Oleh Dr. H. Joni,SH.MH
VIIRUS KORONA masih merajalela. Pemerintah sebagai pihak yang bertanggungjawab atas penghentian merebaknya virus ini sangat sibuk. Kebijakan demi kebijakan dibuat untuk mencegah agar virus tidak meluas. Satu demi satu, daerah kabupaten/Kota sebagai basis dari daerah provinsi menerapkan PSBB (Pembatasn Sosial Berskala Besar). Mulai dari DKI Jakarta, disusul provinsi Kalsel yaitu Banjarmsin, bersamaan dengan provinsi Kaltim yaitu Tarakan. Daerah lain sedang mempersiapkan diri, dengan keberlakuan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan
Kesibukan menghadapi bahaya virus ini, ternyata tak direspon oleh anggota DPR. Ketika seluruh komponen bangsa sedang berprihatin dan bergulat dengan kekhawatiran merebknya virus ini, DPR tidak melaksanakan lockdown atau social distancing. Minimal memberikan kontribusi atau melakukan kontrol terhadap apa yang dilakukan sebagai bagian dari tugasnya melakuan kontrol terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Namun DPR sedang melakukan pembahasan terhadap produk legislasi yang tidak ada sangkut pautnya dengan merebaknya virus korona. DPR membahas dan bernafsu sekali utuk segera menyelesaikan satu Undang Undang, yaitu UU Cipta Kerja, atau UU Omnibus atau populer disebut sebagaio UU Omnibus Law.
Ada Apa?
Pihak DPD (Dewan Perwakilan Daerah) RI yang meminta pembahasan RUU Cipta Kerja ditunda justru ditanggapi minor oleh pihak DPR. Menurut kalangan anggota DPR, permintaan untuk penundaan ini sangat disayangkan. Hal itu menunjukan pemikiran yang terjebak pada logika menolak atau menerima tetapi tidak masuk dalam ranah mencerdaskan yakni diskursus yang komprehensif. Pernyataan abstrak yang tidak mencerminkan pemikiran legislator yang peka terhadap kondisi konkret masalah rakyat ini dikemukakan oleh Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, bernama Willy Aditya.
Menurutnya, pihak DPD yang meminta ini dihentikan, sudah terlebih dulu masuk ke materi yang ada dalam draf RUU. Padahal itu baru draf, belum tentu juga akan disepakati dalam pembahasan nanti. Jadi belum apa-apa, ujarnya sudah masuk ke substansi sehingga opininya prematur. Tentu saja masalahnya bukan prematur atau tidak. Masalahnya adalah kepekaan wakil rakyat terhadap kondisi rakyat yang sedang bergulat dengan kekhawatiran, kegelisahan dan bahkan ketakutan untuk menghadapi virus korona, hal ini tidak direspon sebagaimana mestinya. Sementara hampir semua lembaga memikirkan upaya untuk menyelamatkan rakyat dari bahaya virus korona.
Secara prosedural, dalam keadaan normal memang merupakan kewenangan, dan bahkan hak dari Lembaga DPR untuk membahas suatu RUU sesuai dengan program legislasi yang disusun secara ketat dan melalui kompromi yang alot. Namun hal itu sesuai prosedur yang dilaksanakan dalam kedaan normal. Dalam situasi tak normal seperti sekarang ini, pembahasan terhadap produk legislasi termasuk berbagai aktivitas kelembagaan negara harus berorientasi kepada upaya penyelamatan bangsa dari bahaya. Ketidakpekaan terhadap situasi yang ada, dengan mengabaikan berbagai protokol dan prosedur untuk melepaskan diri dari bahaya ini menunjukkan ketidakpekaan terhadap situasi dan kondisi yang ada.
