Memang. Sudah agak lama, saya tidak menghirup udara kampus. Udara yang pernah bertahun-tahun di masa lampau saya akrabi. Lalu, begitu saja muncul kepenginan kuliah lagi. Entah karena apa.
Nah, bagai gayung bersambut, Pak Desto, menawarkan nostalgia. Salah satu Deputi Direktur di BPJS Ketenagakerjaan (BPJAMSOSTEK) itu, mengajak ke ITB, Bandung. Ajaib juga. Deputi Direktur Bidang Learning ini, seperti tahu kerinduan hati saya.
Semua datang secara tiba-tiba. Saya yang sudah lama kangen suasana kampus, tergopoh-gopoh menyambut ajakan iPak Desto. Tidak peduli, meski waktu serba terbatas, sehingga hanya bisa datang pagi untuk petang hari kembali ke ibukota.
Hari keduabelas bulan sembilan. Saya berangkat dari Stasiun Gambir sesuai jadwal, bahkan untuk hitungan detiknya sangat tepat. Luar biasa memang PT KAI dalam pelayanannya. Semua diatur dalam jadwal yang pasti.
Bersama langkah yang gegas, saya sampai Gambir. Apa boleh buat, Argo Parahyangan tak memberi saya bangku kecuali untuk kelas ekonomi. Tak apa. Saya bukan orang tua manja (karena bukan anak-anak lagi, jadi istilahnya bukan anak manja). Saya juga sudah terbiasa dengan kelas ekonomi.
Dahulu. Dulu sekali, saya terbiasa dari Wates ke Bandung dan sebaliknya menggunakan kereta ekonomi. Sudah pasti tidak bisa membandingkan suasana naik kereta zaman dulu dan sekarang. Sebab, kini, meski kelas ekonomi, tetap terasa menyenangkan. Tidak umpel-umpelan serta berpendingin. Ongkosnya juga tidak membuat badan panas dingin.
Persoalan muncul begitu sudah duduk dan sadar, saya mendapat bangku yang menghadap belakang. Agak apes memang. Kereta ekonomi tidak selalu memberi duduk menghadap ke arah yang sama dengan laju kereta. Jadilah saya berjalan mundur, sepanjang rel dari Jakarta hingga Bandung.
Di saat kenangan tentang masa lalu timbul-tenggelam serta bayangan yang berlarian ke belakang, tiba-tiba ada pesan WA masuk. Pesan ringan, sekadar menanyakan apakah saya sudah boarding atau belum. Hem…perhatian sekali dia. Saya yakin karena dia sayang diri ini. Tapi sayangnya dia tak mau menemani ke Bandung. Padahal ke Bandung bersamanya, akan terasa lebih mendalam maknanya.
Saya sudah merayu dengan seribu jurus agar bisa ikut ke Bandung. Namun rupanya, kesibukan membuatnya tak berkutik. Tapi okelah. Walau begitu, perhatiaannya sudah cukup mewakili kehadirannya. Toh, masih banyak waktu untuk mengulang saat-saat penuh wangi bunga selama kuliah di Bandung.
Sebenarnya tidak hanya perhatian dan pesan singkat yang menentramkan, dia juga mengingatkan kenapa tidak mencoba naik pesawat. “Apakah gak kepikiran alternatif lain naik pesawat dari Halim ke Bandung? ” kalimat agak panjang itu, meluncur dari pesan WA tadi.
Benar-benar tidak kepikiran. Seperti selama ini, yang terpikir tentang perjalanan Jakarta-Bandung adalah kereta. Atau melalui Cipularang. Tapi asyik kok. Pemandangan yang indah. Gerbong kereta yang panjang, dan rute yang mengitari pegunungan, layaknya seekor naga yang melilit gunung.
Jakarta terasa makin menjauh, tanpa tahu jika Bandung kian mendekat. Arah Bandung tak terlihat. Itu risiko jalan mundur. Seperti melihat dan mengenang masa lalu.
Sampai di Bandung. Di Stasiun Bandung yang pernah sangat akrab dalam penggalan perjalanan hidup saya. Saat kuliah di Bandung, stasiun inilah yang bagai menghubungkan masa lalu dan masa depan saya: saat saya pulang ke kampung, melihat masa lalu, atau ketika saya kembali ke Bandung, menyongsong masa depan.
Stasiun Bandung, masih menjadi penghubung hidup saya, bahkan setelah selesai kuliah dan bekerja. Waktu itu, saya memang harus melakukan perjalanan ulang-alik, Jakarta-Bandung. Jadilah, saya tercatat sebagai anggota PJKA, Pulang Jumat Kembali Ahad.
Di Stasiun Bandung, saya disambut Pak Helmi, Asisten Deputi Direktur Wilayah Jabar, yang ternyata orang Jogja. Muda, cerdas, dan penuh semangat. Itu yang saya tahu dari sosok Pak Helmi.
