Jakarta, Koranpelita.com
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menegaskan penghentian swastanisasi pengelolaan air minum di wilayah Ibukota.
Anies menyetop kerjasama Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Jakarta dengan dua perusahaan swasta PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Thames PAM Jaya (Kini bernama PT Aetra Air Minum Jakarta) selama dua dekade, tepatnya sejak tahun 1999 dan baru akan berakhir 2023.
Anies, dengan dalih, kedua perusahaan air minum swasta yang mayoritas sahamnya milik Salim Group itu, dituding tidak menepati kontrak. Pada awal MoU penyedian air minum Jakarta yang sudah tercover, baru 44,5 persen penduduk / konsumen.
Bila berakhir kontrak tahun 2023, jumlah sambungan air minum targetnya harus mencapai 82 persen dari jumlah penduduk DKI Jakarta. Tapi hingga kini, setelah lebih dari 20 tahun kontrak, dua perusahaan itu hanya mampu memasok 59,4 persen. Hanya bertambah 14,9 persen.
Padahal sisa waktu kontrak tinggal empat tahun kagi. Dapat dipastikan, target penyedian air minum bakal tidak tercapai. Kedua perusahaaan itu minta diperpanjang 25 tahun lagi ke depan. “Semua merugikan penduduk,” tegas Anies.
Menurut Anies, harga airnya begitu mahal. Modal produksi hanya Rp680/meter kubik, di jual ke konsumen Rp7500/meterkubik. “Untung 1000 persen lebih, bagi hasil 22 persen keuntungan terus didapat, fasilitas infrastruktur menggunakan milik PT PAM Jaya DKI, tapi target tidak tercapai, kedua perusahaan swasta untung besar,” tuturnya.
Sementar 40,6 persen penduduk DKI Jakarta tidak mendapat akses air bersih, karena pipanisasi tidak kunjung dibuat oleh dua perusahaan swasta tersebut. Sehingga mayoritas penduduk dengan tingkat sosial ekonomi menengah bawah, harus beli air bersih Rp20.000 hingga Rp 30.000/perhari.
Sehingga perbulan mereka terbebani Rp600.000 hingga Rp900.000 untuk mendapatkan air bersih. Dan, ini tidak akan terjadi bila pipa-pipa air bersih tersambung ke rumah mereka. (naz)