Jakarta,Koranpelita com
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) tempat nasabah Pemegang Polis (PP) WanaArtha Life melakukan gugatan Class Action (CA) menunda persidangan.
Alasanya, pihak tergugat dari Kejaksaan dan PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) tidak hadir dan barang bukti belum cukup. Keputusan tersebut membuat ratusan nasabah kecewa berat.
Sejak pagi-pagi perwakilan PP dari penjuru wilayah di Jawa dan luar Jawa sudah hadir memadati Jalan Ampera Raya, tempat kantor PN Jakarta Selatan dengan optimisme Majelis Hakim akan memeriksa dokumen dan keabsyahan CR sebagai prinsipal dengan bukti KTP dan polis mewakili ribuan nasabah WanaArtha. Namun yang terjadi informasi dari kuasa hukum PP WanaArtha tidak sesuai dengan ekspektasi waktu sidang yang dimundurkan hingga jelang makan siang. Namun dengan kesabaran tinggi, PP WanaArtha setia dan sabar menunggu jadwal sidang perdana tersebut.
Saat sidang perdana tersebut digelar yang hanya memeriksa kelengkapan dokumen pihak-pihak berperkara Majelis Hakim meminta kelengkapan dari penggugat dan tergugat. Bahkan karena ada pihak yang digugat tidak hadir maka majelis memutuskan sidang berikutnya dijadwal hingga 5 Oktober 2020. Kontan saja palu hakim tersebut sangat mengecewakan puluhan ribu PP WanaArtha karena sidang yang dimolorkan hingga hampir dua bulan yang sejatinya bertentangan dengan asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Kemudahan berusaha (ease of doing business) dari para pencari keadilan di negeri ini masih seperti jauh panggang dari api. Manajemen waktu masih jadi persoalan pelik dan tak jelas ditunaikan dalam proses peradilan.
“Melihat waktu pemanggilan yang mencapai dua minggu, rasanya sangat lama. Tentu keputusan ini mengecewakan principal, karena menyangkut nasib nasabah yang sudah lama menderita karena adanya kasus ini,” kata pengacara nasabah WanaArtha, Ester Yusuf di PN Jaksel, Selasa (25/8/2020)..
Menurut Ester, Class Action yang dilakukan nasabah WanaArtha didasari dugaan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) berupa penyitaan Sub Rekening Efek (SRE) yang tidak sesuai dengan prosedur yang ditetapkan dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, khususnya pasal 38 s/d pasal 48 jo pasal 128 dan pasal 129, UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, pasal 59 dan Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian pasal 21.
“Tergugat Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bidang Pasar Modal yang merekomendasikan pemblokiran dan penyitaan kepada Kejaksaan Agung dan PT. Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) yang mengadministrasikan dan melakukan pencatatan transaksi efek di pasar sekunder, ” jelasnya.
Menurut Ester, jumlah kerugian yang dialami nasabah WanaArtha atas pembekuan rekening WanaArtha Life mencapai triliunan rupiah, namun ia tidak bisa menyebutkan karena ada dalam materi gugatan.
“Kalau ditanya berapa jumlah nasabah yang mengalami kerugian jumlahnya mencapai ribuan, namun yang melakukan class action hanya 15 nasabah, karena sebagai perwakilan saja. Yang menjadi tergugat banyak pihak, dua diantaranya Kejaksaan Agung dan OJK,” ujarnya
Ester berharap pengadilan dapat menjalankan sidang ini secepat-cepatnya agar nasabah WanaArtha mendapatkan kepastian hukum.
“Sudah 7 bulan mereka hidup menderita karena tidak ada lagi pemasukan dari hak-hak nilai manfaat maupun saat polis mereka jatuh tempo nilai pokok berikut nilai manfaatnya semuanya tidak bisa dibayarkan sesuai kewajiban WanaArtha kepada nasabah karena disita rekeningnya oleh Kejaksaan,” ucapnya.
Ester menegaskan bahwa nasabah hanya ingin Majelis Hakim PN Jaksel menyatakan bahwa para pihak yang melakukan penyitaan rekening bank pada WanaArtha bersalah, kemudian sita dicabut, dan kerugian secara materil maupun imateril dibayarkan.”Tentu itu yang menjadi harapan nasabah dalam melakukan gugatan Class Action,” tegay6snya.
Sementara itu, perwakilan nasabah Wanaartha, Wahjudi menjelaskan, jumlah anggota kelompok PP WanaArtha sedemikian banyak sehingga tidak efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu gugatan. Sebab, terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum yang digunakan yang bersifat substansial, serta terdapat kesamaan jenis tuntutan diantara wakil kelompok dengan anggota kelompoknya.
“Jadi yang melakukan gugatan cukup para perwakilan saja,” tuturnya.
Wahjudi menegaskan, nasabah WanaArtha Life sangat meyakini majelis hakim yang ditunjuk untuk memeriksa, mengadili, dan memutus gugatan perwakilan kelompok akan mengabulkan atau mengeluarkan penetapan penggunaan prosedur gugatan perwakilan kelompok, karena gugatan perwakilan kelompok yang telah didaftarkan tersebut memenuhi semua kriteria yang dipersyaratkan. “Kami yakin hakim akan mengabulkan seluruh petitum dalam gugatan perwakilan kelompok, dengan didasari oleh alasan-alasan hukum,” harapnya.
Penundaan sidang dengan alasan diperlukan waktu bagi pengadilan untuk memanggil para pihak yang tidak hadir untuk kedua kalinya secara patut dengan menunda selama hingga 1.5 bulan sampai dengan tanggal 5 Oktober 2020 dirasakan oleh Pemegang Polis adalah sesuatu yang berlebihan dan sangat janggal serta tidak sesuai dengan asas peradilan yang diamanatkan dalam pasal 2 ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu asas sederhana,cepat dan biaya ringan. (Frns)