Meski pemilu tinggal beberapa bulan lagi wajah perpolitikan negara Indonesia, kini semakin berkembang dan penuh inovatif. Setelah dunia perpolitikan nasional berubah sejak reformasi 1998, sehingga sistem dan suasana juga berubah.
Sistem politik yang lebih demokratis telah menjadikan partai politik harus lebih kreatif untuk mendapat dukungan pemilih. Partai politik harus menjadi partai massa untuk meraih kemenangan. Massa partai atau rakyat menjadi bagaikan pasar yang harus diperebutkan dan dipersaingkan.
Dengan diberlakukannya sistem proporsional terbuka, bagi kandidat bisa leluasa berjuang dan bersaing secara kompetitif. Dalam kontestasi ini menyebabkan mereka bersaing bukan hanya dengan kandidat yang berasal dari partai lain, tetapi juga dengan kandidat internal. Apalagi nomor urut tidak lagi menjadi patokan karena yang terpilih adalah kandidat yang meraih suara terbanyak.
Sementara bagi semua partai politik peserta pemilu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mematok nilai parliamentary threshold (PT) atau ambang batas parlemen sebesar 20 persen, menjadikan mereka harus berjuang keras untuk bisa lolos dan menjadi syarat untuk mengikuti pemilu selanjutnya.
Dengan persyaratan itu semua mendorong partai politik dan kandidatnya atau para calegnya untuk melakukan berbagai hal dalam memasarkan dirinya melalui iklan. Meski pemilihan umum baik Presiden, gubernur, DPRD masih jauh dalam suksesi kita, tetapi dalam belakangan ini menyaksikan hutan reklame di berbagai pojok jalan di sana- sini lengkap dengan berbagai polesan kata kata dan atributnya. Misalnya, yang muda yang berkarya, Peduli dan Bersih, Percayakan pada ahlinya dan masih banyak lagi polesan slogan.
Tidak ketinggalan dalam momen momen penting seperti Hari Raya Idul Fitri, Hari Natal, Hari Pendidikan, Hari Kebangkitan dan lain lain juga tidak luput sebagai ajang untuk menyampaikan pesan yang berlatar belakang politik demi mengusung partai atau tokohnya. Seperti Prabowo Subiyanto lebih menonjolkan partai Gerindra yang menonjolkan rencana pencalonannya sebagai presiden. Begitu juga dengan Ganjar Pranowo capres dari PDI Perjuangan serta Anies Baswedan dari Partai Nasdem.
Guna menyampaikan pesan dan visi, misi dan program para calon itu, media elektronik seperti televisi dianggap efektif dan efisien dalam berkampanye. Mengapa Jusuf Kalla saat menjabat Wapres dulu menyatakan, bahwa Indonesia harus mengembangkan demokrasi yang efisien, aman dan sesuai dengan kultur bangsa dan tidak perlu mengikuti pola demokrasi negara lain. Bahkan mendukung usulan Pakar komunikasi politik Effendi Gazali, agar media televisi membebaskan para kandidat presiden atau wakil presiden dan kepala daerah dari biaya iklan guna menghemat ongkos pemilihan umum.
Bisa dibayangkan jika tarif iklan komersial per setengah menit atau durasi 30 detik, biayanya kurang lebih 50 juta untuk sekali tayang. Jika seorang kandidat mempunyai lima versi iklan dan setiap harinya ditayangkan 10 slot dalam berbagai versinya, Maka akan muncul angka Rp 50 juta x 10 slot = Rp 500 juta. Jumlah itu adalah tarif normal dan tentunya harga tersebut untuk TV Nasional yang pasti berbeda dengan TV Lokal. Ini semua belum lagi kalau bicara penayangan pada jam one time harganya bisa melonjak berkali lipat.
Itulah sedikit gambaran mengenai wajah perpolitikan nasional kini, jika dilihat dari geliat dinamika persaingannya. Dengan sistem yang semakin terbuka membuatnya menjadi semakin kompetitif. Meski dengan kompetisi yang semakin ketat, mau tidak mau mengharuskan partai politik dan para kandidatnya melakukan apa saja untuk mendapatkan dukungan politik supaya bisa lolos. Strategi yang paling jitu untuk diterapkan di sini adalah marketing politik.
Gunter Schweiger and Michaela Adami ( Bruce I Newman: 1999) berkesimpulan bahwa marketing politik ini antara lain bertujuan untuk : 1) Menanggulangi rintangan aksesibilitas, 2) Memperluas pembagian pemilih, 3) Meraih kelompok sasaran baru, 4) Memperluas tingkat pengetahuan publik, 5) Memperluas preferensi program partai atau kandidat, 6) Mendorong kemauan untuk memilih.
