Jakarta,Koranpelita.com
Presiden Jokowi tidak perlu menanggapi fitnah dan pembullyan sejumlah pihak terhadap Pansel maupun capim KPK. Sebab fitnah yang mereka lontarkan itu tanpa ada bukti nyata, selain wujud kebencian tingkat tinggi terhadap capim dari unsur Polri.
Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane berharap, begitu Presiden sudah menerima 10 nama sore ini dan segera menetapkan 5 nama untuk diserahkan ke DPR agar bisa dilakukan uji kepatutan di Komisi III.
“Presiden harus percaya penuh pada Pansel. Sebab Pansel KPK dibentuk oleh Keppres sehingga pansel adalah kepanjangan tangan presiden yang sudah dipercaya oleh presiden untuk melakukan proses seleksi capim KPK. Selama beberapa bulan ini pansel sudah melakukan proses seleksi itu,” kata Neta dalam keterangannya kepada Koranpelita.com, Senin (02/9/2019).
Ia menjelaskan, akhir dari seleksi itu, pansel memilih 10 figur terbaik dan diserahkan kepada presiden agar presiden memilih lima terbaik untuk menjadi pimpinan KPK, yang nantinya akan diserahkan presiden ke komisi III DPR untuk dilakukan uji kepatutan dan sekaligus memilih siapa yang akan menjadi Ketua KPK. Artinya, pansel hanya membantu presiden dalam melakukan proses seleksi capim dan keputusan terakhir ada di presiden dan komisi III.
“Terlepas dari munculnya pro kontra, siapa pun yang dipilih pansel untuk menjadi 10 besar Capim KPK yang diserahkan ke presiden, semua menjadi keputusan mutlak pansel. Sebab pansel adalah orang-orang pilihan yang sudah diberi wewenang presiden dengan keppres,” terang Neta.
Siapa pun yang dipilih, IPW menghargai keputusan pansel. Diharapkan figur-figur itu dapat segera membenahi KPK yang makin bobrok dan semau gue belakangan ini.
Menurut Neta, sedikitnya kebobrokan KPK yang harus segera dibenahi. Ada Delapan Point, yakni yang pertama pimpinan KPK yang baru harus mampu menjadikan lembaga anti rasuha itu WTP dalam audit BPK karena status WDP yang disandang KPK sekarang ini menunjukkan KPK tidak tertib keuangan dan berpotensi terlibat korupsi. Kedua, barang-barang sitaan dan rampasan dari para koruptor yang ditangkap KPK harus dipertanggungjawabkan secara transparan kepada BPK. Ketiga, keberadaan nasib pegawai KPK harus dipertegas bahwa mereka adalah ASN karena anggarannya dibiayai negara, sehingga nasib dan karirnya harus sesuai dengan ketentuan UU kepegawaian RI.
“Dengan demikian, pemerintah diperbolehkan melakukan mutasi pegawai KPK ke instansi pemerintah lainnya dan mereka terikat sebagai anggota korpri. Jadi, WP di KPK selama ini adalah barang haram. Apalagi WP sampai mengkordinir 500 pegawai KPK dan pihak luar KPK untuk menolak Capim pilihan pansel yang sudah mendapat mandat presiden, ini sebuah tindakan pengkhianatan dan pembangkangan,” jelas Neta.
Keempat, nasib 23 penyidik rekrutan internal KPK harus dipertegas dengan seleksi ulang agar kapasitasnya tak diragukan. Kelima, nasib novel Baswedan harus dipertegas. Statusnya sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan yang “kebal hukum” sangat mengganggu rasa keadilan publik.
“Begitu juga nasib kasus penyiraman air keras terhadapnya harus dituntaskan. Keenam, nasib sejumlah para tersangka kasus dugaan korupsi besar yang sudah bertahun-tahun tersandera sebagai tersangka di KPK harus diperjelas, seperti RJ Lino, Emirsyah Sattar dan lain-lain,” ujarnya.
Ketujuh, perpecahan di internal perlu diakhiri agar KPK makin solid dalam melakukan pemberantasan korupsi di negeri ini. Kedelapan, fungsi supervisi dan koordinasi KPK mutlak dimaksimalkan, sehingga KPK tidak terjebak pada keasyikan OTT kelas recehan.
Selain itu, tambah Neta, dalam meningkatkan supervisi dan kordinasi, KPK tidak hanya sekadar menjadi pemadam kebakaran dalam hal pemberantasan korupsi, lebih dari itu bisa menjalankan dan menumbuhkembangkan fungsi pencegahan, untuk kemudian wabah korupsi di negeri ini benar- benar bisa ditekan. (ivn)