Pandoras’ Box dan COVID-19, Last But Not Least?

Oleh :Adventus Panda

Porak poranda, mungkin istilah yang tepat untuk menggambarkan situasi saat ini tengah melanda tidak hanya negara kita, Indonesia, namun juga secara global. Saat ini ditulis, di Amerika Serikat mencapai 1 juta kasus positif CoVid-19. Di sisi lain, Wuhan, telah menyatakan terbebas dan melepas status lock-down. Namun demikian, kebijakan akan sangat berbeda satu negara dengan negara lainnya. Pelaksanaan Pembatasan Sosial berskala besar (PSBB), dicanangkan satu demi satu di wilayah Indonesia, Jakarta, Jawa Barat, Surabaya, Banjarmasin, dan mungkin beberapa akan segera mengumumkan, saat opini ini ditulis. Kita semua bertanya, baik secara terbuka maupun menyimpan dalam hati, akankah ini berakhir? Para ahli mensimulasikan, dengan pelbagai metode, bahwa pada titik tertentu, pandemic covid-19 akan berakhir. Bahkan, semakin santer pacuan untuk menemukan vaksin, anti virus atau apapun penamaannya, untuk menghentikan situasi ini. Namun, pertanyaannya kemudian, apakah pandemi global ini adalah yang terakhir? Jawabannya bergantung perilaku kita, manusia.

Sebelum kita membahas lebih jauh, terdapat satu istilah yang disebut sebagai Emerging Infectious Diseases (EID), yakni penyakit menular (apapun) yang mengalami peningkatan secara jumlah atau kisaran geografisnya (Han dkk., 2019). Istilah tersebut dikemukan oleh Joshua Lederberg, Biolog Pemenang Nobel bidang Medis, untuk menekankan bahwa perlu perhatian terhadap penyakit yang disebabkan oleh mikrobia. Inilah tonggak peubah dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) untuk memfokuskan sebagian besar sumberdaya di bidang Emerging Diseases, sampai saat ini.

Emerging Infectious Disease (EID) dari satwa liar
Mari kita merefleksikan rangkaian penyakit dalam tiga puluh tahun terakhir, berdasar data dari World Health Organization (WHO), regional office for South-East Asia (2014) dan trend data penelitian Infectious diseases (Elsevier) untuk tahun 2015 sampai sekarang. Penulis membagi dalam periode sepuluh tahun, untuk merepresentasikan outbreak, yakni HIV-AIDS, Hanta-Virus dan Nipah Virus (1981 – 1999). Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS)-Corona Virus (CoV) dan Avian Influenza – sub-type A H5N1, H7N9 (2002 – 2009). Lebih lanjut, Middle East Respiratory Syndrome (MERS)-Corona Virus (CoV), Ebola, Zika dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS)-CoV2 (2012 – 2019). Penulis membagi asal penyebaran penyakit tersebut menjadi beberapa kategori, yakni berburu untuk daging satwa liar (bushmeat hunting) di Kamerun (Afrika), dalam hal ini Simpanse, sebagaimana penyebaran HIV/AIDS dan Ebola. Kedua jenis penyakit ini erat hubungannya dengan penularan melalui darah (yang terinfeksi), dalam proses “eksekusi’-nya oleh para pemburu. Kedua adalah pelanggaran terhadap perdagangan satwa yang dilindungi. Bagaimana dengan Indonesia? Contoh kasus adalah Trenggiling Asia (Manis javanicus). Berdasarkan data TRAFFIC yang dipublikasikan pada Februari 2020, bersama dengan beberapa negara Asia Tenggara lain, merupakan pemasok Trenggiling Asia terbesar, ke luar negeri termasuk Cina. Lantas, apa hubungannya dengan penularan penyakit? Satwa liar membutuhkan wilayah jelajah, namun dalam konteks perdagangan, mereka dibawa jauh di luar kisaran ekologisnya, dan kita tidak mengetahui apa yang ada di dalam tubuh mereka. Tubuh kita adalah microbiota, dimana ada proses kehidupan di dalam sana. Alih-alih sebagai bahan obat, justru berbalik menjadi bencana. Majalah Nature, 07 February 2020, memberitakan bahwa Inang alamiah dari SARS-CoV adalah kelelawar (horseshoe bats) dari Marga Rhinolopus. Virus tidak serta merta dapat masuk ke dalam manusia, karena berbeda pelekatan pada reseptor, ACE-2. Maka mereka membutuhkan inang perantara (intermediate host), dan dari beberapa studi, kandidat terpilih adalah Trenggiling (Manis javanicus), berdasarkan struktur genomiknya.

