Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH
*Penulis, Notaris tinggal di Sampit.
Gong larangan mudik sudah ditabuh. Final dan mengikat bagi seluruh subyek hukum yang akan mudik. Larangan mudik, sebagaimana diumumkan oleh presiden Jokowi mulai berlaku Rabu 06 Mei sampai dengan Senin 17 Mei 2021. Sejauh ini tak ada yang menyatakan keberatan dengan keputusan yang secara substansi melarang perjalanan yang dilakukan pada saat itu. Sekat sekat, penyetopan dilakukan dalam berbagai titik yang juga sudah disosialisasikan.
Menyimak Tahun Lalu
Kebijakan yang sama juga pernah diterapkan tahun lalu, dengan alasan yang sama, mencegah pandemi korona. Namun agak berlainan tahun lalu. Ada sedikit catatan, saat itu pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menyoalkan legitimasi pemerintah melarang seseorang mudik atau pulang kampung. Secara konstitusional, kata Refly, ada ketentuan yang harus diperhatikan dalam pembatasan mudik atau pulang kampung. Hal itu merujuk pada UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam Pasal 27 ayat (1) disebutkan bahwa Setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia. Kemudian, pada ayat (2) menyatakan bahwa Setiap warga negara Indonesia berhak meninggalkan dan masuk kembali ke wilayah negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan lain, dalam penuturannya merujuk pada Pasal 28J ayat (2) pada UUD 1945 yang disebutkan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang, dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kewajiban orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Saat itu, dan tidak jauh berbeda dengan tahun ini larangan untuk mudik itu diperkuat dengan diberikannya libur untuk idul fitri hanya selama beberapa hari, yaitu jika Idul fitri tahun ini jatuh pada hari Kamis, maka hanya berlaku libur bersama sampai hari Ahad. Jadi resminya 2 hari. Sementara sebelumnya libur atau cuti bersama Idul Fitri itu berbilang minggu. Sebagai pengganti cuti bersama yang hanya dua hari ini, nanti akhir tahun akan ada cuti bersama selama kurang lebih 10 hari.
Trenyuh dan nelongso, bagi yang senantiasa mentradisikan mudik. Sebab sebagaimana dimaklumi mudik tak hanya merupakan tradisi, tetapi sudah menjadi budaya. Sampai sampai persiapan untuk itu baik yang dilakukan oleh calon pemudik maupun pemerintah benar benar all out. Benar benar menyita perhatian dan biaya yang besar. Bagi pemudik sudah mempersiapkan diri dengan berbagai bekal, sementara pemerintah mempersiapkan sarana dan prasarana mudik, khususnya keamanan untuk kenyamanan berkendara di jalan raya, atau mudik lewat laut atau lewat udara. Tetapi itu semua untuk tahun ini tidak ada.
Refleksi Denyut Sosial
Sekadar catatan sebagai semacam refleksi, sebagai pemanis untuk mengurangi jumlah pemudik, tahun lalu dibedakan antara mudik dan pulang kampung. Perbedaan yang disampaikan oleh presiden sendiri, yang kemudian menjai bahan olok olok di media sosial. Oleh karena inti sebenarnya sama saja antara mudik dan pulang kampung. Intinya terjadi aliran besar besaran dari warga yang ada di Jakarta, dengan berbagai motivasi yang kemudian pulang ke bagian timur, serta bagian barat. Ke barat adalah pulau Sumatera yang jadi tujuan sementara ke timur meliputi Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Ada pula tujuan untuk kawasan lain di luar Jawa kendatipun jumlahnya tidak sebanyak yang ke Jawa.
Dari sisi ini, Langkah Refly, saat itu menggugat larangan atas budaya mudik artinya mengakomodasikan denyut sosial, untuk diadili oleh hakim. Bagaimana kebijakan larangan mudik itu sesuai atau tidak menurut Hukum Administrasi. Benarkah kebijakan yang dibuat itu, kendatipun menjadi bagian dari upaya menghentikan atau memutus mata rantai virus korona. Tidakkah justru kebijakan ini melawan tradisi sosial, yang pada gilirannya justru menunculkan berbgai masalah baru.
Virus korona memang belum usai tapi tindakan beberapa Kepala Daerah kiranya menjadi catatan. Jika tidak dilarang sama sekali, tidak mungkin. Sebab faktanya banyak Daerah telah mempersiapan tempat karantina, jika ada pemudik yang memaksa untuk masuk wilayah hukum masing masing dipastikan masuk karantina. Tak lupa disertai dengan ancaman denda puluhan juta rupiah. Di sini seolah terjadi kompetisi dari para Kepala Daerah khususnya Kota/ Kabupaten untuk memberikan kesan bahwa daerahnya adalah kawasan bersih dari korona.
