Oleh : Imam Shamsi Ali
Di antara keberkahan Ramadan yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa bulan Ramadan dipersiapkan sebagai bulan untuk menempa Karakter kemanusiaan kita. Bulan di mana setiap Muslim seharusnya melakukan apa yang saya biasa sebut “character building” (pembentukan Karakter).
Pembentukan karakter ini menjadi esensi yang mendasar dari religiositàs (keislaman) seseorang. Sehingga segala aspek keagamaan, akidah dan ibadah, akan terukur pada nilai karakter. Karakter dalam beragama dan kehidupan itulah yang disebut Al-Akhlaq.
Iman akan dipertanyakan di saat karakter manusia tidak tergambarkan sesuai pengakuan keimanan. Pengakuan beriman tapi tidak membangun amanah dalam kehidupan dipertanyakan. Bahkan Rasulullah menegaskan: “tidak ada iman seseorang yang tidak amanah”.
Demikian pula ibadah-ibadah dipertanyakan (questionable) di saat tidak melahirkan karakter atau Akhlaq yang baik. Sholat misalnya yang tidak mencegah perbuatan keji dan mungkar adalah Sholat yang dipertanyakan.
Berbagai ayat Al-Quran maupun hadits menjelaskan posisi Akhlaq dalam beragama dan kehidupan. Rasulullah SAW terpuji secara khusus dalam Al-Quran dengan akhlaqnya: “dan sesungguhnya engkau (Muhammad) memiliki Akhlaq yang sangat agung”.
Dalam sebuah hadits bahkan digambarkan bagaimana di hari akhirat kelak seseorang akan mengalami kebangkrutan. Ketika mereka kembali kepada Allah dengan ragam amalan ritualnya; Sholat, puasa, Haji, dzikir, dan lainnya. Tapi selama hidupnya pernah menyakiti, menggibah, menggunjing, berbohong, dan berbagai prilaku Akhlaq yang buruk. Singkat cerita, orang yang demikian pada akhirnya dilempar masuk ke dalam neraka. Semua amalan ritualnya bangkrut karena prilaku buruk yang dia lakukan selama hidupnya.
Karakter mental
Karakter manusia itu ada dua. Ada karakter fisikal seperti suka menolong, ramah dan mudah senyum, dan lain-lain. Sementara karakter mental adalah keadaan kejiwaan yang mendorong terlahirnya prilaku fisikal tadi.
Karakter mental inilah sesungguhnya yang menentukan aspek fisikal atau lahiriyah manusia. Walau terjadi perbedaan penafsiran di kalangan para Ulama dan ahli filsafat tentang kejiwaan manusia, penggambaran Rasulullah SAW mungkin bisa dijadikan acuan.
Dalam haditsnya beliau menjabarkan: “sesungguhnya pada diri manusia itu ada segumpal darah. Jika segumpal darah itu baik maka baik seluruh anggota tubuhnya. Tapi jika segumpal darah itu buruk/rusak maka rusak/buruk pula seluruh anggota tubuhnya. Itulah hati” (hadits).
Saya tidak bermaksud menjabarkan perbedaan dan argumentasi para ahli tentang kecenderungan kejiwaan (mental) manusia. Saya hanya ingin menjelaskan tentang satu hal yang seorang Mukmin harus perjuangkan demi terbentuknya karakter atau Akhlaq mulia itu. Yaitu urgensi membangun mental atau kejiwaan yang terikat/terkoneksi dengan Allah SWT. Koneksi batin ini dalam ajaran agama disebut “Al-Ihsan”.
Al-Ihsan itu ada dua sisi yang saling terkait dan menentukan. Ihsan pada dimensi vertikal. Dan ihsan pada dimensi horizontal. Dalam bahasa Al-Quran kedua dimensi ini dikenal dengan “hablun minallah dan hablun minan naas”. Walaupun kata “annaas” di sini tidak terbatas pada manusia. Tapi seluruh malhluk, termasuk lingkungan.
Dimensi vertikal Ihsan terekspresikan dalam sebuah hadits Rasulullah SAW: “hendaklah engkau menyembah Allah seolah engkau melihatnya. Dan jika engkau tidak mencapai tingkatan yang demikian, yakinlah jika Allah melihat engkau”.
Pada sisi inilah puasa memiliki esensi yang mendasar dalam membangun ihsan. Karena kita tahu bahwa puasa adalah amalan ibadah yang sangat pribadi (personal) antara seorang hamba dan Tuhannya. Sehingga dengan sendirinya melatih seorang hamba untuk selalu merasakan kehadiran Allah (ma’iyatullah) dalam dirinya dan kedekatanNya (Qurbah).
Terbentuknya dimensi vertikal “ihsan” pada diri seseorang ini akan mampu membangun dimensi horizontal ihsan dalam kehidupannya. Dimensi horizontal ihsan inilah yang terekspresi dalam prilaku fisikal atau karakter seseorang.
Ketika seseorang itu berbuat baik (ihsan horizontal) maka perbuatannya tidak terlepas dari kesadaran akan kehadiran Allah (ihsan vertikal). Sehingga perbuatannya dalam segala bentuknya terilhami oleh nilai-nilai samawi (dimensi vertikal ihsan) itu. Ikatan nilai-nilai samawi ini yang menjadikannya selalu dalam karakter yang benar, baik, indah, nyaman dan memberikan rasa aman.
Karaktwr yang terlahir dari Al-Ihsan itulah yang dalam agama dikenal dengan “Makarim Al-Akhlaq”. Yaitu karakter mulia yang secara mendasar menjadi esensi religiositas seseorang. Bahkan makarimul akhlaq ini menjadi kesimpulan dari misi Dakwah Rasulullah SAW. Seperti yang beliau sabdakan: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak”.
Semoga Ramadan kita penuh dengan berbagai keberkahan, termasuk keberkahan dengan terbentuknya prilaku yang lebih baik. Sehingga puasa yang kita lakukan tidak termasuk “puasa yang tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga” (hadits).
Atau jangan sampai puasa kita adalah puasa yang tidak diinginkan oleh Allah, seperti yang disabdakan Rasulullah: “barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan mauoun perbuatan buruk, maka tiada hajat bagi Allah untuk dia tinggalkan makan dan minum”. (Hadits).
Jamaica Hills, 25 April 2023, Presiden Nusantara Foundation