Hari Rabu, 18 September 2019 saya masih terdampar di Shanghai. Atau boleh juga disebut mendamparkan diri. Rabu pagi yang sangat singkat. Mimpi menikmati Shanghai secara lebih landai, terusir oleh lekas yang gegas.
Tak ada waktu untuk berlama-lama rebahan di peraduan, setelah seluruh nyawa kembali pada raga. Gerak badan yang sudah rutin, harus dilupakan. Sarapan kilat dengan menu yang itu-itu, juga dibiarkan berlalu.
Pukul 07.00 WS (Waktu Shanghai) semua harus bersiaga. Apa boleh buat. Barangkali semua yang serba buru-buru, ada hubungannya dengan spirit meniru kesuksesan Jack Ma. Benar. Hari itu, di hari ketiga per’kuliah’an, agenda programnya adalah menengok Alibaba milik om Jack Ma.
Memang, nama Jack Ma adalah magnit yang membuat saya memilih ikut leadership program sampai ke Negeri China. Bukan soal rasa penasaran pada kesuksesan Jack Ma dan Alibaba. Tapi ini tentang menjadi Jack Ma. Meniru menjadi Jack Ma.
Saya punya modal. Modal besar malah. Modal nama yang tak jauh-jauh dari nama Jack Ma, karena saya adalah Sumarjackma. Kelak, NKS bukan lagi Nami Kulo Sumarjono tapi Nami Kulo Sumarjackma. Nama yang lengkap, ada first, middle, dan last name-nya sehingga saya tidak akan pernah lagi dirisaukan oleh urusan nama yang hanya satu suku kata setiap ke luar negeri.
Lokasi Alibaba berada di Hangzhou di pinggiran sangat jauh dari Shanghai. Tak kurang berjarak 170 km. Jarak yang ngos-ngosan jika ditempuh dengan nggowes. Maka, saatnya menambah pengalaman dengan mencoba kereta cepat milik China, yang disebut Bullet Train.
Tentu siapapun ingin tahu bagaimana China bisa membuat Bullet Train. Tidak banyak negara yang mampu membuat kereta dengan kecepatan tinggi. Dugaan saya ternyata benar. Konsep Copy to China atau C2C merupakan jawabannya.
Dari hasil pencarian di internet yang melengkapi penjelasan pengajar di CKGSB, kereta api berkecepatan tinggi China pada mulanya diimpor. Atau lebih tepatnya, dibangun di bawah perjanjian transfer teknologi dengan pembuat kereta api asing.
Perusahaan-perusahaan multinasional yang sepakat membuat perjanjian datang dari negara-negara maju seperti perancis, German, Kanada, dan Jepang. Termasuk Alstom, Siemens, Bombardier, dan Kawasaki Heavy Industries.
Dari kereta yang diimport tersebut, oleh para insinyur China kemudian dirancang ulang. Juga bagaimana membuat rel. Berbagai komponen kereta api dibuat secara mandiri. Selanajutnya, dalam waktu pendek, China sudah bisa membangun kereta asli dan sebagian besar kereta rel berkecepatan tinggi China komponennya telah dibuat sendiri.
Dan, inilah Bullet Train. Kereta cepat benar-benar cepat tapi nyaman. Kecepatan tertinggi yang terbaca di angka 309 km per jam. Awalnya ada rasa khawatir, tapi ternyata aman dan memang tidak ada pilihan.
Berada di negeri jauh, dengan kereta super cepat, tetap saja maknanya numpak sepur. Itu artinya, saya dilemparkan pada suasana nostalgia. Suasana penuh perjuangan, nun jauh di masa silam. Bedanya, dulu numpak sepur ekonomi dari Wates Kulon Progo ke Bandung atau sebaliknya pas liburan kuliah. Setiap stasiun mesti berhenti dan kadang sangat lama untuk mempersilakan kereta dengan derajat sosial yang lebih tinggi melewati.
Masih terngiang suara khas pedagang yang kala itu jauh lebih riuh dari penumpang. Semua bebas naik gerbong menjajakan beragam produk. Produk unggulan yang dijajakan bisa jadi masuk golongan kulineran seperti pecel, nasi rames, lanting, jagung rebus, mie gelas, teh atau kopi. Tidak ketinggalan fashion misalnya slampek alias sapu tangan. Bukan hanya barang yang dijual. Produk jasa pun ada. Juga pengamen atau penjual jasa semir sepatu.
Nah, yang paling aneh adalah penjual jasa membersihkan gerbong. Malah ada modus, gerbong yang tidak ada sampahnya sengaja dikotori dengan membawa sampah dari gerbong lain. Setelah melewati kursi kita, penjual jasa tersebut menyadongkan tangan atau topinya untuk meminta jasanya dibayar.
Tapi, semua yang nostalgik itu, kini tinggal kenangan. PT KAI sudah telah berbenah. Penumpang sepur bisa sangat nyaman menikmati perjalanan, bahkan dengan kereta kelas ekonomi sekalipun.
