Jakarta, Koranpelita.com
Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari unsur Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Ahmad Muqowam mengatakan, bahwa dalam Pemilu Presiden (Pilpres) dan Pemilu Legislatif (Pileg) Serentak 2019 ini, tidak ada lagi etika, moral dan demokrasi yang harus dijunjung tinggi.
“Semua pihak, baik politisi maupun masyarakat tidak lagi mempertimbangkan aspek etika, moral dan demokrasi. Karena itu, dalam waktu yang tinggal satu bulan lagi ini, hal itu harus menjadi kesadaran semua pihak agar supaya Pemilu pada 17 April nanti yang jurdil dan demokrasi bisa tercapai,” ujar dia.
Penegasan itu disampaikan Achamd Muqawam dalam diskusi Empat Pilar MPR yang bertema ‘Etika Politik dalam Pemilu 2019’. Tampil juga sebagai pembicara anggota MPR RI dari Fraksi NasDem Johnny G Plate, dan pakar psikologi politik Dr Irfan Aulia di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Senin (11/3).
Politsi Partai Persatuan Pembanguan (PPP) itu, menekankan agar para pilitisi, partai politik dan masyarakat harus kembali sadar dan memahami tujuan berpolitik. “Tujuan berpolitik itua adalah untuk mewujudkan keadilan, kesejahteraan, kedaulatan, harkat, dan martabat bangsa,” papar dia.
Muqowam menjelaskan, dalam diri politisi itu sudah terjadi kekhawatiran jika mereka tidak memberi pemilih uang, maka mereka tidak akan dipilih. “Kekhawatiran itu timbul karena memang masyarakat pemilih sudah terang-terangan bersikap seperti itu,” kata Muqowam,
Dikatakannya, dalam bahsa Jawa ada istilah ‘Teko-muni-kasi. Artinya jika teko (datang), muni (kampanye), dan kasi (tidak memberi uang), maka calon anggota legislatif itu tidak akan dipilih. “Selama lima kali mengikuti, pemilu kali ini yang terasa sangat berat. Berat menghadapi masyarakat,” ujarnya.
Sebagai partai yang berbasis Islam yang menaungi dirinya, dia merasa dalam sebuah dilema besar, bahwa dalam Islam ditegaskan “Araasyi walmurtasyi finnaar.” “Pemberi (penyogok) dan penerima (yang disogok)” masuk neraka. “Berat sekali pemilu kali ini, “ papar Muqawam yang kembali mencaolonkan diri menjadi anggota DPR.
Mengapa terjadi kusus politik uang itu, lanjut Muqowam, karena ketidakpahaman masyarakat dan elit terhadap Pancasila dan tujuan berpolitik. Sehingga dalam kontestasi politik saat ini menghalalkan segala cara dan penuh hoaks. “Hoaks, fitnah pun dihalalkan,” kata dia.
Sementara Jhonny G Plate juga sangat prihatin pada kondisi politik saat ini. Ruang publik dalam pilpres ini dipenuhi dengan hoaks. “Padahal semua memahami jika hoaks, fitnah itu merugikan dan membodohi masyarakat sendiri,” ungkapnya.
Di sisi lain pakar psikologi politik Dr Irfan Aulia, berpendapat bahwa ada tiga hal yang mendasari masyarakat memilih atau tidak. Pertama, faktor landasan partai yang sama-sama Pancasila, kedua faktor value atau nilai bobok masing-masing pasangan Capres dan ketiga faktor emosinal.
“Faktor pertama dan kedua, hampir tidak mendorong masyarakat pemilih untuk ikut berpaisipasi dalam pemilu serentak, karena sama saja. Kecuali itu, faktor ketiga, yaitu emosi. Emosi publik dalam pemilu ini berbeda, katrena ada hope (harapan di sana,” ujar Irvan.
Namun lanjut dia lagi, faktor emosi itu justru bisa menyatukan dan sebaliknya bisa pula memecah-belah bangsa. Untuk itu ribuan hoaks bermunculan. Sehingga tinggal bagaimana para elit mengelola emosi yang positif itu menjadi lebih besar dan dan menekan yang negatif itu sampai sekecil-kecilnya,” ujar dia.
Sehubungan denegan itu, Irvan mengimbau kalangan milenial khusnya dan masyarakat umum pada umumnya, itu biasa saja menghadapi pemilu ini. Gunakan pola pikir yang benar, sehingga dalam memberikan parytisipasi pun akan benar,” ujar dia. (kh)