Mengenang Pendekar Pena H. Mahbub Djunaidi

Oleh Man Suparman

Har ini, 1 Oktober 1995, H. Mahbub Djunaidi dalam usia 62 tahun meninggal di Bandung, Jawa Barat, “De, kalau ingin kaya, jangan jadi wartawan, jadilah pengusaha. Kalau penakut jangan jadi wartawan, jadilah tukang mie bakso,”

 

Ungkapan itu, masih teringiang-ngiang yang dikemukakan oleh sang pendekar pena, kolomnis ternama, H. Mahbud Djuanedi (Alm), pada suatu kesempatan di Kantor Perwakilan Harian Umum Pelita Jawa Barat, Gedung Milamar, Jalan Asia Afrika (depan Gedung Merdeka), Bandung. Pada saat itu, Kantor Redaksi Harian Umum Pelita di Jalan Asemka, dan Kantor Tata Usahanya di Jalan Diponegoro No. 60, Jakarta Pusat.

Pada hari-hari tertentu, bisa bertemu dengan beliau di Kantor Perwakilan Harian Umum Pelita (1980 — 1982), karena beliau yang bertempat tinggal di Jalan Turangga 1, Bandung itu,  merupakan penasihat Perwakilan  Harian Umum Pelita Jawa Barat, sedangkan Kepala Perwakilannya, Agus Suflihat Manaf atau Agus SM. Ada juga Nu’man Abdul Hakim yang dikemudian hari jadi Wakil Gubernur Jabar.

Beliau yang penampilannya sangat sederhana terkadang kepergok mengenakan pakaian olahraga (baju dan celana singlet), jika bertemu selalu memberi nasihat-nasihat tentang kewartawanan, tentang tulis menulis, ya termasuk nasihatnya, “De kalau ingin kaya jangan jadi wartawan, jadilah pengusaha. Kalau penakut jangan jadi wartawan, jadilah tukang mie bakso,”

Memang, jadi wartawan jangan berharap kaya, memang jadi wartawan bukan untuk mengejar kekayaan. Pada masa-masa itu, orang jadi wartawan, karena tuntutan nurani, sehingga dikenal dan lahir sebutan wartawan idealis. Artinya wartawan yang benar-benar menjalankan tugas dan fungsinya tanpa pamrih, wartawan hakekatnya pejuang. Apalagi pada masa-masa perjuangan sebelum Indonesia merdeka, wartawan berjuang dengan kekuatan penanya untuk kemerdekaan negeri ini.

Wajarlah jika pada masa-masa itu, jadi wartawan jangan berharap kaya sebagaimana dikemukakan mantan Ketua PWI, dan mantan Ketua NU periode tahun itu. Pada masa-masa itu, wartawan yang memiliki kendaraan beroda dua, dan empat sangat jarang. Mahbub pun memiliki kendaraan sedan VW berwarna biru telur asin, mungkin bukan dari hasil jadi wartawan, karena ayahnya Pak Djunaedi, merupakan tuan tanah, orang kaya Betawi, dan memiliki tanah saah di Warungkondang (sertifikat tanahnya pernah diurus oleh penulis semasa Kepala Agraria Kabupaten Cianjur, R. Owe Satripradja).

Walaupun pada masa-masa itu, sebut saja pada masa orde baru, kebebasan wartawan dikekang, tetapi harkat derajat wartawan sangat tinggi, dihormati oleh pejabat maupun masyarakat. Pejabat, masyarakat sangat segan terhadap yang namanya waratwan. Wartawan pun terutama di daerah jumlahnya sangat sedikit dapat dihitung dengan jari di satu kabupaten paling banyak rata-rata sembilan atau 11 orang.

Kondisi seperti itu, tentunya jauh berbeda dengan kondisi sekarang, terutama sejak era reformasi. Jumlah wartawan terutama di daerah sejak era reformasi dibukannya krand kebebasan jumlah wartawan di salah satu kabupaten,  wow, bisa mencapai 400 orang, bahkan lebih.

Pers masa sekarang pun adalah pers industri, walaupun tidak dapat menjamin wartawannya hidup kaya, tetapi paling tidak hidupnya mapan terutama yang bekerja pada penerbitan-penerbitan media tertentu.

