Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH
*Penulis, Notaris tinggal di Sampit.
Gong sudah ditabuh final. Untuk musim idul fitri1442 ini, atau bertepatan dengan tahun 2021 tak ada mudik. Mudik ditiadakan. Larangan mudik, sebagaimana diumumkan okeh presiden Jokowi mulai berlaku Rabu 06 Mei sampai dengan Senin 17 Mei 2021. Artinya tak ada mobilitas yang meningkat begitu massif. Tak ada siaran langsung melaporkan kemacetan di berbagai jalur mudik, dengan berbagai asesorinya. Demi dan untuk virus korona semuanya seolah sah saja sebagai legitimasi. Bahkan dengan ancaman sanksi untuk isolasi dan denda, di lokasi yang jauh dari nyaman, jika memaksa mudik.
Sekadar menelisik pada kebijakan tentang boleh tidaknya mudik ini di tahun lalu, yang juga (bahkan) berada pada puncak pandemi korona maka sebagai sebuah kebijakan pada saat itu diawali dengan pernyataan yang bertentangan. Pernyataan dari para pejabat yang berubah ubah dan saling betentangan. Itulah kenyataan yang diterima masyarakat perihal boleh tidaknya mudik pada saat virus korona masih merajalela, yang juga berlangsung pada bulan Mei 2020. Masyarakat benar benar bingung, termasuk pejabat di Daerah khususnya alamat para pemudik. Sanksi untuk para pemudik dengan kurungan dan isolasi juga diancamkan. Tempat isolasi dibuat dan dipublikasikan sebagai wadah pelanggar mudik dengan penekanan ketidaknyamanan. Semuanya dipersiapkan dengan biaya tidak sedikit, di tengah virus korona yang masih merajalela.sama seperti musim mudik tahun ini.
Kebijakan Tak Konsisten
Pada saat itu, masih segar dalam ingatan, kebijakan bertajuk Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diterapkan, masyarakat bingung karena kompensasi bantuan sebagaimana dijanjikan tak seluruhnya menjangkau warga. Bahkan jika dihitung masih banyak yang tidak menerima dibandingkan yang mendapatkan kompensasi. Untuk penerapan sanksi PSBB, beberapa daerah bahkan menerapkan melalui mekanisme sidang. Tiba tiba saja peraturan mengenai mudik dilonggarkan. Pejabat bingung, membuat kondisi semakin runyam dan semakin memuyengkan kepala.
Pada awalnya mudik diperbolehkan. Kemudin ada larangan. Dibuatlah legitimasi yang langsung kala itu juga disampaikan oleh presiden. Bagi yang sudah berlangsung itu bukan mudik tetapi pulang kampung. Berbeda, pengeruian mudik dengan pulang kampung. Belakangan Menteri perhubungan Budi Karya Sumadi, yang baru sembuh dari virus korona menyergah: tak ada perbedaan antara pulang kampung dengan mudik. Jangan membuat istilah yaang membuat masyarakat bingung. Pada hal yang membuat pernyataan itu presiden, atasannya langsung.
Pada tahun lalu, sebagaimana dipahami, Menhub Budi Karya Sumadi dan Komisi V DPR berdebat soal definisi pulang kampung dan mudik. Hal ini terjadi dalam Rapat Kerja virtual membahas mudik Lebaran 2020. Menhub menegaskan bahwa mudik dan pulang kampung sebetulnya sama saja tidak ada bedanya. Dia meminta hal ini jangan menjadi perdebatan. Sementara itu Presiden Jokowi pun menegaskan masyarakat dilarang melakukannya. Padahal dalam pernyataan yang disiarkan secara luas presiden menegaskan boleh pulang kampung, mudik dilarang.
Pernyataan Menhub, bahwa mudik dan pulang kampung ini sama saja dan sebangun. Jangan membuat dikotomi, jadi nggak perbedaan. Berulang kali Pak Presiden dalam sidang kabinet tegaskan jangan pulang kampung, jangan mudik untuk itu, jangan menginterpretasikan satu bahasa dengan bahasa lain sehingga membahasakan orang bisa pulang.
