Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH
*Penulis Notaris tinggal di Sampit.
Konsep Omnibus Law yang dituangkan dalam RUU Cipker menjadi suatu buah bibir bagi khalayak umum terkait keabsahan yuridisnya. In casu, publik mempertanyakan apakah RUU a quo sah atau tidak dan bagaimana kedudukannya dalam aturan aturan perundang-undangan. Untuk menguji apakah suatu UU sah secara formal, kita perlu mengkaji Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3). UU P3 menjadi acuan dasar pemerintah dalam membentuk aturan perundang-undangan dan menjadi suatu standarisasi sah tidaknya suatu undang-undang disusun. Ketika ada suatu RUU yang sedang disusun dan bertentangan UU P3, maka RUU yang sedang disusun statusnya akan batal demi hukum dengan alasan bertentangan. Lain halnya ketika suatu RUU disusun tidak berdasarkan UU P3, tetapi materi muatannya tidak diatur dalam UU P3 statusnya tidak batal karena tidak memenuhi larangan bertentangan. Terdapat dua alasan mengapa RUU Cipker dikatakan sah secara normatif dan terdapat beberapa alasan mengenai RUU Cipker tidak sah sebagai hukum.
Pertama, RUU Cipker memiliki dasar hukum yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan mengacu pada UU P3.23 RUU a quo dinilai sah dikarenakan memiliki kedudukan sebagai UU sebagaimana mengacu pada ketentuan pada pasal 7 UU P3 yang berbunyi sebagai berikut: (1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Pada ayat di atas, RUU Cipker terletak dalam hierarki UU P3 sebagai undang -undang yang memiliki kedudukan sah dan diakui sehingga RUU a quo mempunyai kekuatan mengikat dan sah secara formal.
Kedua, omnibus sebagai suatu konsep pembentuk RUU Cipker tidak dilarang dalam UU P3.24 Walaupun tidak diatur dalam UU a quo, secara implisit konsep omnibus merupakan suatu terobosan baru yang tidak dilarang oleh undang-undang, sehingga mungkin saja jika konsep omnibus diaplikasikan dalam pembuatan aturan perundang-undangan. Sejauh ini, RUU Cipker tidak memiliki masalah secara formal akan keabsahannya sebagai undang-undang yang dibuat oleh pemerintah dengan konsep yang cukup berbeda dengan undang-undang lain pada umumnya.
Namun, jika kita melihat materi pokok dalam lampiran RUU Cipker, perlu diberi suatu perhatian khusus terkait jenis peraturan perundang–undangan RUU a quo. Hal ini ditandai dengan terdapatnya ketidakjelasan jenis peraturan-perundangan RUU a quo. Padahal diktum yang terdapat di lampiran RUU a quo menetapkan bahwa jenis peraturan RUU Cipker adalah undang-undang sebagaimana yang dimaksud pada pasal 7 UU P3, namun materi pokok yang diatur dalam RUU ini adalah materi pokok RUU perubahan.
Adapun materi RUU Perubahan hanya berisi perubahan yang terdiri atas pencabutan, penggantian, atau penambahan materi pokok dari undang-undang sebelumnya. Hal yang perlu digarisbawahi di sini adalah teknik penyusunan perundangan-undangan antara undang-undang baru dan undang-undang perubahan berbeda. RUU Cipker dapat dikatakan sebagai RUU perubahan dengan mengacu pada bukti yang terdapat pada pasal 17 dan pasal 18 RUU Cipker.
Penyederhanaan
Bahwa di dalam rangka penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha serta untuk memberikan kepastian dan kemudahan bagi Pelaku Usaha dalam memperoleh kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur secara formal.
Bahwa omnibus sebagai suatu konsep pembentuk RUU Cipker tidak dilarang dalam UU P3. Walaupun tidak diatur dalam UU a quo, secara implisit konsep omnibus merupakan suatu terobosan baru yang tidak dilarang oleh undang-undang, sehingga mungkin saja jika konsep omnibus diaplikasikan dalam pembuatan aturan perundang-undangan. Sejauh ini, RUU Cipker tidak memiliki masalah secara formal akan keabsahannya sebagai undang-undang yang dibuat oleh pemerintah dengan konsep yang cukup berbeda dengan undang-undang lain pada umumnya
Namun, jika kita melihat materi pokok dalam lampiran RUU Cipker, perlu diberi suatu perhatian khusus terkait jenis peraturan perundang–undangan RUU a quo. Hal ini ditandai dengan terdapatnya ketidakjelasan jenis peraturan-perundangan RUU a quo.
Padahal diktum yang terdapat di lampiran RUU a quo menetapkan bahwa jenis peraturan RUU Cipker adalah undang-undang sebagaimana yang dimaksud pada pasal 7 UU P3, namun materi pokok yang diatur dalam RUU adalah materi pokok RUU perubahan. Adapun materi RUU Perubahan hanya berisi perubahan yang terdiri atas pencabutan, penggantian, atau penambahan materi pokok dari undang-undang sebelumnya. Hal yang perlu digarisbawahi di sini adalah teknik penyusunan perundangan-undangan antara undang-undang baru dan undang-undang perubahan berbeda.