Kenyamanan itu saya buktikan, belum lama saat naik sepur dari Jakarta ke Bandung pulang pergi. Kecepatannya belum setara dengan Bullet Train di China. Jika Shanghai ke Huangzhou yang berjarak 170 km ditempuh hanya 50 menit, terbayang nanti Jakarta ke Bandung bisa jadi hanya 35 atau maksimum 45 menit.
Kembali ke kisah naik Bullet Train dari Shanghai ke Hangzhou. Begitu sampai stasiun di Hangzhou, kami turun lalu menuju bus yang menunggu. Lagi-lagi bus made in China. Tapi, lagi-lagi dengan jaminan tetap nyaman dan aman.
Perlu 45 menit menuju ke perusahaan Jack Ma. Tapi perusahaan yang lain sebelum ke Alibaba. Peserta leadership program diajak ke Flyzoo Hotel dan ke Hema Fresh. Dua perusahaan ini satu grup dengan Alibaba.
Saat mengunjungi Flyzoo Hotel kami mendapat penjelasan tentang hotel masa depan Flyzoo Hotel. Check in dan check out secara mandiri tanpa bantuan resepsionis. Melalui aplikasi. Begitu sampai di hotel, jangan harap bertemu dengan resepsionis.
Tamu hotel yang akan menginap melakukan check-in mandiri di mesin yang sudah disiapkan. Ada beberapa mesin sehingga tak perlu mengantri jika datang tak bersama rombongan. Mesin pintar ini akan mengenali wajah Anda dan memberi kunci untuk masuk ke kamar.
Langkah yang sama dilakukan saat check-out. Check-out mandiri. Sayangnya, saat ke Flyzoo Hotel kami tidak diajak untuk melongok kamarnya seperti apa. Siapa tahu ada robot pintar yang siap melayani ataupun meninabobokan kita.
Tidak ditemukan di kamar, robot pintar dijumpai di kafe milik hotel. Saat kita ingin minum kopi atau teh atau mungkin ada yang pesan minuman beralkohol, robot pintar akan membuatkannya untuk pemesannya.
Dasar saya wong ndeso, hanya bisa mengagumi semua kecanggihan ini. Saya dan peserta training rebutan ingin mencoba memesan minuman. Kopi yang dipesan bisa tersaji sesuai instruksi. Ada juga yang memesan minuman beralkohol yang saya tidak paham campuran dari jenis yang mana dan porsinya seperti apa. Dengan cekatan, robot mengoplosnya dengan takaran sempurna.
Sejatinya saya juga tertarik untuk memesan minuman, namun saya yakin robot itu tak akan bisa menyajikannya. Robot perlu juga belajar membuat cendol dengan gula jawa sebagai pemanisnya. Karena cendol itu yang akan saya pesan.
Tidak kalah menariknya saat kami dibawa ke sebuah supermarket bernama Hema Fresh. Inilah konsep yang memadukan dengan sempurna pengalaman berbelanja online and offline. Hema Fresh juga menawarkan pengalaman belanja yang lebih efisien dan lebih fleksibel kepada konsumen.
Bagaimana Hema Fresh bisa demikian? Jawabnya Hema Fresh memanfaatkan data dan teknologi logistik pintar untuk mengintegrasikan sistem online-offline, yang dibangun untuk menyediakan layanan pengiriman makanan segar yang tak tertandingi dalam 30 menit.
Pelanggan dapat mengunjungi supermarket untuk memilih sendiri produk yang segar, seperti ikan laut atau sayuran dan lain-lain. Saat akan membayar, tidak ada yang melayani kecuali mesin pintar yang mendeteksi belanjaan yang dibelinya dan mendeteksi wajah pelanggan lalu selesai.
Lalu pembayarannya bagaimana kok sudah selesai? Pelanggan tentunya harus terlebih dahulu tersambung dengan aplikasi serta memiliki uang elektronik di Alipay. Dengan face recognition, mesin mendeteksi apakah benar pelanggan tersebut yang berbelanja dan deteksi wajah tersebut sekaligus sebagai ganti dari password untuk pembayaran.
Dengan sistem seperti ini, rasanya pelanggan tak perlu menghapal password, sebab wajah kemana pun tak mungkin ketinggalan. Kecuali karena malu luar biasa sehingga entah wajahnya ditaruh dimana.
Kalau pelanggan ingin dibuatkan masakan dari yang dibelinya, juga bisa. Akan ada tanda bahwa belanjaan tersebut minta dimasak dan dimakan di Hema Fresh. Tidak perlu cemas, pelanggan bisa memantau masakannya tersebut sudah pada tahap mana, masak atau belum, berapa menit lagi harus menunggu.