Argumentasi dari pihak DPD yang minta agar pembahasan RUU itu ditunda bukannya tanpa alasan yang jelas. Bahkan alasan yang dikemukakan obyektif, dan terlepas dari aspek prosedural sebagaimana disampaikan oleh pihak DPR. Alasan pihak DPD, bahwa RUU Cipta Kerja ini substansinya bertentangan dengan asas otonomi daerah, sebagaimana diatur pada Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) UUD 1945 yang mengakui keberadaan pemerintah daerah baik Provinsi, dan Kabupaten/Kota yang menganut asas otonomi seluas-luasnya dan tugas pembantuan. Permasalahan yang ada di RUU Cipta Kerja ini merupakan ranah Daerah, dan karena itu masuknya harus melalui DPD sebagai representasi Daerah sesuai dengan otonomi daerah.
Tak hanya itu, RUU ini di sarmping secara administratif melanggar asas otonomi daerah juga melanggar Hak Asasi Manusia dari Warga Negara seperti hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak atas jaminan kesehatan, hak atas pendidikan yang dijamin dan dilindungi oleh Konstitusi. Substansi dari RUU ini melepaskan kewajiban negara untuk menyediakan hak dimaksud, dan memberikan pemenuhan hak-hak tersebut kepada swasta atau asing.
Motivasi Lain?
Sejatinya sudah gamblang, semenjak awal RUU Cipta Kerja ini dinilai akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Dalam hal terjadinya pelanggaran, misalnya tidak jelas norma hukum mana yang harus diterapkan. Dalam kaitan ini, norma tentang pelanggaran dan atau sanksi yang terdapat dalam Undang-Undang yang menjadi muatan RUU Cipta Kerja tersebut beberapa diantaranya tidak direvisi dan atau dicabut. Paahal ini merupakan prisip dasar dalam pengajuan materi dari sebuah RUU. Hal hal yang menyangkut kewenangan Daerah, sebagai refleksi otonomi daerah harus mengacu paa ketentuan tentang Dewan Perwakilan Daerah.
Kendatiupun tidak bisa dibuktikan secara konkret, begitu bersemangat atau tepatnya bernafsunya DPR membahasa RUU Cipta Kerja ini seolah membenarkan bahwa ada pesanan tertentu. Tetapi di balik itu, ada atau tidaknya pesanan yang pasti bahwa DPR telah kehilangan aura keterwakilannya sebagai wakil rakyat yang seharusnya peka terhadap apa yang terjadi pada rakyat yang diwakilinya.
Bisa saja beribu argumentasi diberikan, namun berdasarkan nilai obyektifitas, atau dari hati nurani rakyat sebagai hal tidak pas, tidak tepat Ketika masalah merebaknya virus korona seolah tidak sampai ke mereka. Penderitaan rakyat, dan perubahan tatanan administrasi negara yang disesuaikan dengan merebaknya virus korona ini seolah tak dipandang sebagai masalah serius. Buktinya tak ada pandangan, apalagi pembahasan yang dilakukan berkenaan dengan merebaknya musibah ini. Hal yang memprihatinkan seluruh rakyat, yang seolah berjalan sendiri, mencari dan mempertahankan kehidupanya, tanpa wakil yang telah dipilih secara susah payah untuk minimal peduli dengan penderitaan yang diwakilinya.
Mencermati hal ini, sekecil dan sesayup apapun, harus disuarakan kekecewaan terhadap para wakil rakyat yang duduk di DPR. Harusnya seluruh rakyat yang terwakili di lembaga terhormat ini menyuarakan hal yang sama. Tolak kelanjutan pembahasan terhadap RUU Cipta Kerja. Fokuskan pada penanganan virus korona. Apa yang harus dilakukan dan bagaimana mekanismenya jangan tanya kepad rakyat. Wakil rakyat selayaknya harus bisa dan berbuat sesuatu yang sesuai dengan aspirasi dan apa yang terjadi dalam diri rakyat. Ini adalah amanat hati nurani rakyat yang harus ditindaklanjuti, dan harys diperjuangkan sesuai kemampuan.***