NKS menulis: Terdampar di Dunia Lain Bernama Coworking Space

Ini dia coworking space. Kata yang sering terdengar, tapi sering tidak saya pahami. Itu terjadi sampai Jumat, 26 Juli 2019 lalu, ketika saya terdampar sesaat ke dunia lain bernama coworking.

Kejadiannya di lantai 37 sebuah gedung di kawasan Jalan Sudirman Jakarta. Inilah sepertinya yang disebut coworking space. Milik perusahaan multi nasional yang seolah selalu paham dengan setiap kebutuhan zaman.

Mungkin karena beda generasi atau jangan-jangan karena saya orang dari kampung, sehingga masuk ke lingkungan coworking terlihat sangat kikuk. Sungguh kagok, tak ubahnya manusia purba yang terlihat bodoh di dunia ultra modern. Jadilah, berada dalam suasana yang serba canggih, saya merasa sangat tersiksa. Tiga puluh menit yang menyiksa lahir-batin.

Isinya anak-anak muda seusia anak saya. Tidak lebih dari 25 tahun usianya. Di antara mereka terlihat saling tidak kenal. Sepertinya baru kenalan dalam tatap muka kali itu juga, meski pasti sudah berkenalan di dunia maya lewat sosmed.

Cerita ini berawal dari undangan sebuah organisasi anak muda yang mengadakan summer club. Nama organisasinya Generation Girl. Organisasi non profit yang diinisiasi oleh para perempuan muda hebat yang sekarang bekerja di startup terdepan di negeri ini.

Mereka mostly lulusan luar negeri yang kemampuan bahasa Inggrisnya di atas rata-rata apalagi dibandingkan saya yang orang ndeso ini. Memang, mbandinginnya  tidak boleh dengan diri sendiri, tapi saya merasakan betul mereka hebat bukan hanya dari bahasa Inggrisnya tapi ide dan kepedulian yang besar pada kaumnya.

Tentu saja bukan saya yang ikut acara yang diadakan generation girl selama seminggu itu. Karena yang ikut anak bungsu saya untuk mengusir bosan liburan semesteran yang terasa kelamaan.

Lha kenapa saya datang di acara yang untuk girls? Bukan hanya saya, karena di akhir acara, para orang tua peserta summer club Generation Girl diundang untuk menyaksikan putrinya present something. Presentasi tentang bagaimana ia menciptakan robot menari. Si bungsu memang ikut robotic class.

Sejak ikut acara summer club, si bungsu sudah lihai berceloteh. Berceloteh tentang banyak hal. Misalnya, komentar pertama, soal ruangan yang digunakan untuk acara summer club.

“So millennial Dad, you should think about coworking space for your institution,” begitu si bungsu membandingkan ruang kerja ayahnya dengan tempat acaranya, ruang kerja anak-anak milenial.

Benar juga berkomentarnya, Toh sekarang lebih dari 65 persen pegawai BPJS Ketenagakerjaan juga kaum milenial. Nggak mau kalah dengan si bungsu, ayahnya bilang di gedung baru nanti, di kawasan Kuningan Jakarta, sebagian akan mengadopsi konsep coworking space.

Celoteh yang lain, tentang pantri yang mirip cafe. Yang di dalamnya ada teh, kopi, air mineral dan infused water tersedia di dalamnya. Juga microwave. Bahkan ada dua macam microwave, untuk halal food dan untuk non halal food. Tempat duduk di desain persis cafe. Dari ketinggian lantai 37 tentu bisa melihat kota Jakarta dari beberapa sisi.

Si bungsu juga bercerita bahwa Generation Girl bertujuan untuk mengenalkan perempuan ke bidang STEM (Science, Technology, Engineering dan Math) sejak dini melalui klub liburan yang seru. Tujuannya tidak lain untuk mendorong perempuan agar berperan penting dalam bidang teknologi di masa depan.

Lupakan celoteh si bungsu. Kembali pada kehadiran saya yang seolah datang di dunia lain. Dijemput oleh Jodie seorang volunteer di lobby bawah, saya diajak naik ke lantai 37. Sambil naik lift yang juga khusus untuk mereka yang memiliki kartu akses, saya jadi tahu bahwa Jodie seorang mahasiswa di perguruan tinggi di Jakarta. Lalu saya ke ruangan tempat summer club berada. Setelah selesai, si bungsu mengajak untuk semacam office tour.

