Saatnya meninggalkan Brussel. Ibu Kota Belgia itu telah memberi saya banyak cerita. Ada cerita yang ringan-ringan saja, tapi terselip pula yang serius. Semua menjadi oleh-oleh yang saya bawa pulang.
Kerajaan dengan tiga bahasa nasional ini, juga memberi bekal pengalaman, yang tidak melulu berkaitan dengan kegiatan WSSF2019.
Ada satu cerita yang menguak ruang privasi, yang semoga masih bisa dimaklumi. Ini tentang sahabat saya yang setengah mati harus berlari mengejar waktu tanpa bisa ditawar. Ia baru sadar, tinggal punya tiga jam, untuk menyiapkan semua kebutuhan lalu memburu waktu, melesat ke bandara. Semua terjadi, hanya karena lupa jadwal: terbang petang ke Brussel.
Ia selamat sampai Bandara dengan segala akrobatnya mengarungi jalanan yang ruwet menjelang petang. Sampai di Brussel dengan selamat. Tapi yang tidak selamat adalah barang bawaannya. Banyak barang penting yang tidak terbawa, sebaliknya beberapa barang justru berlebihan membawanya.
Inilah jika urusan packing diserahan asisten di rumah. Atau, bisa jadi karena serba buru-buru, sehingga yang paling penting bisa mengejar ketinggalan. Tapi jadinya, lima hari di Brussel, hanya membawa satu pakaian dalam. Maaf saya perlu sebut spesifik, celana bagian dalam.
Saya ingin tertawa, sebenarnya. Tapi pasti tidak etis, karena bisa dianggap menertawakan. Jadi saya hanya bisa mengajak Anda membayangkan peristiwa ini. Peristiwa saat sahabat saya hanya bisa sarungan, karena justru sarung yang terbawa dalam jumlah berlebih: nggak tanggung-tanggung, empat buah sarung.
Tidak diceritakan apakah semua sarung itu bermerk binatang duduk atau ada yang juga yang berdiri. Jangan-jangan seperti kalau sedang kedinginan di Indonesia. Sarung menjadi penghangat paling nyaman sambil jongkong atau tidur nggrutel. Sayangnya drescode yang dipakai adalah business attire, bukan sarungan atau krukupan sarung.
Cerita belum berakhir. Tragedi terjadi. Sebab sahabat saya ini sakit. Kembung dikombinasi panas badannya. Akibatnya, di hari kedua WSSF 2019, terpaksa mbolos. Nah, kami saling menduga penyebab beliau sakit.
Memang. Dalam beberapa hari di Brussel, selain udara yang dingin, hujan juga akrab menemani. Jadi, barangkali karena terlalu banyak sarungan, angin terlalu banyak masuk penyebabkan masuk angin.
Benar. Besar kemungkinan meriangnya sahabat saya ini karena masuk angin. Angin yang masuk ke tubuh kelewat banyak akibat celananya basah terterpa hujan. Karena tak punya ganti, celana itu terus dipakai dari basah hingga kering.
Celananya mengering, tapi angin menerobos masuk ke badan. Pelajaran dari peristiwa ini adalah bawalah ganti pakaian dalam secukupnya. Jangan membawa sarung melebihi pakaian dalam.
Selama kegiatan ini, sejatinya banyak payung dibagikan sebagai souvenir. Sekali lagi payung (bukan sarung). Ini merupakan simbol. Melindungi dari hujan dan terik matahari. Protecting you. Persis seperti jaminan sosial. Melindungi Anda dari berbagai risiko. Membuat kita merasa aman dan nyaman menjalani kehidupan, selain dengan berserah diri pada Illahi.
Saya kurang tahu apakah sahabat saya yang masuk angin itu, selalu membawa payung goodybag tersebut atau tidak. Semoga selalu membawanya, sehingga bisa menjadi pelindung dari hujan, meski saat hujan tertiup angin, tetap ada air yang menyusup membasahi pakaian dan badan. Terbayang jika tak payungan, demamnya gak cukup sehari.