Saya yakin untuk jalanan di wilayah Bandung, saya lebih hafal dari pada Pak Helmi. Karena beliau belum terlalu lama ditempatkan di Bandung. Dan waktu libur seperti Sabtu dan Minggu, beliau tidak sempat terlalu banyak menjelajah Bandung. Keluarga yang di Jogja menantinya atau mungkin urusan lain yang mengharuskan mondar-mandir ke Jakarta.
Lalu saya bertemu Pak Desto, Pak Pram (Deputi Direktur Bidang Aktuaria), serta Pak Dahyan (Asisten Deputi Direktur). Semua ngeriung di Jalan Dayang Sumbi. Jalan yang mungkin dulu saya bisa bilang belakang ITB, tapi kini punya dua pintu. Menghadap ke selatan dan menghadap utara. Setelah itu, kami bersama-sama menuju Fakultas MIPA.
Saya pernah ke FMIPA dengan gedung barunya yang berbeda lokasi dengan saat masih kuliah dulu. Saat itu reuni ITB Angkatan 87. Dua tahun lalu, di kala 30 tahun setelah tahun 1987.
Rupanya, Ibu Hilda Asiatun (Kaprodi S1 Matematika) membawa saya dan rekan yang lain ke FMIPA dan Gedung CAS ITB. Herannya, saya tak mampu menemukan gedung FMIPA. Perlu GPS juga akhirnya. Gunakan Petunjuk Sekuriti untuk bertanya.
Tiba di FMIPA. Prof. Edi Tri Baskoro menyambut. Pak Dekan yang ramah (saya membayangkan betapa menyenangkannya jika ITB dipimpin rektor seramah beliau), ditemani Bapak Indra, Wakil Dekan, Pak Sapto, dan Pak Dilan. Menyusul kemudian Bu Hilda.
Di tempat yang sama sudah hadir pula 7 mahasiswa S2 Aktuaria yang tak lain tak bukan merupakan rekan-rekan insan BPJAMSOSTEK yang terpilih dikirim untuk belajar.
Pak Dekan membuka pertemuan dengan ucapan selamat datang di Bandung serta mengenalkan yang hadir dari sisi ITB. Sementara saya mewakili BPJAMSOSTEK mengucapkan terimakasih atas sambutan luar biasa untuk kemudian mengungkapkan maksud kedatangan kami serombongan.
Komitmen untuk membangun SDM di BPJAMSOSTEK dituangkan dalam kerjasama dengan berbagai perguruan tinggi baik di dalam negeri dan di luar negeri. Salah satunya dengan ITB untuk pengembangan SDM khususnya di bidang studi ilmu aktuaria.
Kedatangan saya hari itu ingin memastikan rekan-rekan yang sedang belajar S2 tersebut baik-baik saja, sehat, semangat belajar, dan mampu mengikuti pelajaran dengan baik.
Memang baru sebulan masuk perkuliahan. Tapi justru ini pertemuan penting untuk memotivasi talent terbaik yang dimiliki BPJAMSOSTEK. Di awal ini kami juga meminta pihak ITB untuk dapat membantu kelancara kuliah dengan memberikan tutorial atau kelas tambahan untuk mata kuliah yang dibutuhkan.
Maklum tidak semua memiliki latar belakang pendidikan matematika atau statistika. Bahkan hanya dua yang berlatar pendikan matematika. Selebihnya ada yang dari sarjana farmasi dan teknik elektro.
Pak Desto menjelaskan proses mendapatkan 7 talent yang akan diceburkan dalam kawah condrodimuko bernama S2 Aktuaria ITB. Secara nasional, seluruh insan BPJAMSOSTEK yang memenuhi kriteria tertentu bisa mendaftar untuk mendapat beasiswa belajar S2.
Terjaring ada 24 orang yang kemudian diseleksi lagi. Dari kandidat tersebut, muncul 7 nama yang terpilih menjadi mahasiswa: Zaiful Bahri, Aswin, Irawan Bayu Aji, Heri Herwana, Danang Yuliardi, Dwitani Mirna Asa Putri, dan Dinar Jaya.
Tentu saya ingin tahu suka duka belajar aktuaria yang syarat dengan rumus-rumus matematika. Masing-masing memberikan testimoni yang secara umum masih bisa mengikuti, walau harus ada tambahan pelajaran di luar jam pelajaran. Tentu saya akan ikuti perkembangan ketujuh mahasiswa ini setelah adanya ujian nanti.
Saya pernah merasakan 5 tahun kuliah di jurusan Matematika. Pengalaman yang tak mudah. Tapi usaha yang lebih, akan memberikan hasil yang lebih pula. Semangat terus dan jangan menyerah.
Acara berikutnya adalah makan siang bersama. Kami tahu dan pernah jadi mahasiswa. Perlu ada perbaikan gizi.
Dan Pak Kus Wahyudi Deputi Direktur Wilayah Jabar memberikan kejutan kue ulang tahun walau ulang tahunnya sudah lewat satu hari. Terimakasih Pak, saya memasuki usia seksi, seket siji.(*)
Depok, 15 September 2019. Salam NKS