Sugeng Tanggap Warso Bopo Dwidjo…

Hari ini, 10 Febuari 2021. Saya ingin menulis yang agak mundur, seputar kehidupan ayah yang lempeng sekaligus kenceng. Lempeng dan kenceng adalah dua kata Jawa yang saya agak sulit mencari padanannya dalam Bahasa Indonesia.

Lempeng itu sama dengan lurus, kenceng sama dengan kuat. Tapi kalau saya pakai dua kata itu untuk menggambarkan ayah, agak kurang. Ada rasa Bahasa yang kurang. Ah, sulit menjelaskannya tapi ya begitu.

Mengapa tiba-tiba saya ingin menuliskan ini? Karena momentumnya yang pas. Hari ini, 10 Februari 2021, genap 58 tahun ayah dilahirkan. Sesuatu yang pantas diresapi, karena perjalanan menuju 58 tahun yang ya itu tadi, lempeng dan kenceng: lempeng dalam menjalani hidup, kenceng dalam memegang prinsip hidup.

Lahir sebagai anak kedua dari enam bersaudara, eh bukan enam. Kalau ayah sering cerita, putra-putri simbah itu ada 11 orang jika diperkenankan hidup semua. Tapi rupanya, Yang Maha Pemberi  Hidup, hanya memberi kuota enam untuk menemani bapak-ibunya menjalani tugas sebagai manusia.

Seperti umumnya wong Jawa, anak kedua diberi nama Dwi. Orang sering mengartikan itu pada namanya. Tapi ada makna lain, karena namanya Dwidjo jika melihat literatur lama, atau bila membuka kamus bahasa Jawa di internet, Dwidjo itu artinya guru.

Saya sering membatin, untung ayah tidak hanya diberi nama Dwidjo. Nama yang hanya satu kata, seperti tradisi lama orang Jawa ndeso. Simbah sepertinya ingin anak keduanya ini, menjadi sosok yang lempeng dan kenceng, jika ditelusuri dari namanya, Dwidjo Oetomo: guru utama.

Dan, setelah mendekati usia seperempat abad, saya baru merasakan peran ayah sebagai guru utama, memang sangat besar. Itu, tidak hanya bagi keluarga kecilnya, tapi untuk keluarga besar simbah, rasa-rasanya. Ayah adalah rujukan utama jika sedang mengalami kemandegan (terutama) spiritual, atau kebuntuan olahrasa.

Oh iya, soal menjadi guru, ayah memang tidak mengambil profesi itu secara langsung. Tapi bayangkan saja, rumah kami, disulap menjadi sekolah untuk anak-anak kecil. PAUD. Tidak terlalu menganggu sih, karena saya memang tidak banyak di rumah sejak mesantren. Mas Isyhad juga tidak, karena sudah langsung ke Gontor Jawa Timur saat masuk SD.

Meski tidak memilih menjadi guru seperti amanat dari namanya, tapi ayah adalah guru abadi dalam hidup saya. Termasuk guru dalam menulis. Ayah, bukan hanya memiliki pengalaman panjang menjadi jurnalis, tapi sekaligus sekolah formal di bidang itu.

Tentang sekolahnya itu, nanti lain kali saya tuliskan. Saya harus mengumpulkan energi batin tersendiri, karena mendengar cerita perjuangan ayah kuliah dan merantau di Semarang, terasa memeras perasaan. Saya sering membandingkan, saya yang  merantau di Solo, tidak ada apa-apanya dengan perjuangan ayah saat itu.

Pada suatu kesempatan, saya pernah bertanya, ” Yah, bagaimana seharusnya laki-laki mengambil sikap?” Wah kalau sudah diajak diskusi tentang cara laki-laki bersikap, ayah paling mantap. Akan keluar semua prinsip-prinsip hidupnya, termasuk prinsip yang diwariskan oleh simbah-simbahnya yang asli Jawi.

“Den…” Kalimat pertama itu identik dengan ayah.  Kata yang identik setiap kali mengawali pembicaraan pada anak-anaknya atau adik-adiknya atau sepupu-sepupunya. Semua dipanggil den. Kata pendek dari raden. Ini adalah cara ayah memberi penghormatan yang penuh rasa sayang.

“Luruskan niat hanya karena Pengeran dalam kondisi apapun.” Begitu kalimat lanjutanya. Seperti orang-orang Jawa kuno, ayah juga selalu menyebut Tuhan dengan Pangeran.

Dari kalimat pertama yang lengkap itu, saya sudah langsung tertegun. Rasa-rasanya, saya harus lebih banyak bermuhasabah diri. Kadang terlintas dalam benak, enam tahun di pondok-pesantrenkan oleh ayah, ilmu yang saya peroleh sedikit sekali, kalah sama ayah yang hanya ngaji di langar desa di kampungnya.

Entah metode apa yang ayah terapkan pada kami, dua anaknya, yang kami yakini bahwa setiap prilaku dan ucapannya “مويضة حسنة”. Sebagai anak malu rasanya jika tidak bisa meneruskan perjuangan itu.

Hingga usianya yang sudah tidak muda lagi, dengan sisa tenaga yang terbatas, saya melihat ayah tidak pernah berhenti berbuat, terutama lewat tulisan-tulisannya. Ayah, bagi saya adalah pahlawan dengan banyak jasa dalam keluarga dan masyarakat. Ia tak kenal lelah menyebarkan mashlahat bagi siapapun didekatnya.

Tapi dalam beberapa hari menuju ulangtahunnya, 10 Februari ini, saya sedih dengan perasaan paling merintih, melihat ayah terbaring sakit. Seperti biasanya, kalau lagi sakit, ayah paling susah berobat, itu sudah menjadi kebiasaan menahun. Biasanya, memang hanya istirahat di rumah, setelah itu sembuh.

Bedanya, sakit pada hari-hari ini, sangat berbahaya karena penyebaran virus Covid-19 yang mengganas. Untungnya, ayah mau dibawa ke rumah sakit, dan memang harus opname. Kesedihan saya, bukan hanya karena ayah harus dirawat hampir sepekan di rumah sakit, tapi karena saya tidak bisa meninggalkan Solo.

Alhamdulillah, hari ini, tepat di hari ulangtahun (yang tidak pernah dirayakan) ayah boleh pulang. Sudah sembuh dan tidak terpapar virus. Dari jauh, dari kamar kos di Solo, saya menuliskan ini, sambil menahan airmata. Sewu sembah nuwun ayah, sehat-sehat selalu jangan sakit. selamat ulangtahun bopo dwidjo, guru kito sedoyo.(*)

Kartasura, 10 Febuari 2021
ighfar akbar

About redaksi

Check Also

Direktur USAID, Jeffery Cohen : Sampah Menjadi Persoalan dan Harus Diatasi Bersama

SEMARANG,KORANPELITA –Direktur USAID Indonesia, Jeffery Cohen mengakui jika sampah memang menjadi persoalan bersama. Untuk itu …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap selesaikan captcha sekali lagi.

Eksplorasi konten lain dari www.koranpelita.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca