mas Didi Kempot. Saya salut kepada kerelaan insan bpjamsostek untuk menyumbangkan 10% dari gajinya. Belum lagi yang secara sendiri-sendiri melakukan hal yang sama.
Bahagia. Kesempatan untuk selalu bersama keluarga tercipta akibat corona. Dengan modal hal-hal yang positif, sehat, dan berbagi dengan sesama, sudah barang tentu hati akan menjadi bungah. Bahagia. Untuk mengukur sebuah kebahagiaan, saya selalu melakukan rutinitas menimbang berat badan. Agar tetap bahagia, saya memejamkan mata dan tak mau melihat bertambah berapa berat badan saya.
Kata-kata bijak “rumahku syurgaku” tak lagi bisa terbantahkan. Mari syukuri sembari meminta dalam doa kiranya corona segera sirna. Saatnya di rumah saja menjadikan kita memenangkan peperangan. Lawan corona dengan tetap di rumah saja. (*)
Salam Sehat. Salam NKS.