Kisah lain tentang makan. Ini bukan masalah sembarang, karena selalu seru. Tahu sendiri kan orang Indonesia? Meski sedang berada di pusatnya peradaban dunia sekelas Brussel, yang dicari tetap saja nasi putih. Belum disebut makan jika belum bertemu nasi putih. Jadilah, kriteria resto yang dituju selalu yang punya nasi putih, selain mencari yang halal.
Saking sudah kecanduan nasi, ada yang dari Indonesia membawa beras lengkap dengan rice cookernya. Saya sering bertanyaa, apakah memang sedemikian ketergantungan dengan nasi putih ya? Atau sebenarnya mau irit?
Dan, ini nyata. Barangkali berlebihan, tapi nasi putih sudah menjadi kebutuhan tak tergantikan. Bayangkan, saat pesan nasi goreng, tetap saja dia juga minta nasi putih. Jadi, nasi goreng adalah lauk dari nasi putih. Aneh, tapi ya tetap saja aneh.
Kebiasaan yang lain adalah membawa sambal. Orang Indonesia terkenal dengan suka makanan yang pedas. Sementara masakan Eropa rata-rata tidak pedas. Nah, menyiasati hal ini, beberapa sahabat saya mau repot membawa sambal sachet. Tidak tanggung-tanggung, beberapa pack yang isi per packnya 24 sachet. Apapun makanannya, sambal sachet siap menemani.
Sejauh kemarin, beberapa kali makan bersama di Brussel (di tempat WSSF 2019 atau di restauran) penggunaan sambal bawaan tidak ada permasalahan. Selamatlah mereka yang doyan sambal. Padahal saya punya cerita traumatik soal membawa sambal ke luar negeri.
Ceritanya begini. Ada sahabat saya di institusi lama, yang liburan ke Jepang. Saat makan di restauran Jepang, terjadilah insiden sambal. Sang koki tersinggung dan marah melihat sahabat saya ini membubuhi sambal di makanan yang tersaji dengan apik itu.
Menurut koki Jepang tersebut, ia sudah memasaknya dengan resep, bumbu, dan cara terbaik. Tapi dengan ditambahi sambal, pasti rasa akan berubah. Pelanggan tidak menghargai jerih payah koki dan malah merusak rasa originalnya.
Ada lagi cerita lain. Cerita yang agak memalukan. Untungnya tidak ada yang mengabadikannya. Bisa dibayangkan bagimana mempermalukan negara jika melihat ada tiga orang direktur harus mendorong mobil.
Ini mobil Eropa buatan Perancis. Citroen. Tidak ada masalah dengan mobilnya. Yang masalah adalah sang sopir tidak nemu pengunci untuk bisa mundur. Apa boleh buat, anggap saja, mendorong mobil sebagai olah raga yang memyehatkan. Walau sebenarnya tetap saja agak memalukan.
Cerita terakhir yang ingin saya tuliskan adalah tradisi mengelus-elus patung Everard ‘t’ Serclaes di Grand Place Brussel. Banyak yang percaya, kalau ke Brussel harus mengelus patung ini. Patung pahlawan yang tiduran. Sebab, setelah mengelusnya, suatu saat akan kembali ke Brussel.
Saya ikut mendekat. Tapi tidak ikut mengelus. Hanya melihat dari dekat, memastikan patung itu baik-baik saja, tidak bangun atau malah marah karena semua orang di seluruh dunia datang mengelusnya.
Tentu tidak perlu terlalu mempercayai legenda itu. Kalau kemudian kembali lagi ke Brussel suatu saat nanti (setelah menyentuh dan mengelus patung tidur tersebut) bukan karena mengelusnya, tapi karena ada tiket dan ongkos untuk datang.
Bayangkalah anehnya, datang kembali ke Brussel hanya untuk mengelus patung pahlawan tiduran yang ekspresinya seperti menahan luka itu agar kelak bisa datang lagi.
Tapi saya sengaja tidak ikut mengelus, bukan karena tidak ingin kembali menikmati Brussel. Bukan itu. Sebab, saat berada di kejauhan, yang selalu saya ingat adalah kembali ke Nganjir, negeri NKS yang selalu menjadi pusat kerinduan. (*)
Tamat, sampai ketemu di kota lain. Salam NKS: Niki Kulo Sarungan