PERJALANAN “Harian Umum Pelita^ genap berusia 45 tahun. Tapi sejak pertama berdiri pada 1 April 1974, koran legendaris itu tutup usia pada momentum paling haru. Tahun ini pun pamit dari pembacanya.
Banyak cerita bisa dikenang sepanjang 45 tahun yang panjang. Ada banyak cinta di antara para pelakunya, selain banyak pejabat terlahir, cendekia muncul, seniman terasah, serta politisi dan konglomerat yang ikut dibesarkan.
Gus Dur misalnya. Sebelum menjadi Presiden RI adalah penulis kolom tetap di Harian Umum Pelita. Juga Quraish Shihab, Jalaluddin Rahmat, Nurcholis Madjid, Nasaruddin Umar, Ali Mustafa Yaqub, atau Kiai Ali Yafie.
Birokrat seperti Haryono Suyono, Ismail Saleh dan Amir Santoso juga tercatat sebagai penulis tetap. Akbar Tandjung dan Abdul Ghafur pernah memimpin Harian Umum Pelita. Itu terjadi, sebelum bang Akbar dan bang Ghafur masuk kabinet di masanya.
Politisi tidak terhitung jumlahnya. Dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) umpamanya, ada Mahbub Djunaedi dan Sjah Manaf yang menjadi dedengkotnya. Ketika berkolaborasi, Pelita dan PPP saling menopang dan menjadi besar. Saking besarnya, saat itu, timbul kekhawatiran banyak pihak, terutama dari para pesaing bisnis politisi yang berseberangan.
Lalu ada yang berusaha memecah koalisi Pelita dan PPP. Terjadilah huru-hara yang memuncak pada pemberangusan terhadap kebebasan berpendapat. Aksi pembredelan dilakukan, meski penghentian penerbitan itu hanya untuk beberapa saat lamanya. Penerbitan dapat diteruskan dengan beberapa syarat dan semangat baru. Tentnya dengan pengurus baru yang memiliki semangat akomodatif.
Pak Harto, Presiden RI kedua, adalah yang menggagas kelahiran Harian Umum Pelita. Pak Harto juga yang memberikan modal pertama untuk menerbitkannya. Sebagai Ketua Dewan Pembina Golongan Karya (Golkar) Pak Harto memandang perlu menyelaraskan pembangunan di semua lini kehidupan, termasuk pers nasional.
Setelah itu, reformasi datang. Datang bersama berhembus kencang yang sampai juga ke persuratkabaran nasional. Harian Umum Pelita yang selama beberapa dekade berada di bawah kekuasaan menjadi limbung. Seperti kehilangan induk semang yang selama ini memberikan dukungan. Hidup segan mati tak hendak.
Pelita terseok-seok, berusaha mempertahankan eksistensi dengan memikul segala beban yang sarat dengan keagungan sejarah. Beban masa silam yang gemilang dan nama besar yang disandang. Tapi nafsu besar tenaga kurang. Ada tuntutan mempebarui sumberdaya dan teknologi digitalisasi yang mandeg.
Apa boleh buat. Pelita gamang menghadapi kemajuan yang terus bergerak melampaui batas kemampuannya. Hanya dengan mengandalkan kekuatan yang tersisa, membuat nafas makin tersengal. Dan, itulah pertanda sakaratul maut semakin mendekat.
Maka begitulah. Kesemestian era 4.0 menghantam semuanya. Media massa menjadi yang paling awal terkena dampaknya. Koran-koran besar kolaps, bahkan di negeri kampiun demokrasi sekelas Inggris dan Amerika. Industri pers nasional mengalami nasib serupa.
Harian Umum Pelita harus mengakui kenyataan sejarah, memaklumkan diri untuk melempar handuk. Menyerah. Para pemegang saham menyatakan diri tidak sanggup meneruskan amanah, sekalipun ada amanah Pak Harto untuk terus mempertahankan kelangsungan hidup Harian Umum Pelita.
Jadilah harai keramat itu disepakati. Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa November 2018 memutus untuk menghentikan penerbitan bertepatan dengan tutup tahun, 31 Desember 2018.
Seperti perjalanan anak manusia, lahir, tumbuh dewasa, lalu tua, dan akhirnya memasuki akhir kehidupan. Harian Umum Pelita seperti mengikuti sunatullah bahwa ada kehidupan, berarti ada kematian.
Meski setiap kita tak berhak memilih kehidupan dan kematiannya, tapi ada cara kematian yang menyenangkan. Pati kang patitis, kata orang Jawa. Kematina yang Husnul Khatimah. Semogalah, akhir kehidupan Harian Umum Pelita yang hari ini kita peringati, masih memberi manfaat dan cerita kebahagiaan. Minimal, dari sana, kita pernah memiliki kebersamaan yang penuh berkah. (*)