Marketing Politik Apa yang Dijual
Apa itu marketing politik ? Dilihat dari bahasanya saja sudah bisa kira tebak. Marketing politik adalah penerapan konsep dan metode marketing ke dalam dunia politik. Dunia politik butuh marketing dengan alasan seperti yang telah digambarkan, yaitu adanya persaingan yang sangat ketat untuk merebutkan pasar (market), yang dalam hal ini adalah rakyat pemilih.
Meski demikian ada perbedaan mendasar antara marketing dalam bisnis dan marketing dalam politik. O’Shaughnessy seperti dikutif Firmanzah (2008) mengatakan, bahwa marketing politik bukanlah konsep untuk menjual partai politik ( parpol ) atau kandidat, melainkan sebuah konsep yang menawarkan bagaimana sebuah parpol atau seorang kandidat dapat membuat program yang berhubungan dengan permasalahan global.
Hanya yang menjadi perbedaan adalah dalam marketing politik rakyat bukanlah obyek, seperti barang tetapi subyek, sehingga permasalahan yang dihadapinya harus dijadikan langkah awal dalam penyusunan program kerja. Perbedaan yang mendasar lagi adalah marketing politik tidak menjamin sebuah kemenangan, tapi menyediakan rools untuk menjaga hubungan dengan pemilih sehingga terbangun keoercayaan dan dukungan.
Kalau diamati sebetulnya antara marketing barang dan marketing politik bisa dikatakan serupa tapi tak sama. Hanya dalam marketing bisnis yang dipromosikan adalah barangnya atau jasanya. Terdapat perbedaan dengan marketing politik karena lebih mempromosikan orangnya dan programnya.
Selain menjual produk atau jasa marketing bisnis juga menjual janji dan itu vonisnya bisa langsung dan terukur. Misalnya, jika anda menjual produk minuman dengan janji rasanya manis, tapi ternyata tidak maka komplain bisa langsung terjadi. Ini sepertinya berbeda dengan janji pada marketing politik yang cenderung tidak terukur dan jangka waktunya yang tidak pasti.
Meski punya tujuan sama seperti meningkatkan penjualan atau mendapatkan customer atau konstituen sebanyak- banyaknya karena situasi dan kondisi berbeda, maka ada hal lain yang berbeda pula. Jika pada marketing bisnis lebih ditetapkan customer loyality, customer retention, customer acquisition dan shareholder objectives. Dengan demikian pada marketing politik ini ada penekanan lain yang merupakan tujuan politik itu sendiri, yaitu mencapai peningkatan hidup masyarakat.
Oleh karena itu, berpolitik pada hakekatnya bukan sebatas menenangkan pilkada, pemilu atau pilpres dan menjadi rulling party, tetapi untuk mensejahterakan dan memakmurkan rakyat, the good life dan the more better life.
Jadi, marketing politik lebih dikaitkan pada idiologi dari pada aktivitas marketing. Sudah selayaknya kegiatan marketing ini dalam praktiknya ada yang mendapat sambutan dan kepercayaan masyarakat dalam jumlah yang luar biasa dan ada yang belum termasuk beruntung.
Barack Obama termasuk orang yang dalam marketingnya mendukung keuntungan tinggi. Bahkan untuk caranya menggunakan media sosial, Barack Obama dianggap pelopor penggunaan media sosial untuk memarketingkan idiologi dan visinya. Keberhasilan Obama menggunakan media sosial menginspirasi jutaan orang.
Lalu bagaimana dengan para kandidat calon presiden di negara Indonesia yang sebentar lagi akan memasuki suksesi kepemimpinan dari presiden Joko Widodo. Apakah mereka bisa menerapkan seperti yang dilakukan oleh Barack Obama yang terpilih menjadi presiden Amerika Serikat. Obama tahu bagaimana memanfaatkan media yang sedang digandrungi anak muda di AS yang merupakan segmen pemilih terbesar untuk pemilihan presiden AS, sebagai strategi pemasaran My Space, Facebook, YouTube serta online social networking lainnya menjadi tempat nongkrong ABG di negeri Paman Sam. Itulah sebabnya situs resmi Obama dilengkapi dengan hampir semua fasilitas yang ada di situs social networking.
Berkaca dari Barack Obama ini, ternyata ketiga calon presiden di Indonesia baik Prabowo Subiyanto, Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan yang sudah resmi dicalonkan dari partainya ternyata sudah menggunakan cara cara yang dilakukan Obama tersebut.
Kunci suksesnya dari para kandidat calon presiden ini, sebetulnya hanya satu bahwa sebagus apa pun personal branding yang telah dimiliki, ini masih perlu didukung dengan marketing politik yang bagus. Kalau tidak sama saja dengan kita memiliki barang bagus, namun tidak diperkenalkan sehingga hanya menjadi barang yang menumpuk di gudang. Sebuah produk yang bagus memang memerlukan waktu yang tidak instan untuk bisa mendapat posisi di pasar. ( Drs Suparman, MM, MiKom, Alumni S2 Komunikasi Fisip Undip Semarang)