Nah, bagaimana dengan belanja secara online? Sangat simple. Karena semua melalui aplikasi dengan seluruh produknya sudah didigitalisasi. Kurang dari 30 menit setelah wajah dikenali sebagai password bayar, pesanan akan sampai alamat rumah kurang dari 30 menit.
Melihat semua itu, saya hanya bisa diam sambil menelan ludah. Edun. Tapi keedunan belum selesai. Dari Hema Fresh, kami sedikit melangkahkan kaki menuju ke Alibaba. Ini saatnya mengagumi Jack Ma.
Posisi matahari sedang benar-benar di atas kepala. Namun, peserta leadership program tetap antusias. Agar antusiasme peserta tetap terjaga, sebelum mengenal lebih jauh perkembangan Alibaba grup kami mengisi avtur perut dengan lagi-lagi makanan khas negeri tirai bambu: chinese food.
Dan benar. Seolah ada energi baru setelah perut penuh. Kami langsung diajak tour, lengkap dengan penjelasan perkembangan perusahaan, termasuk fase jatuh-bangunnya Alibaba. Lengkap, sejak awal hingga saat terkini, tersaji dalam layar sangat lebar yang memanjang. Penjelasan yang serba komplit serta canggih. Tinggal kita sentuh layar tersebut, lalu akan muncul peristiwa apa yang terjadi pada Alibaba dari tahun ke tahun.
Deretan seragam yang digunakan oleh para pegawai juga dipajang di sisi dinding. Saya tidak terlalu mendengar penjelasan tour guide apakah seragam tersebut dibuat sebagai battle uniform dari Alibaba. Terlaku ramai turis di kantor Alibaba yang memang menjadi salah satu tujuan wisatawan terutama yang tertarik dengan teknologi. Sayangnya saya hanya melihat foto om Jack Ma di poster atau di layar lebar.
Tak masalah gagal bertemu om Jack Ma. Hati masih bisa terhibur dengan berfoto di depan kantor pusat Alibaba. Ada rumput rapi dan berundak di depan gedung tersebut. Kami ragu melewati rumput itu, sampai ada yang mengeluarkan quote layaknya seorang Jack Ma. Quote-nya begini, lebih mudah minta maaf dari pada minta izin.
Seperti mendapat pembenar, kami berebut berfoto walau menginjak rumput untuk mendapatkan hasil terbagus. Lalu hasilnya? Kami didatangi sekuriti. Tapi teguran pak Satpam telat, karena kami sudah selesai berfoto. Selanjutnya, seperti begitu saja, kami melaksanakan quote yang tadi itu: meminta maaf kepada sekuriti, karena memang lebih mudah meminta maaf dari pada meminta izin.
Sesi foto terlarang, menjadi klimak perjalanan kami ke Alibaba. Padahal Masih ada lagi yang kami kunjungi hari itu yaitu Ant Financial. Tak kalah menarik, tapi lelah mulai menghinggapi. Setelah itu, hari ketiga ditutup dengan ritual perjalanan pulang yang mengulang ketakjuban, naik kereta cepat, mengejar malam yang kian kelam.
Esok harinya, antusiasme mahasiswa mulai sedikit berkurang. Mungkin kelelahan dari rumah om Jack Ma di Huangzhou. Padahal Prof Ouyang Hui yang bicara masalah Opportunities and riks in China’s Market dan Prof Li Haitao yang bicara tentang Finctech in China sungguh menggairahkan untuk didengar. Terutama perkembangan Fintech di China dan bagaimana regulasi serta pengawasan pemerintah China agar orang yang berbuat jahat melalui fintech bisa diminimalisir.
Perkuliahan berakhir lebih awal. Tapi di sesi petang, antusiasme kembali datang. Sebab, ada makan malam di kapal pesiar. Kami dibawa ke Cruise Tour di Sungai Yangtze. Makan (yang lagi-lagi Chinese food) dengan minimal ada 9 hidangan. Sambil melihat gemerlapnya Shanghai, yang paling menyenangkan tentulah mengabadikan momen mewah itu. Terimakasih Pak David Wong, karena tanpa idenya, mana mungkin saya yang ndeso ini bisa berplesir di kapal pesiar.
Hari kelima lebih banyak wrap up. Apa yang sudah dipelajari selama seminggu di CKGSB dan tanya jawab. Ada sesi pagi tak kalah menarik. Diisi Prof Jong Bing tentang New Retail in China dan Prof Yu Gang tentang E-commerce and Entrepreneurship in Cina.
Hem, semua selesai dilalui. Saat yang ditunggu itu tiba. Wisuda. Setelah kuliah yang berat tuntas, wisuda yang dinanti itu datang juga. Tak sia-sia melawan kantuk, aktif dalam diskusi, dan yang jelas berat badan naik 2 kg. Chinese food memang good.
Kebahagiaan tergambar dari senyum lebar para wisudawan yang kini menjadi alumni CKGSB. Selamat. Wis, sudah. (*)
Salam NKS: Nami Kulo SumarJack Ma