Banjarmasin, Koranpelita.com
Masyarakat patut bersyukur dan bergembira. Sebab, kini kejaksaan bisa memberikan kebebasan melalui penerapan “Restoratif Justice” bagi para terdakwa kasus tertentu, asalkan sesuai tingkat dan kadar perkara yang terjadi.
Seperti pada dua terdakwa kasus pidana umum yaitu Abdul Rahman alias Rahman terdakwa kasus penggelapan yang ditangani Polresta Banjarmasin. dan Ramadhani alias Dhani terduga kasus pencurian sepeda yang ditangani pihak Polsek Banjarmasin Utara.
Kedua terdakwa ini dibebaskan karena berkas perkaranya dihentikan ditingkat penuntutan oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Banjarmasin.
Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Banjarmasin,Tjakra Suyana Eka Putra SH MH, didampingi Kasi Pidum Deni Wicaksono SH MH, usai penyerahan surat penghentian penuntutan bagi terdakwa di kantor Kejari Banjarmasin, Selasa (6/10/2020) mengatakan, pihaknya menerapkan restoratif justice (Penghentian perkara ditingkat penuntutan) setelah melakukan koordinasi dengan para penyidik serta kedua belah pihak.
Penghentian perkara ditingkat penuntutan oleh Kejari Banjarmasin, sesuai dengan ketentuan Kejaksaan Agung No 15 tahun 2020, tentang Restoratif Justice.
Selain itu pihak Kejari Banjarmasin selaku Jaksa Penuntut Umum (JPU) juga telah melakukan koordinasi dengan pihak penyidik atau yang menangani perkaranya dari kepolisian.
“Sebelum restoratif justice ini diterapkan sebagaimana petunjuk dari Kejaksaan Agung, kita berkordinasi dulu dengan pihak penyidik, kemudian kedua belah pihak, korban dan para pelaku, serta masyarakat atau saksi,” ujar Tjakra.
Mantan Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Kalsel ini menjelaskan, penerapan “Restoratif Justice” itu tidaklah mudah, namun ada ketentuannya, diantaranya sudah ada perdamaian, korban memaafkan perbuatan terdakwa, adanya ganti rugi, dan kerugian yang ditimbulkan dari tindak pidana nilainya tidak lebih dari Rp2.500.000, serta perbuatan tindak pidana yang dilakukan terdakwa baru pertama kali.
“ Jadi semua ketentuan ini sesuai dengan kententuan Kejaksaan Agung No 15 Tahun 2020, tentang Restoratif Justice, kemudian kita terapkan di masyarakat,” jelas Tjakra Suyana Eka Putra SH MH.
Kasi Pidana Umum, Deni Wicaksono, menjelaskan, alternatif penyelesaian kasus hukum melalui “Restorative Justice” ini baru pertama kali diterapkan pada tahun 2020 ini.
Namun, pemberian kebijakan bagi terdakwa bisa dicabut kembali jika dari penyidik atau JPU menemukan alasan baru seperti adanya putusan perdata.
Kemudian, ada perkara pidana yang tidak dapat di hentikan penuntutannya, yaitu tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat Presiden dan wakil Presiden, negara sahabat, kepala negara sahabat dan wakilnya serta ketertiban umum dan susila.
Lalu, tindak pidana yang diancam dengan ancaman pidana minimal, tindak pidana narkotika, dan tindak pidana lingkungan hidup serta tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.
“Nah, penerapan Restorative Justice yang dilakukan pihak kejaksaan adalah upaya melakukan pembinaan kepada pelaku tindak pidana.
Sehingga ada alternatif penyelesaian hukum yang ringan bagi masyarakat tanpa harus kepengadilan maupun jeruji besi,” kata Deni.
Dalam penerapan Restoratif Justice ini imbuhnya, juga harus disesuaikan dengan tingkat kasus atau perkaranya.
Sedang Keadilan Restoratif yang baru diterbitkan Jaksa Agung pada Bulan Agustus 2020 ini adalah, cara penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, Korban, keluarga pelaku/Korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama- sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.(Ipik)