O ini to tujuan ayahnya diundang itu. Lantai 37 itu di buat berbagai ruangan. Ada beberapa ruang rapat kecil dilengkapi dengan LCD cukup lebar. Ruangan yang cukup menampung sekitar 8 sd 10 orang. Sementara ada juga yang ruangan super kecil yang muat hanya satu orang atau kalau pun dua orang tidak bisa yang berbadan cukup besar.

Saya baru tahu jika ruangan ini diperuntukkan sebagai ruang menelpon sehingga orang lain tidak mendengar pembicaraan kita. Awalnya saya menduga ruangan ini untuk mereka yang ingin bekerja sendiri.

Ruangan lainnya cukup besar. Termasuk di dalamnya untuk acara penutupan summer club. Mungkin muat sekitar 30 sd 50 orang. Dalam hati masih bertanya-tanya, apa sih keuntungan bekerja di coworking space wahai anak milenial? Tapi fikiran mencoba menjawabnya sendiri lewat pengamatan langsung di lantai 37 sebuah coworking space Jalan Sudirman ini.

Rata-rata yang datang di coworking space ini masih sangat belia. Saya menduga mereka para pemilik startup company. Tentunya secara financial belum leluasa. Kalau dibandingkan menyewa di kantor yang konvensional harga pasti tinggi. Apalagi daerah bisnis seperti jalan sudirman. Nah, coworking space ini sebagai tempat kerja yang menggunakan prinsip economy sharing. Dengan prinsip ini, harga pun menjadi sangat terjangkau. Apalagi bisa sewa harian, mingguan, bulanan, ataupun tahunan. Sangat fleksibel.

Manfaat lain dengan bekerja di coworking space, kita bisa melakukan networking dengan berbagai macam latar belakang profesi. Saya duduk dan mengamati para milenial di pantri dekat dengan lift. Ada beberapa yang menunggu untuk ketemu. Lalu di sisi lain ada yang kemudian menyapa lalu sepakat mengambil tempat untuk berdiskusi. Lebih pasnya mereka berkolaborasi.

Jaman kompetisi sudah mulai ditinggalkan. Mereka kini lebih senang berkolaborasi dari hasil networking yang dilakukannya.

Berbeda dengan di kantor konvensional, di coworking space sering kali mengadakan event-event internal untuk melepaskan stress dan penat. Bahkan untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan untuk para anggota coworking space, sering diadakan seminar atau workshop dengan topik-topik terkini.

Di kantor saya sekarang ini atau kantor konvensional pada umumnya suasana sangat formal. Jika saya bandingkan dengan coworking space justru sebaliknya. Sangat informal, suasana yang nyaman dan menyenangkan.

Tentang pingpong yang memang hobi saya, ada berita yang menggembirakan. Baik di kantor saya maupun di coworking space yang saya kunjungi sama-sama ada mejanya walau di lantai yang berbeda. Tapi bedanya meja pingpong di coworking space selalu tergelar dan siap digunakan. Tidak seperti di kantor saya yang harus menyiapkan dengan menggeser berbagai perkakas. Habis main pun ada tekanan bathin untuk segera merapikannya.

Saya juga melihat ada meja permainan sepak bola (table mini soccer football game) di pantri yang luas di lantai 37 tempat saya diminta untuk duduk manis dan mengamati. Tampak empat orang asyik memainkannya dua lawan dua. Tanpa ada yang merasa terganggu.

Suasana inilah yang dapat membuat para member rileks di saat suntuk, sehingga bisa memulai bekerja lagi dengan pikiran yang lebih fresh. Dan ini pula yang dipercaya bisa meningkatkan produktivitas dalam penciptaan ide-ide kreatif.(*)

About redaksi

Check Also

Direktur USAID, Jeffery Cohen : Sampah Menjadi Persoalan dan Harus Diatasi Bersama

SEMARANG,KORANPELITA –Direktur USAID Indonesia, Jeffery Cohen mengakui jika sampah memang menjadi persoalan bersama. Untuk itu …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap selesaikan captcha sekali lagi.

Eksplorasi konten lain dari www.koranpelita.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca