Sumarjono dan keluarga besar bersama bapak-simbok.

Lebaran Kulo di Kulon Progo

Di hari kedua Idul Fitri, saya membuat tulisan ini oleh karena loncatan ingatan ke masa lampau. Ingatan ketika Lebaran di rumah tabon di kampung halaman. (Izinkan sejenak menghela nafas karena tiba-tiba hati saya agak sendu tidak bisa menikmati hari pertama Lebaran di kampung halaman). Saya menuliskan ini, dari lokasi yang sangat jauh dari tabon kami di Nganjir, Hargorejo, Kulon Progo. Sebab, saya menuliskannya di antara Idul Fitri yang hanya sayup-sayup di negeri Kangguru, Australia.

Tapi baiklah. Demi menghayati momentum Lebaran, memang paling menyenangkan jika mengenang segala yang mengesankan dari kesilaman.

Jadi begini, setelah lelah perjalanan mudik hilang dihapus oleh tangan terampil mbok pemijat kampung, apa yang mesti dkerjakan untuk persiapan Lebaran esok? Itulah pertanyaan yang melemparkan ingatan pada masa itu, masa ketika Lebaran menjadi sesuatu yang selalu ditunggu.

Ya. Sore di penghujung bulan puasa, suasana Lebaran sudah amat terlihat. Selepas magrib, dengan diiringi irama bedug yang khas, terdengar merdu suara takbir menandakan Ramadhan segera undur diri, diganti Idul Fitri. Allaahu akbar Allaahu akbar Allaahu akbar, laa illaa haillallahuwaallaahuakbar Allaahu akbar walillaahil hamd. Lafal yang sangat sakral itu, selalu terdengar menggetarkan kalbu.

Bersama kumandang takbir, masa silam menyaji lukisan yang jelas tentang kegembiraan masa kecil yang amat bahagia. Sore-sore selepas Magrib, yang pertama dilakukan adalah takbir keliling kampung dengan berjalan bersama rombongan yang dibimbing oleh guru ngaji. Tak ada lelah walau berjalan dalam jarak yang tidak bisa dibilang dekat.

Tetabuhan mulai dari bedug berukuran kecil hingga kentongan bambu, menjadikan takbir keliling lebih semarak. Allaahu akbar Allaahu akbar Allaahu akbar, laa illaa haillallahuwaallaahuakbar Allaahu akbar walillaahil hamd.

              Mercon & Sebuah Long

Malam Lebaran di masa lampau, juga ditandai dengan suara dentuman long. Ini sebuah permainan asyik yang mendebarkan. Bermain meriam kampung dengan bahan utama karbit, bambu, dan disulut dengan api adalah kemewahan yang hanya ada pada Lebaran. Tidak ada yang bisa menjelaskan, mengapa dinamai long. Mungkin merujuk peralatan utama berupa bambu yang panjangnya lebih dari sedepa. Atau, entahlah.

Long menjadi semacam hiburan yang nyaris identik dengan bulan puasa. Di dusun saya, juga tidak semua orang bisa bermain long, karena harus membeli karbit. Tapi bagi mereka yang tidak punya long, rasanya sudah ikut bergembira dengan menelusuri jejak mendebarkan setiap sumbu disulut untuk kemudian menanti suara dentuman.

Dalam sebuah Ramadhan, long tergeser beberapa saat. Itu terjadi ketika kakak terbesar pulang dari Jakarta membawa petasan berbagai jenis dan  kembang api. Sungguh momen yang tidak mudah dilupakan karena desa yang biasa gulita, tiba-tiba berhiasi indahnya kembang api. Khusus mercon, mengingat simbok tidak bisa mendengar suara yang menggelegar, permainannya dilakukan agak jauh dari rumah.

                 Parade Makanan Enak

Lebaran memang memberi seri. Kesenangan tidak biasa yang hanya dijumpai setahun sekali. Kesenangan itu, termasuk oleh sebab penantian yang seperti tak berujung. Benar. Penantian panjang sampai simbok dan kakak perempuan memberi aba-aba bahwa hidangan Lebaran sudah siap. Hidangan yang tidak hanya untuk keluarga, namun juga suguhan untuk tetamu yang akan datang bersilaturahmi.

Ketupat, lengkap dengan semua teman-temannya, menjadi istimewa, karena hanya setahun sekali dimasak. Jika kondisi keuangan keluarga sedang senggang, bapak akan merelakan ayam jagonya untuk dipotong dijadikan opor penyempurna ketupat Lebaran.

Nah, ada lagi yang menjadi keharusan setiap hari raya tiba: menggoreng peyek, rengginang, dan makanan super khas Kulon Progo, geblek dan tempe benguk.

Ketupat selalu disiapkan oleh bapak dengan dibantu anak-anak lelaki. Opor ayam, minimal dari ayam peliharaan bapak yang dirawat sejak kecil. Sementara daging (sangat) diusahakan dengan segala daya upaya keuangan simbok. Daging menjadi penting, walau sangat mahal, karena sebagai penanda lebaran adalah hari kemenangan sehingga layak untuk dirayakan dengan makan daging.

Simbok bukan hanya harus menghitung pengeluaran yang jauh lebih berat, tapi juga harus bekerja sangat keras menyiapkan masakan pada malam takbiran sampai larut malam. Suara takbir yang terus mengumandang, seolah menjadi musik pengiring bagi simbok di dapur.

Dan saat sholat subuh tiba, semua semangat untuk bangun dan sholat subuh. Mengantre untuk mandi, menjadi sebuah pemandangan yang biasa karena anak banyak namun kamar mandi jumlahnya terbatas.

                                Jadwalnya Rapat Keluarga

Sewaktu sudah pada dewasa dan kedua orangtua masih lengkap, suasana lebaran tetap meninggalkan kesan mendalam. Dari bapak-simbok, kami selaku anak, mantu dan cucunya tetap mendapat bimbingan hidup.

Sepulang dari sholat iedil fitri, ada ritual khusus keluarga yang tak pernah luput dilakukan. Ritual diawali dengan sungkeman dari anak paling tua hingga termuda kepada orangtua. Setelah itu, makan bersama keluarga besar.

Tidak boleh satu anggotapun kemudian meninggalkan tempat, karena setelah makan bersama, akan dilanjutkan ritual berikutnya. Secara resmi, perwakilan dari anak-anak menyampaikan ucapan selamat Lebaran kepada orangtua dalam bahasa Jawa yang kadang dibumbui bahasa Indonesia supaya anak mantu serta cucu paham maknanya. Belum sah jika hanya bersalaman saja tanpa kata-kata terucap. Tentu saja bapak dan simbok secara bergantian kemudian menjawab permintaan maaf dan sungkem yang biasanya selalu memberikan apa yang diminta oleh anaknya yaitu memberi maaf.

Jika belum terlalu siang, rangkaian berikutnya adalah rapat keluarga. Masing-masing anak dan mantu ataupun mungkin bahkan bapak-simbok menyampaikan apa yang terjadi dalam setahun kemarin, permasalahan yang sedang dihadapi, dan apa yang akan dilakukan ke depan serta tidak lupa kira-kira apa yang diharapkan dari saudara untuk bisa membantunya.

Tidak mesti berurut dari yang paling tua, kadang aturannya diganti dari yang paling muda atau siapa saja yang memang sudah sangat siap untuk bercerita. Yang menarik, ini seperti rapat sungguhan, karena biasanya saya yang mendapat jatah menjadi semacam moderator dari diskusi supaya tetap fokus dan rapat keluarga tidak terlalu lama.

Rapat keluarga ini baru saya sadari kegunaannya setelah mulai beranjak dewasa. Banyak petuah terutama dari bapak dan ibu untuk menjaga kerukunan, saling bantu, jujur, kompak, dll. Nasihat juga datang dari kakak-kakak yang tentunya memiliki pengalaman lebih.

Kami sebenarnya delapan bersaudara dengan jarak kelahiran antar saudara sekitar 2 tahunan, namun sang Khaliq memanggil kakak kami nomor dua sehingga kami tinggal bertujuh. Jarak yang jauh dari sisi umur ini membuat kami tidak saling ketemu dalam waktu yang kadang tidak sebentar. Dua kakak tertua bahkan sudah merantau di rimbanya gedung-gedung ibukota. Beliau juga yang banyak membantu meringankan beban orangtua termasuk untuk menyekolahkan adik-adiknya. Rapat keluarga terhenti biasanya oleh datangnya para tamu untuk berlebaran dengan bapak simbok kami.

Keliling Tetangga & Saudara

Sekitar pukul 10.00 wib, kami memulai hal yang tidak boleh ketinggalan dari rangkaian Idul Fitri: berkeliling kampung dalam rombongan yang agak besar terdiri dari para kakak dan adik, mendatangi setiap rumah tetangga, saling melanggengkan permaafan.

