Tasikmalaya, Koranpelita.com
Para penggemar film kartun di tanah air mungkin ingat salah satu film jadul (zaman dulu) yang berjudul The Flintstones. Film ini merupakan serial animasi Amerika Serikat yang tayang tahun 1960 hingga 1966. Kartun besutan Hanna-Barbera Productions ini bercerita tentang kehidupan keluarga di zaman batu. Popularitas serial ini terutama disebabkan oleh kesamaannya dengan kejadian sehari-hari zaman modern yang digambarkan dalam seting zaman batu. The Flintstones merupakan film animasi yang paling berhasil secara finansial selama tiga dekade, sampai akhirnya mulai mmeredup seiring dengan munculnya serial The Simpsons.
“ Tapi masyarakat Indonesia, atau bahkan mungkin masyarakat dunia belum tahu bahwa The Real Flintstones ada di Kabupaten Tasikmalaya, tepatnya di kecamatan Karangnunggal, Desa Cibatu, Kampung Cintasari. Jika Amerika Serikat punya rumah batu hanya dalam film animasi, maka Indonesia memiliki rumah batu yang riil. Memang tidak dibuat zaman purbakala, tetapi spirit karyanya yang luar biasa diwujudkan oleh salah satu keluarga di Karangnunggal, Tasikmalaya ini. Itulah sebabnya kita patut berbangga dan berterima kasih ada sebuah karya yang sangat luar biasa dari Tasikmalaya “, ujar Ketua Umum Prawita Genppari Dede Farhan Aulawi yang disampaikan di Tasikmalaya, Sabtu (5/9).
Dede membawa Tim Khusus Travel Jurnalist untuk meliput, mendokumentasikan, mengenalkan dan mempromosikan karya tersebut. Tidak hanya buat masyarakat Indonesia semata, tetapi juga ke masyarakat Internasional. Tidak ada salahnya jika masyarakat dunia penggemar film animasi Flintstones tadi, berkunjunglah sesekali ke sini. Dijamin keindahan karyanya yang luar bisa mampu mengobati kerinduan pada zaman purbakala. Ungkap Dede.
Richard Leakey dalam Asal Usul Manusia menjelaskan, Australopithecus sebagai leluhur manusia, hidup dengan makan tumbuhan. Ini terlihat dari struktur giginya. Mahkota giginya tak lancip tetapi rata. Bentuk ini cocok untuk menggiling makanan. Lalu memasuki masa paleolitik, yaitu waktu manusia mulai menggunakan alat batu, mereka menggantungkan hidup pada hewan buruan. Demikian disampaikan Teuku Jacob pakar paleoantropologi ragawi Universitas Gadjah Mada dalam “Evolusi Makanan Manusia dari Paleonutrisi dan Paleoekonomi Menuju Gizi Futuristik”. Kemudian secara bertahap terjadi perubahan – perubahan yang ditandai dengan berkembangan jenis makanan yang dimakan manusia pada saat itu. Dimana mulai terjadi eksploitasi pantai dan laut. Berbagai jenis kerang dan ketam, ikan, dan udang mulai banyak dikonsumsi. Buktinya adalah tumpukan kulit kerang di beberapa situs yang luar biasa besar, seperti di Tamiang, Aceh. Lalu di Liang Toge, Flores ditemukan sisa-sisa kelelawar, tikus biasa dan tikus raksasa, monyet, landak, dan babi.
Adapun rumah batu di Cibatu – Karangnunggal dapat ditempuh sekitar 1,5 jam dari kota Tasikmalaya. Lokasinya berada di blok Gunung Cantigi kampung Cintasari, desa Cibatu kecamatan Karangnunggal. Rute dari Tasikmalaya arah Karangnunggal kemudian belok kiri masuk ke Cikukulu, Cibatuireng, kemudian masuk ke desa Cibatu, kampung Pasirpongpok, kemudian belok kanan melewati jalan kecil ke kampung Cintasari sekitar 1 km sampai lokasi. Patokan dari jalan raya Karangnunggal adalah lapangan bola Cikukulu yang disampingnya ada jalan kecil masuk kesana dengan jarak sekitar 9 Km menuju lokasi dengan trek 5 km hotmiks dan sisanya jalan berbatu yang masih bersahabat dengan kendaraan.
Rumah Batu ini berada di salah satu bukit yang berada di sebelah selatan kampung Cintasari, dan memiliki 3 bagian. Bagian pertama paling bawah adalah yang paling luas dengan panjang sekitar 12 meter dan tinggi sekitar 2 meter, memiliki ruang tamu, kamar mandi dengan terdapat bak, bekas warung, dapur, dan WC. Bagian kedua berada sebelah atas dari bangunan ini memiliki panjang sekitar 5 meter terdapat beberapa ruangan saja, dan bagian yang ketiga adalah bagian paling atas dari kedua bangunan ini terdapat sebuah bangunan berupa mushola.
“ Kondisi tempat ini sekarang sudah terbengkalai dan dibiarkan tidak terawat terbukti dengan banyaknya rumput liar disekitar bangunan, kemudian juga terdapat beberapa kelelawar di dalam bangunan, dan keadaan di dalam rumah batu tersebut sangat sepi, gelap, seperti di dalam goa dan juga sedikit mistis dan beberapa bagian bangunan sudah banyak yang rusak. Rumah Batu ini sebenarnya milik seorang warga yang bernama Bapak Aji. Namun kondisi saat ini memang tidak terawat karena berbagai faktor, salah satunya masalah pembiayaan untuk perawatan. Oleh karena itu, Prawita Genppari akan mendorong dengan promosi sebuah karya agar bisa membantu pembiayaan dalam perawatannya,“,l pungkasnya. (D)