Akibat dari hal di atas, keterangan atau pernyataan yang disampaikan ke publik cenderung kaku, emosional dan cenderung kasar serta tidak mencerminkan penampilan seorang pemimpin yang harus santun dan berpihak kepada masyarakat. Di antara bentuk yang tidak nyaman didengar itu misalnya ada Kepala Daerah yang minta agar pihak kepolisian dan jajaran terkait menjaga di ujung jalan, dan jika ada yang masuk kawasnnya langsung dibawa ke karantina yang sudah disiapkan. Berikutnya dijelaskan secara detil tempat karantina itu dengan berbagai fasilitasnya yang terkesan menakutkan.
Ada lagi yang “mengancam” pemudik tidak akan dikarantina. Tetapi dinyatakan bahwa mereka tanpa ampun akan dibalik-kanankan menuju tempat asal atau pemberangkatan. Mana yang benar, hanya Tuhan yang tahu. Pastinya sekian ratus tepat yang disiapkan itu sampai akhir Idulfitri tahun lalu tak ada kabar yang menunjukkan bahwa itu ada penghuninya.
Fakta Sosial
Mencermati gugatan yang disampaikan, suara dari Refly itu sejatinya secara substansi mewakili keresahan banyak warga masyarakat. Secara obyektif sebenarnya presiden tidak punya kewenangan untuk itu. Larangan yang disampaikan harus bersumber pada dasar hukum yang jelas, dasar hukum yang pasti serta dilegitimasi oleh kondisi obyektif yang memang memerlukan tindakan yang bisa disebut ekstrem yaitu pelarangan mudik.
Apakah fakta sosial yang secara umum ada saat ini bisa menjadi dasar seperti itu, dan apakah memang pelarangan mudik benar benar urgent secara pbyektif sebagai bentuk pencegahan virus korona. Hal ini yang masih memerlukan pengkajian sebelum benar benar sebelum putusan dijatuhkan. Apakah larangan itu tidak mencderminkan ketidaksiapan pemerintah memfasilitasi sarana dan prasarana mudik, dan tidak mau repot melakukan pengawasan?
Pada perspektif lain, sejatinya menjadi penting disoal adalah tentang legal standing, atau kemampuan seseorang yang mengajukan gugatan atas kepentingannya mengugat. Artinya secara praktis apakah calon penggugat ini juga termasuk pihak yang dirugikan, atau setidaknya memperoleh mandat dari orang yang merasa dirugikan atas pelarangan mudik. Pastinya jika seseorang yang tidak punya kepntingan, atau tidak dirugikan terhadap keluarnya sebuah kebijakan maka jka tuntutan dilayangkan terhadap kebijakan dimaksud dipastikan tidak akan dipenuhi. Jadi tak usah masuk ke materi perkara, baru sampai kepada kapastitas penggugat saja sudah gugur.
Kita mengapresiasi gugatan demikian. Dengan harapan tidak saja utuk tahun ini, tetapi juga untuk tahun tahun mendatang, karena masa mudik secara sosial akan terulang setiap tahun, dan senantiasa menimbulkan problematika permudikan dengan segala dimensinya. Pelarangan mudik berarti memangkas rotasi budaya, pahal rotasi budaya harus terus berjalan dan belangsung secara alamiah tanpa aanya gangguan, apa lagi yang disengaja. Gangguan terhadap roitasi budaya bisa menimbulkn berbagai dampak sosial yang negatif.
Dengan pelarangan ini, seolah ingin menyelesaikan masalah dengan membuat masalah.
Konkretnya melarang mudik untuk memutus mata rantai korona, akan tetapi melupakan hal penting yaitu memutus rotasi budaya, yang risikonya akan lebih luas dan kompleks. Toh pelarangan untuk mudik dengan alasan virus korona masih bersifat relatif. Banyak cara untuk melindungi diri sebagaimana gencar dilakukan. Tiadakkah lebih elok jika mudik tetap diperkenankan tetapi dengan segala persyaratan yang memungkinkan harus dilakukan sebagai upaya memutus mata rantai korona. Cara ini kiranya lebih bijak dari pada melarang mudik, tetapi pada akhrinya menuai gugatan yang haursnya dihindarkan pada masa sulit seperti saat ini.
Nah adakah yang berani menggugat larangan mudik tahun ini?***