Pernyataan itu dilontarkan Menhub ketika beberapa anggota Komisi V DPR meminta penjelasan kepada pemerintah apa bedanya pulang kampung dan mudik. Atas pernyataan yang kasat dengar bertentangan dengan apa yang disampaikan oleh Presiden, buru buru pihak Istana Kepresidenan meluruskan pernyataan Menhub. Pernyataan dari istana seperti mengalihkan perhatian tetang makna dikotomi. Hal ini secara tidak langsung merupakan pernyataan yang membenarkan tentang yang disampaikan Menhub. Artinya tidak ada dikotomi antara pulang kampung dan mudik. Pihak istana berkilah dengan menyampaikan pernyatan lain yaitu tentang rencana pemberian izin operasi kembali berbagai transportasi ke luar daerah. Dalam hal ini istana menegaskan mudik tetap dilarang.
Secara tegas ditekankan bahwa pada prinsipnya tetap ada pelarangan mudik dan pembatasan dan pemberlakuan protokol kesehatan yang ketat. Sedikit disesalkanan, pernyataan Menhub itu sebenarnya memuat pengecualian atau disclaimer yaitu mereka yang boleh melakukan perjalanan itu adalah misalnya petugas kesehatan, pasien yang memerlukan penanganan perawatan di luar kota, ada keluarga yang meninggal dunia. Termasuk petugas kepolisian, dan TNI yang bertugas mengamankan penerapan aturan tentang pencegahan penyebaran virus korona, baik yang sudah menerapakan PSBB maupun yang belum menerapkannya.
Kesemuanya dengan penekanan bahwa kalau pun bertugas harus ada surat dari atasan yang mengatakan memang dia ditugaskan ke luar kota, untuk mengawal logistik misalnya. Intinya, sebagai catatan penting bahwa pernyataan Menhub itu harus dibaca bersamaan Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 tentang Kriteria Pembatasan Perjalanan Orang dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19. Dalam aturan tersebut dijelaskan bahwa ada beberapa pengecualian orang melakukan perjalanan selama masa pandemi.
Kontroversi kali ini, kendatipun tersamar terjadi antara larangan mudik dan kebolehan mengunjungi obyek wisata. Dalam Bahasa kebijakan, mudik dilarang tetapi pariwisat diperbolehkan. Entaha bagaimana penerapannya, masyarakat juga masih dibuat kebingungan. Masalahnya apakah pernyataan ini menjawab pertentangan yang terjadi atau tidak. Apakah soal mudik ini pada intinya dibolehkan atau tidak, dan apakah Ketika perjalanan dilakukan pada saat jadwal larangan mudik, dengan niat pariwisata juga dilarang. Namun sanksi telah disosialisasikan, bahwa masyarakat yang nekat mudik akan diberikan sanksi berpatokan kepada Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Pada ketentuan pasal 93 yang disebutkan bahwa hukuman kurungan paling lama adalah setahun dan denda maksimal hingga Rp 100 juta bila melanggar aturan mudik ini.
Untuk itu setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana, dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000.
Bahwa masalah mudik, dalam dimensi sosiologis merupakan masalah sensitif. Mudik tahun ini dilarang, sementara sudah semenjak dahulu kala mudik sebagai fenomena sosial dan agenda tahunan itu tak pernah dilarang. Itulah sebabnya secara substansi masalah ini tetap menjadi persoalan masyarakat. Apa lagi kebijakan ini ditetapkan dalam situasi yang sebenarnya cukup aman dari cengkeraman virus korona.
Tak berkelebihan kiranya, pada situasi yang seara obyektif menunjukkan tingkat pandemic yang cukup aman ini pemerintah sebagai regulator dan penanggungjawab atas terselenggaranya program mudik lebaran tidak siap. Tidak siap dalam memberikan pelayanan dan menyediakan fasilitas, khususnya kecukupan dan keamanan transportasi. Agar aman terkendali maka kemudian kebijakan diarahkan kepada satu titik: larangan mudik. Daripada bersusahpayah untuk memfasilitasi dan mengawasi, yang tentu saja memerlukan biaya, konsentrasi para pelaksanaa yang tidak sederhana, ibarat pilihan dijatuhkan pada yang lebih praktis pragmatis dan ekonomis: mudik dilarang.
Kesimpulan di atas tentu debatebel, bisa diperdebatkan. Namun sejarah akan mencatat bahwa kebijakan tidak populer itu sejatinya dapat dilonggarkan dengan melarang sama sekali bahkan dengan menakut nakuti dengan sanksi.***