RUU Cipker dapat dikatakan sebagai RUU perubahan dengan mengacu pada bukti yang terdapat pada pasal 17 dan pasal 18 RUU Cipker yang berbunyi sebagai berikut: Dalam rangka penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha serta untuk memberikan kepastian dan kemudahan bagi Pelaku Usaha dalam memperoleh kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam pasal 18, menyebut bahwa beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik 15 Indonesia Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725) diubah: di sini ada satu hal yang menjadi kesimpulan dari RUU Cipker. RUU a quo memiliki status tidak jelas sebagai sumber hukum. Masih menjadi pertanyaan apakah berupa undang-undang perubahan atau sebagai undang-undang baru.
Manakala RUU a quo diakui sebagai undang-undang baru dan materi pokok dalam undang-undang ini berupa materi pokok RUU perubahan, maka undang-undang ini tidak sah dikarenakan bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam lampiran UU P3 di mana materi pokok RUU a quo adalah materi pokok perubahan. Hal ini bertentangan dengan teknik penyusunan perundang-undangan jenis peraturan undang-undang. Permasalahan lain juga timbul apabila RUU Cipker merupakan RUU perubahan dikarenakan materi pokok yang diatur bertentangan dengan lampiran UU P3 di mana materi peraturan RUU a quo sistematika peraturan perundang-undangannya berubah, materi peraturan perundang-undangan berubah lebih dari 50% (lima puluh persen), dan merubah esensi undang-undang yang diubahnya dengan semangat yang baru, yakni semangat dalam menciptakan lapangan kerja, meningkatkan ekosistem investasi, dan mempercepat proyek strategi nasional.26 Adapun ketentuan yang mengatur hal tersebut berbunyi bahwa manakala suatu perubahan Peraturan Perundang-undangan mengakibatkan: a. sistematika Peraturan Perundang-undangan berubah; b. materi Peraturan Perundang-undangan berubah lebih dari 50% (lima puluh persen); atau c. esensinya berubah, Peraturan Perundang-undangan yang diubah tersebut lebih baik dicabut dan disusun kembali dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru mengenai masalah tersebut.
Terdapat dua alternatif penyelesaian masalah dalam persoalan ini. Pertama, ada yang berpendapat bahwa untuk mengesahkan RUU Cipker pada status quo perlu diadakannya perubahan terhadap UU P3 untuk mengatur ketentuan RUU a quo lebih lanjut.28 Perlu diingat bahwa ketentuan yang terdapat di dalam UU P3 menentukan sah tidaknya suatu peraturan perundang-undangan. Selain itu, hal ini ditunjang oleh fakta bahwa terdapat kontradiksi pengaturan yang ada antara RUU Cipker dan UU P3 sehingga salah satu aturan harus mengalah dan berubah menyesuaikan satu sama lain. Dengan diadakannya perubahan akan berimplikasi kepada pengaturan lebih lanjut terhadap aturan perundang-undangan dan dapat diakomodasinya RUU a quo dalam aturan perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan UU P3. Namun, perubahan pada UU P3 harus mempertimbangkan urgensinya dikarenakan UU P3 telah direvisi satu tahun lalu dan keluarnya UU No. 15 Tahun 2019 sebagai UU Perubahan Kedua atas UU P3.
Kedua, mengikuti perintah fakultatif angka 237 lampiran II UU P3, RUU Cipker sebagai undang-undang yang bertentangan dapat dicabut dan direvisi secara formal mencakup materi muatan yang bertentangan dengan UU P3, sehingga pada akhirnya materi muatan RUU a quo bersesuaian dengan materi muatan yang diatur dalam UU P3. Bahwasanya ketentuan umum adalah salah satu bagian yang terdapat dalam setiap UU yang mencakup persoalan pengertian istilah dan frasa dari materi muatan yang diatur oleh UU dan terdapat pada pasal 1.
Ketentuan umum juga memuat setiap pengertian atau definisi yang bersifat umum berlaku bagi pasal berikutnya yang mencerminkan antara ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan. Ketentuan umum ini menurut ahli menjadi salah satu hal yang menjadi perhatian dalam wacana pemerintah menerbitkan Omnibus Law. Maria Farida berpendapat bahwa dengan dibuatnya konsep ini akan membuat sulitnya perumusan ketentuan umum dalam penyusunan perundang-undangan. Hal ini juga ditunjang dengan argumen bahwa omnibus bersifat sebagai lex general, yakni sebagai UU yang bersifat umum, bukan lex specialis (khusus). Sebagai lex general, omnibus bersifat umum dan mengatur berbagai materi muatan yang berkaitan dengan UU lain baik secara langsung maupun tidak langsung. Korelasi mengenai ketentuan umum dan sifat lex general omnibus.***