Jakarta,Koranpelita.com
Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (PATAKA), menilai berbagai kebijakan telah berkali-kali dilakukan pemerintah. Namun, harga ayam hidup terus tertekan sehingga merugikan peternak mandiri. Sekalipun, telah dilakukan upaya pengurangan pasokan ayam sebanyak 50 persen dari kapasitas produksinya.
Untuk itu, Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (PATAKA), Yeka Hendra Fatika meminta Kementerian Pertanian untuk melakukan tindakan tegas kepada perusahaan integrator yang tidak mematuhi aturan dalam upaya pemangkasan produksi ayam.
Terdapat lima kelompok perusahaan seperti PT KMS, Malindo, PIA Group, PT SUJA dan PT Wonokoyo. Kontribusi afkir dini mencapai 32,5 persen namun realiasinya baru mencapai 25 persen.
“Pataka menilai tidak terkoreksinya harga karena ketidaktaatan pelaku usaha dalam melaksanakan kebijakan pemerintah dan pengawasan yang dilakukan tidak efektif. Bersama Satgas pangan , Ditjen PKH Kementan diharapkan membangun sistem transparani yang melibatkan partisipasi publik diantaranya melibatkan organisasi peternak,” ujar Yeka dalam webinar di Jakarta Selasa, (13/10/2020).
Yeka juga berpendapat bahwa, kebijakan pengurangan pasokan yang berulangkali dilakukan Kementan, namun harga live birth di tingkat peternak terus tertekan . Padahal pengurangan pasokan FS terbaru sudah dilakukan sebesar 50% dari kapasitas produksi . Dia pun melihat masih tidak patuhnya sebagian dunia usaha untuk mengendalikan pasokan seperti diperintahkan Kementan.
Ini menunjukkan pengawasan Kementan juga belum menimbulkan efek jera karena tidak disertai sanksi tegas.Menurut Yeka hal ini disebabkan pengurangan pasokan bibit ayam tidak diawasi publik sesuai prinisp good governance. Karenanya rezim importasi bebas maupun rezim kuota sama buruknya bagi kelangsungan hidup peternak.
Bukan itu saja, Yeka juga mengatakan sanski yang diberikan pun tidak tegas sehingga belum memberikan efek jera. Pengawasan yang dilakukan pemerintah juga tidak memiliki pedoman yang jelas dan tidak bisa diawasi oleh publik. “Padahal, informasi terkait pengurangan pasokan ini termasuk kategori yang perlu diketahui publik,” katanya.
Menurut Yeka, jika pemerintah gagal dalam melakukan pengawasan dan publik tidak dilibatkan, maka rezim importasi bebas sama buruknya seperti rezim importasi kuota saat ini. Sebagaimana diketahui, pada 2015-2017 dilakukan importasi ayam indukan dengan sistem bebas, dan kini dilakukan dengan sistem kuota.
“Kami meminta Kementan dan Satgas Pangan membangun sistem transparan yang melibatkan partisipasi publik dan segera membentuk mekanisme pengawasan pengurangan pasokan ayam,” ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Perbibitan dan Produksi, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, Sugiono, mengatakan, pihaknya telah melayangkan surat teguran kepada para perusahaan terkait yang tidak komitmen atas perjanjian dengan pemerintah.
Sugiono mengatakan, dari evaluasi kebijakan tersebut, terlihat pihak integrator yang patuh dan tidak patuh kepada aturan pemerintah. “Kita sudah sangat serius sejak dahulu, cuma dipangkas berapapun ada saja alasannya,” katanya.
Terdapat sejumlah upaya Kementan dalam melakukan pemangkasan ayam dan penyerapan produksi ayam peternak melalui afkir dini indukan ayam usia lebih dari 50 minggu, tunda setting telur tetas untuk kegiatan sosial, pemusnahan telur fertil, serta penyerapan ayam hidup. Dua beleid yang dimaksud adalah SE no 09246/SE/PK 230/F/08/2020 tentang Pengurangan DOC FS serta SE 9663/SE/ PK 230/F/09/2020 tentang pengurangan DOC FS bulan September.
Pada upaya afkir dini di bulan September, dari target 4,05 juta ekor ayam betina, hanya mencapai 2,6 juta atau 65 persen dari target. Sementara untuk ayam jantan ditargetkan 344,8 ribu ekor dan hanya terealisasi 246,2 ribu atau sekitar 71 persen Lebih lanjut upaya tunda setting telur periode 19 September-10 Oktober hanya mencapai 6,6 juta butir atau 88 persen dari target 7,5 juta butir. Sebanyak 23 perusahaan sudah mencapai 100 persen dari target sedangkan 15 perusahaan belum mencapai.
Adapun untuk upaya pemusnahan telur fertil, pada Agustus 2020 hanya mencapai 12,4 juta butir atau 89,1 persen dari target 14 juta butir. Sementara pada September dari target 65,9 juta butir hanya mencapai 44,8 juta butir atau sekitar 67,97 persen.
Langkah terakhir dalam penyerapan ayam hidup juga belum sesuai yang diharapkan. Sepanjang Agustus 2020, realisasi penyerapan mencapai 41,6 juta ekor atau 60,17 persen dari target sebanyak 25,06 juta ekor. Adapun di bulan September 2020, serapan mencapai 45,1 juta ekor atau 46,4 persen dari target 97,3 juta ekor.
“Ada beberapa perusahaan yang meminta penundaan (pemangkasan). Tapi kami tidak peduli dengan masalah mereka, tugas saya adalah menjaga suplai, tidak ada hitung-hitungan dengan bisnis,” kata Sugiono .
Kementan berkepentingan, baik integrator maupun peternak mandiri harus hidup dan bekerja sama. Di tengah situasi sulit saat ini, permintaan terhadap daging ayam memang jauh berkurang sehingga menimbulkan ketidakseimbangan dalam neraca unggas nasional.
Pemerintah meminta para pelaku usaha terutama perusahaan integrator melakukan pemangkasan produksi broiler melalui pengurangan setting telur tetas guna stabilisasi supply dan harga live birth (ayam hidup) di tingkat peternak.
Namun, Ketua Paguyuban Peternak Rakyat Nusantara (PPRN) Alvino Antonio menilai upaya pemangkasan produksi ayam melalui penundaan setting telur tetas hingga 50 persen sulit berjalan optimal disebabkan lemahnya pengawasan insitusi terkait. Bahkan dirinya masih ditawarkan bibit ayam yang semestinya tidak lagi bebas diperjual belikan
Anehnya kata Alvino, harga ayam live birth justru mengalami kenaikan dalam beberapa hari terakhir. Meski begitu dia tidak berani menyimpulkan apakah kenaikan harga ayam ini merupakan psikologis pasar sehubungan issue rencana demontrasi peternak mandiri.
“Harga ayam hidup di Jawa Barat semua ukuran naik Rp 2.000 per kilogram (kg) minimal. Hari ini, naik lagi minimal Rp 1.500 per kg.Saya tidak mau omong kenaikan harga ayam ini karena mau ada demo.Tapi kalau liat dari trend harga (dampak pemangkasan produksi red) seharusnya kenaikan tidak lompat seperti ini,” kata Alvino.
Kepala Subdirektorat II Satgas Pangan Kombes Pol Helfi Assegaf mengatakan perlu kesadaran dan kepentingan bersama pemerintah dalam memperbaiki nasib para peternak. Ia menilai, kerap kali dalam sistem pengawasam pengurangan pasokan terjadi miskomunikasi. Hal itu membuat laporan yang masuk tidak diperbarui. (Vin)