Tetapi boleh jadi, lebih banyak wartawan yang hidupnya tidak kaya, gajihnya rendah seperti yang pernah dilontarkan oleh Prabowo Subianto, usai upacara peringatan hari kemerdekaan ke-72 – RI di Kampus Universitas Bung Karno, Jalan Kimia 20, Pegangsaan, Jakarta Pusat, Kamis (17/8/2017).

Jangan Penakut

Kalau penakut jangan jadi wartawan, itu ditunjukan oleh Mahbub Djunaedi, bagaimana keberaniannya menulis sehingga beliau sering disebut sang pendekar pena. Tulisan-tulisannya ringan, asyik dibaca, berani menegrkritik keras pemerintahan, kadang-kadang dengan gaya bahasa yang halus dan santun.

Suatu hari,saya menulis berita di tempat saya bekerja tentang acara seremonial pelantikan kepala PGA Negeri 6 Tahun. Kepala Departemen Agama setempat dalam pidatonya mengatakan”……tingkatkan pembangunan garis miring Golkar,” Waktu itu, saya pun mengkonfirmasi kepala Depag, mempertanyakan ucapannya apa yang dimaksud dengan tingkatkan pembangunan garis miring Golkar.

Dua hari kemudian, berita itu, dimuat tanggal 26 Desember 1980 (karena waktu itu mengirim berita ke redaksi di Jakarta melalui pos, sampainya dua hari, karena belum ada facimili, apalagi email seperti sekarang). Pada tanggal 26 Desember 1980, Mahbub, mengapresiasi berita tersebut, pada tulisan kaki halaman pertama Harian Umum Pelita dengan judul “Orang Depag Cianjur mesti Ditrtibkan,”

Tulisan itu, sungguh menghebohkan banyak pihak baik di pemerintahan, maupun masyarakat. Pagi itu, koran terjual habis di agen dan pengecer. Dampak dari tulisan sang Pendekar Pena, H. Mahbub Djunaidi, semakin bertambah kental kecurigaan dan julukan yang dialamatkan kepada saya sebagai (wartawan “hijau’ –Islam – begitu orang menyebutnya), wartawan PPP (Partai Persatuan Pembangunan), karena karena pada masa itu, Islam identik dengan PPP sebagai partai yang berazaskan Islam. Padahal mereka sendiri yang yang berada di partai lain,  sama-sama pemeluk Islam, bahkan, saya sendiri sering disebut wartawan “hijau” (Islam)  ekstrim.

Tidak hanya itu, hari-hari berikutnya koran tempat saya bekerja dilarang masuk desa. Dengan begitu, semakin banyak orang yang penasaran sehingga membeli dan berlanganan koran tersebut. Banyak PNS yang membeli koran kemudian dilipat di saku belakang atau diselipkan di bagian bokong, untuk dibaca di rumah, karena kalau dibaca di kantor takut dicurigai atau disebut orang PPP, karena membaca koran tersebut, identik dengan PPP, identik dengan Islam PPP.

Itulah secuil kenangan dengan Almarhum Mahbub Djunaidi,  yang lahir tanggal 27 Juli 1993 di Jakarta, kini telah tiada. Beliau meninggal di dunia di Bandung pada tanggal 1 Oktober 1995. Semasa hidupnya, pernah jadi Ketua Umum PP.PMII tiga periode. Pernah menjabat sebagai Ketua Umum PWI Pusat, (1979 — 1983), anggota DPR GR (1967-1971), Wakil Ketua PB NU (1984-1989), Wakil sekjen DPP PPP, Anggota DPR/MPR RI (1971-1982), Ketua Majlis Pendidikan Soekarno dan anggota mustasyar PB NU (1989-1994).

Beliau adalah penulis yang sangat terkenal pada zamannya, banyak menulis di harian Kompas, klolom Asal-usul, di Harian Umum Pelita dan Pelita Edisi Minggu pada kolom Sekapur Sirih, Koran Pikiran Rakyat, Sinar Harapan, Tempo, Koran Gala Bandung, dan lainnya. Banyak sudah tulisannya yang dibukukan.(Penulis Wartawan Harian Umum Pelita 1980 – 2018/Koranpelita.com)

0000

About redaksi

Check Also

Inovasi Ketahanan Pangan Kota Semarang Kembali Raih Penghargaan Tingkat Nasional

Semarang,KORANPELITA com – Inovasi Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang di bidang ketahanan pangan kembali mendapatkan apresiasi …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap selesaikan captcha sekali lagi.

Eksplorasi konten lain dari www.koranpelita.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca