Hari ini saya akan cerita yang ringan-ringan dari masa silam. Cerita tentang sesepuh saya bernamaSujatmiko. Atau lengkapnya Sujatmiko, SH, MH yang baru bulan lalu dilantik menjadi Hakim Tinggi di Pengadilan Tinggi Denpasar Bali. Bertemu Mas Jat, ingatan saya terlempar ke masa silam. Masa ketika masih berada di kampung halaman, di Dusun Jombokan, Desa Tawangsari, Kecamatan Pengasih, Kabupaten Kulon Progo, DIY.
Suatu ketika saat kami ngumpul di
ndalemnya Mbah Pandi (ini nama ayahanda Mas Jat yang sangat kondang di dusun
kami), teman-teman remaja berembug. Hari itu, akan melakukan perjalanan kecil
ke Gunung Jeruk yang legendaris.
Mas Jat langsung nyeletuk, kita buat Club anak muda yang keren. JHC namanya,
panjangnya Jombokan Hiking Club, spontan saja ide itu meluncur mengalir sambil
terus berjalan dari rumah Mbah Pandi di pusat kota Jombokan ke arah Utara
menuju Gunung Jeruk.
Awalnya tidak ada tanggapan dari teman seperjalanan, selain lelah berjalan di
bawah terik matahari. Juga belum tergambar seperti apa bentuk kegiatan atau
gerakannya. Beberapa pekan sepulang dari Gunung Jeruk, anak-anak remaja yang
sama bersepeda keliling kampung, Mas Jat kembali berteriak, “JHC ayo sambil
mancal pedal.”
Ayo JHC begitu selalu ketika jalan bareng di banyak kesempatan. Selanjutnya,
teriakan Ayo JHC seperti menjadi yel-yel bagi kami yang memang senang ngumpul-ngumpul.
Itu, kira-kira saat Mas Jat sudah memasuki akhir Sekolah Dasar, kalau tidak
salah ingat. Beda usia saya dengan Mas Jat memang tidak jauh,
paling hanya tiga atau empat tahunan.
Tapi ya begitu, setelah Mas Jat lulus SD, sudah jarang ada teriakan Ayo JHC.
Sebab, Mas Jat meneruskan sekolah di SMPN 1 Wates yang teman-temannya sudah
berbeda dari seluruh penjuru Kulon Progo. Apalagi, setelah tamat SMP,
langkahnya semakin jauh dengan sekolah di SMA Muhi Jogjakarta yang kondang
sebagai sekolah favorit.
Nah, pertemuan selanjutnya justru terjadi di Semarang saat Mas Jat Kuliah
Universitas Diponegoro. Juurusan yang diambil adalah hukum. Kebetulan saya juga
harus kuliah di Semarang, tapi menggoknya jauh sekali dari kebiasaan anak-anak
muda di kampung kami: Jurusan jurnalistik.
Meski beda kampus, bertemu Mas Jat selalu menyenangkan. Kami memang ada kalanya
janjian ketemu, apalagi di Semarang juga ada Mas Sukar, putrane Mbah Tir yang
bahkan sudah bekerja di Semarang. Nah, kami sering bertemu. Mas Jat juga sering
mengajak pulang kampung bersama.
“Ayo bareng ke Semarang,” katanya suatu
ketika saat kami sama-sama ada di Jombokan. Saya memang sering pulang setiap
Sabtu-Minggu untuk sowan bapak sekaligus minta jatah buat hidup di Semarang.
Maka mendapat tawaran Mas Jat bareng, sudah pasti menyenangkan, karena yakin
akan dibayari ongkos ke Semarang. Tapi rupanya, hari itu, Mas Jat ngajak boncengan
sepeda motor, waduh…
“Apa kegiatanmu di kampus?” Mas Jat bertanya di tengah perjalanan
“Menwa mas,” saya menjawab, kalau tidak
salah sambil membusungkan dada,
membesarkan diri. Tapi jawaban Mas Jat pendek saja, tidak seperti yang saya
harapakan akan memuji habis-habisan, “Yo wis apik.”
“Nek aku lebih sering interaksi dengan teman berdiskusi, di grup teater atau kelompok
diskusi lainnya, lebih menantang,” kalimat itu langsung serasa menampar wajah
saya. Ternyata saya yang sudang membanggakan diri sebagai Menwa masih kalah
gengsi dari Mas Jat yang senang berdiskusi dan main teater. (*)