Palangka Raya, Koranpelita.com
Radikalisme telah masuk ke Indonesia. Dampak dari masuknya faham tersebut, terjadinya aksi terorisme yang mengancam bangsa. Hal itu disebabkan faham yang salah, sehingga bertentangan dengan tujuan penderian bangsa. Karena itu, ada tiga lembaga yang berperan dalam mengantisipasi masuknya faham radikalisme.
“Ada tiga lembaga yang berperan mengangkal radikalisme yaitu, pendidikan, keluarga, dan komunitas,” ungkap Ketua Bidang Agama Sosial dan Budaya Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Kalimantan Tengah, Syamsuri Yusuf, Senin (16/11).
Pernyataan itu dilontarkan Syamsuri ketika menjadi narasumber dalam kegiatan Focus Group Discussion. FGD mengangkat tema dengan semangat kepahlawanan kita mencegah ujaran kebencian, dan anti pemerintah demi keutuhan NKRI. Kegiatan dibuka Wakapolda Kalteng Brigjend Pol Drs Indro Wiyono M.Si.
Kegiatan diikuti pimpinan perguruan tinggi dengan peserta mahasiswa. Selain Syamsuri, hadir sebagai narasumber Prof Dr Kumpyadi Widen MA Dekan FISIP UPR, Dr Eli Karliani M.Pd Ketua Program Study PKn FKIP UPR, dan Dr Kiki Kristanto SH MH Sekretaris Magister Ilmu Hukum UPR.
“Melalui peran lembaga pendidikan, guru dan kurikulum dalam memperkuat wawasan kebangsaan, sikap moderat dan toleran pada generasi muda,” tegas Syamsuri.
Kemudian, ungkapnya, keluarga melalui peran orang tua dalam menanamkan cinta dan kasih sayang kepada generasi muda dan menjadikan keluarga sebagai unit konsultasi dan diskusi. Komunitas melalui peran tokoh masyarakat di lingkungan masyarakat dalam menciptakan ruang kondusif bagi terciptanya budaya perdamaian di kalangan generasi muda.
Dijelaskan, nilai-nilai Pancasila diimplementasikan secara murni dan konsekuen baik secara pribadi maupun dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara. Adanya ancaman radikalisme dan terorisme merupakan salah satu resultannya yang berakibat ketahanan ideologi tidak terbina dengan baik, yang pada akhirnya mempengaruhi ketahanan nasional.
“Faham radikalisme perlu dicegah. Jangan sampai muncul kebencian terhadap pemerintah yang berakibat pada aksi teror,” tegas Syamsuri.
Sementara, Staf Ahli Gubernur Bidang Kemasyarakatan dan Sumber Daya Manusia (SDM) Herson B Aden mengungkapkan, ujaran kebencian dan anti pemerintah, bukan menjadi tanggung jawab pemerintah semata. Tetapi seluruh masyarakat, terutama para milenial yakni pemuda dan mahasiswa wajib terlibat.
“Milenial harus bisa menjadi agen perubahan, yaitu menjadi pionir dalam memberantas kasus-kasus ujaran kebencian yang kerap terjadi, terutama di media sosial,” tegasnya.
Wakapolda Kalteng Brigjen Pol Indro Wiyono mengatakan, berdasarkan hasil penelitian terbaru, milenial adalah pengguna internet terbesar di Indonesia. Diprediksi mencapai 30 juta orang. Dengan jumlah pengguna yang besar, dapat menjadi celah bagi penyebar ujaran kebencian dan anti pemerintah menyebarkan fahamnya melalui dunia maya.
Untuk itu, peran milenial dalam menangkal informasi yang menyesatkan sangat dibutuhkan, yakni dengan mengunggah konten damai di medsos. Dari konten-konten tersebut, bisa menjadi counter dari konten radikal yang disebarkan oleh kelompok-kelompok radikal.
“Kami berharap milenial saat ini adalah generasi penerus bangsa yang mempunyai kemampuan, kepintaran, keberanian dan mempunyai tekad yang kuat untuk melindungi Bangsa Indonesia. Berperilaku positif sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa dan melawan segala macam paham kebencian dan kekerasan yang ingin merusak keutuhan NKRI, terutama di dunia maya,” tegasnya.(RAG).