Setelah semua tetangga tidak terlewatkan, giliran berikutnya, mengunjungi saudara yang rumahnya agak jauh. Mereka adalah saudara-saudara dari bapak dan simbok, jadi jumlahnya bisa sangat banyak. Belum lagi keharusan untuk juga berlebaran dengan mertua dari kakak atau adik yang masih di sekitar desa. Begitulah. Ritual ini, bisa menghabiskan waktu seharian sendiri. Melelahkan, tapi juga menyenangkan.

Sewaktu kecil hingga memiliki anak pertama, kami berjalan kaki menyusuri naik turunnya jalanan yang kebanyakan belum beraspal dan jeblok di kala hujan. Walau begitu, hati tetap senang karena saat sampai rumah saudara pasti ada makanan khas yang dimasak dengan cita rasa berbeda satu sama lain. Kami sampai hapal harus mencoba makanan apa setiap berkunjung rumah anak pertama dari pakde misalnya. Dan, tanpa perlu lagi makan siang di hari lebaran karena setiap rumah yang kita kunjungi menyuguhkan menu yang bisa sebagai pengganti karbo hidrat.

Setelah memiliki kendaraan, kunjungan ke saudara dengan jarak yang mengeluarkan keringat pada masa lalu, kini ditempuh dengan lebih cepat. Supaya lebih akrab, dua atau tiga keluarga jika jumlahnya kecil menggunakan satu kendaraan. Anak-anak bahkan kompak untuk menjadi satu dalam kendaraan agar bisa bermain sepanjang perjalanan.

Dalam setiap bertamu, ditunjuk juru bicara mewakili rombongan keluarga besar. Juru bicara tentunya menyampaikan dengan bahasa Jawa halus tentang maksud kedatangan rombongan besar tersebut yang tak lain bermaksud bersilaturahmi danmemohon maaf atas salah dan khilaf. Demikian juga tuan rumah akan menjawab dengan bahasa yang hampir sama, “Semanten ugi kulo sak brayat, dados tiyang sepuh kathah tindak tanduk ingkang kirang pas mugio dipun ngapunten. Iman kulo ugi iman panjenengan mugio langgeng dumugi akhir. Aamiin YRA.”

Setelah Bapak-Simbok Tiada

Ritual lebaran sedikit berubah saat kedua orangtua telah dipanggil Sang Maha Memiliki. Selepas sholat iedul fitri, tidak serta merta pulang dan berkumpul keluarga. Ziarah makam bapak ibu menjadi sebuah tradisi baru Lebaran.

Di makam keluarga besar para leluhur, ritual dimulai dari bersih-bersih, lalu bersimpuh untuk memanjatkan doa. Doa agar kedua orangtua diampuni dosanya, diterima amal ibadahnya termasuk dalam membimbing putera puterinya. Tak lupa ucapan syukur bahwa kami diberikan orang tua luar biasa seperti mereka.

Saat mata terpejam, teringat pesan-pesan yang mesti dilakukan sebagai anak keturunannya. Jika nanti sudah sukses, jangan sombong. “Kesombongan hanya akan menghancurkan kesuksesanmu.” Kira-kira itu salah satu pesan dari sejumlah pesan penting yang selalu terkenang.

Selesai berziarah kubur, baru ritual Lebaran seperti pada tahun-tahun saat bapak-simbok masih sugeng, kami lanjutkan: makan bersama dengan daging, rapat keluarga, lalu berlebaran dengan mengunjungi tetangga dan saudara.

Ritual itu, akhirnya ditambah dengan tradisi baru yaitu membagi sedikit rejeki kepada saudara, sebagai tanda syukur, kami diberkahi Tuhan.

Saat bertamu dan ditunjuk sebagai wakil keluarga yang harus bicara, maka dengan takzim saya sampaikan, “Kulo mewakili keluargo, sepindah silurahmi, kaping kalihipun ngaturaken sedoyo kalepatan kulo sedoyo. Doso kulo soho doso pakde/bude mugi saget lebur ing dinten riyadi meniko. Cekap semanten atur kulo. Maturnuwun.”

@Lebaran, 060619

About redaksi

Check Also

Wagub Taj Yasin, Jateng Siap Jadi Tuan Rumah MTQ Nasional 2026

SEMARANG,KORANPELITA.COM– Wakil Gubernur Jawa Tengah, Taj Yasin menyatakan, wilayahnya siap menjadi tuan rumah perhelatan Musabaqah …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap selesaikan captcha sekali lagi.

Eksplorasi konten lain dari www.koranpelita.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca