ALANGKAH indahnya berdemokrasi di Indonesia. Itu kata warga negara asing bila bertandang ke Indonesia. Karena memiliki keanekaragaman suku, agama dan bahasa tidak membuat satu sama lain bentrok dan berkonflik.
Sejarah itu terus saja bergulir. Guliran itu menjadi daya tarik bagi bangsa luar yang melihat fenomena itu. Hampir 74 tahun kita berdemokrasi secara adil dan berbudaya. Itu diakui dunia luar.
Sejarah juga menyebutkan kalau bangsa Indonesia sangat berbudaya tinggi. Ramah dan sopan. Bertatakrama serta beretika dalam pergaulan. Budaya kita menjadi acungan jempol bagi bangsa lain.
Namun memasuki era reformasi, kita sepertinya oleng dengan julukan bangsa berbudaya dan beretika. Semuanya menyeruak menjadi keangkuhan dan kesombongan yang tak lagi memiliki budaya ramah.
Semua warga negara bebas mengeluarkan pendapat berbeda-beda tanpa ada etika lagi. Satu sama lain saling menuding tanpa ada landasan kebenaran.
Etika seketika luntur. Kesopanan pun menjadi lumer oleh keangkuhan dan kesombongan. Kebebasan berpendapat dinilai sebagai rasa kecerdasan yang paling jitu. Tanpa sadar, kita pun larut dalam dabat kusir tanpa ujung. Semua menjadi pembenaran hakiki. Semua merasa benar.
Kaitan dengan perhelatan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 ini. Ada sesuatu yang hilang. Moralitas berbangsa dan bernegara tak kelihatan lagi. Cakupan berdemokrasi secara benar, lumer oleh keangkuhan dan kesombongan.
Benar kata orang bijak; negara terpimpin dengan kecurangan akan melahirkan penderitaan dan kesengsaraan rakyat.
Kita merasa kasihan melihat kenyataan saat ini dimana hak hidup sebagai warga negara, tergiring masuk kedalam kebodohan. Artinya apa pun yang dilakukan pemerintah, rakyat harus ikut dalam kebodohan. Meskipun tak sesuai hati nurani.
Pada Pilpres kali ini, mata kita terbelalak melihat penggiringan kebodohan itu yang semakin nyata. Rakyat dituntut untuk mengikuti seluruh peraturan yang ada namun tanpa disadari sudah digiring menjadi manusia robot.
Kenyataannya ketika perhelatan itu digelar, kita pun semakin dicekoki oleh aturan-aturan yang berlaku. Namun apa yang terjadi, kita yang sudah dicekoki batasan aturan, ternyata penuh dengan kecurangan-kecurangan. Institusi yang memiliki kompeten pun sudah menanbrak aturan-aturan berbangsa dan bernegara.
Kita pun bertanya sampai kapan bangsa ini menjadi bangsa besar, kuat berdiri di negara Pancasila. Berdemokrasi bergaya Indonesia; berbudaya, beretika, dan jujur.
Sampai kapan?. ****
(Redaktur Pelaksana Koranpelita.com)