Usikan habitat satwa liar
Habitat satwa liar, dengan seluruh dinamika yang terjadi di dalamnya, diibaratkan Kotak Pandora, dalam mitos Yunani. Fragmentasi habitat, deforestasi untuk kepentingan konversi lahan, layaknya membuka dan seluruh isi kotak pandora, dalam konteks emerging diseases menyebar ke seluruh penjuru dunia., dan hanya menyisakan asa. Penyebaran ini terjadi karena ada keselingkupan ruang antara manusia dan satwa liar, diperparah dengan pola konsumsi pada bahan non-konvensional. Belum afdol jika belum mengkonsumsi daging satwa A, B dan lain sebagainya. Segala sesuatu di alam, selalu menuju kepada kondisi setimbang, homeostatis. Belum lagi jika dikaitkan dengan perubahan iklim, variabilitas suhu dan faktor klimatis lain, tentu akan direspons oleh seluruh mahluk. Virus, ataupun parasit, diperlengkapi dengan kemampuan rekombinan yang sangat cepat, sehingga strain demi strain, dibentuk dalam waktu tidak lama. Parasit, di sisi lain, memiliki keuntungan free-living stage, yang akan tanpa sengaja dapat kita bawa ke manapun, tanpa kita sadari. Malaria adalah contoh sempurna, bagaimana respons terhadap variasi suhu dipraktekkan dengan apik, melalui vector yang sehari-hari kita obati (=baca, obat), yakni Nyamuk Anopheles (betina).

Last but not least?
Dalam tulisan Wolfe et. al., 2005, telah disampaikan bahwa diperlukan banyak penelitian untuk menangani penyakit emerging ini. Memprediksikan penyakit apa yang akan merebak, adalah suatu kemustahilan, namun dalam kasus EID tersebut, mereka menyampaikan tiga hal penting berkaitan dengan kemampuan patogen, baik virus maupun parasite yakni, 1) terjadi pandemic bagi manusia, 2) terjadi panzootic pada populasi non-human, dan 3) kemampuan mutasi pada laju tinggi, dan rekombinan pada jenis patogen yang sama ataupun berbeda. Banyak sinyal telah disurakan sejak lama, namun tidak pernah dihiraukan. Pandemi global ini, tentunya memberikan makna yang amar dalam. Maka, penting untuk dipahami, mari kita hentikan segala bentuk pola makan non-konvensional dan hasrat konsumsi satwa liar. Terus upayakan perilaku hidup bersih dan sehat. Ingat, salah satu yang tinggal dari kotak pandora adalah asa, maka upayakan peran yang terbaik menurut tugas dan karya kita masing-masing. Bagi para penentu kebijakan, pelajaran dari nCOV-2019 ini, tentu sangat berharga. Roda ekonomi goyah, masyarakat menjerit. Maka pilah kebijakanmu, lessons have learned. Tetap waspada. Berhentilah mengusik habitat dan satwa liar di dalamnya. (Penulis adalah staf pengajar Program Studi Biologi, FMIPA Universitas Palangka Raya. Saat ini menempuh studi Doktoral di Fakult Biologi UGM, Yogyakarta.)

About redaksi

Check Also

USM Raih Tiga Emas di Fighter RFA

SEMARANG,KORANPELITA – Universitas Semarang meraih 3 medali emas, 1 perak dalam Kejuaraan Fighter Reinz Fight …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap selesaikan captcha sekali lagi.

Eksplorasi konten lain dari www.koranpelita.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca