*Pemuda Ujung Tombak Kemerdekaan Indonesia (4)* :
Oleh Dasman Djamaluddin
Bangsa Indonesia tahun 2020 ini genap berusia 75 tahun, berarti menjelang satu abad. Rasa syukur sudah tentu kita panjatkan kepada pencipta alam dan segala isinya ini. Oleh karena itu, tidaklah keliru jika di pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, para pendiri negara mencantumkan kalimat: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”
Berbicara tentang pemuda-pemudi generasi 1945, biasanya hanya berbicara tentang pemudanya. Jarang kita dengar tentang tokoh perempuannya.
Apakah tokoh pemudanya lebih banyak berperan dibandingkan perempuannya di masa-masa perjuangan itu ?
Jika peranan laki-laki di awal kemerdekaan, dapatlah kita kutip pernyataan Duta Besar Amerikat Serikat di Jakarta, saat peralihan kekuasaan dari Bung Karno kepada Jenderal TNI Soeharto. Ia adalah Howard Palfrey Jones.
Howard Palfrey Jones, lahir 2 Januari 1899 dan meninggal dunia pada bulan September 1973. Ia adalah diplomat Amerika Serikat yang meniti kariernya fokus untuk menguasai bidang Asia Tenggara dan Asia Timur. Itu sebabnya antara bulan Maret 1958 hingga April 1965, Jones dipercaya menjadi Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia. Selama di Indonesia, ia dikenal sangat akrab dengan Presiden Soekarno. Apalagi saat-saat kejatuhan Presiden RI pertama tersebut.
Di dalam bukunya berjudul: “Indonesia, the Possible Dream,” diterbitkan di bawah pengawasan Yayasan Harvard, tahun 1971, halaman 96, Jones menyebut:
” Kata pemuda berarti youth, namun sebagai biasanya dipakai pada waktu itu, ia berarti pemuda revolusioner, militan dan terorganisasi baik, yang menjadi penggunting segi-segi tajam gerakan revolusioner. Kelompok yang serupa itu di antaranya terdiri dari Chairul Saleh, Adam Malik, Soekarni, B.M. Diah dan banyak yang lain, yang nama-namanya suatu hari akan membuat sejarah Indonesia adalah yang terkemuka- kemudian menjadi terkenal sebagai generasi 45- dan lebih satu dasa warsa melaksanakan pengaruh yang luar biasa).
Ada nama pemuda Burhanudin Mohamad (B.M) Diah yang ditulis Jones. Pernyataan Jones ini, sepertinya menggugah generasi muda Arkamaya Universitas Brawijaya, Malang untuk melakukan penelitian ke Jakarta. Kali ini yang diteliti adalah isteri B.M. Diah itu sendiri, yaitu tokoh pers perempuan Indonesia, Herawati Diah.
Adalah Denia Purnamayanti (2018), mahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Brawijaya, Malang, yang tertarik meneliti tokoh pers Herawati Diah tersebut.
Untuk menambah wawasannya, Denia Purnamayanti bergabung di Arkamaya, sebuah kelompok penelitian dengan metode performance research, yang juga menjadi sarana dalam memperkenalkan tokoh pers perempuan Herawati
Diah dengan sikap kritis dan nasionalis yang dimilikinya dalam sebuah konsep seni untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan pemaknaan terhadap tokoh pers perempuan Indonesia, Herawati Diah itu.
Penelitian ini, menurut Denia Purnamayanti, berangkat dari kurangnya minat masyarakat terhadap sejarah tokoh pers Indonesia, terutama tokoh pers perempuan. Tidak banyak masyarakat mengenal para tokoh pers yang memiliki jasa dalam menggerakkan roda demokrasi melalui perjuangan dengan pena.
Di sisi lain, ujar Denia Purnamayanti, sejarah sangat penting untuk
diketahui masyarakat, karena sejarah dapat digunakan sebagai pedoman
dalam memahami kondisi kontemporer. Juga sejarah menunjukkan pembentukan nilai, kepercayaan, praktik, etik serta peristiwa masa lalu untuk memahami kondisi sekarang.
Penelitian Denia Purnamayanti ini,
mencoba untuk mengenalkan tokoh pers
Indonesia, bagaimana perjuangan dan jasanya di bidang pers Indonesia dalam
paradigma penelitian kritis dan tokoh pers Indonesia yang dibahas dalam penelitian ini adalah Herawati Diah.
Memang sangat disayangkan, ketokohan dan kepeloporan Herawati Diah sebagai bagian dari sejarah pers Indonesia ini, tidak banyak mendapatkan perhatian dari masyarakat.
Oleh karena itu, penelitian ini, ujar Denia Purnamayanti, berusaha menjawab pertanyaan penelitian tentang bagaimana mengenalkan tokoh pers Herawati Diah dan kiprahnya dalam pers Indonesia menggunakan perspektif “communication history” untuk melihat bahwa penelitian mengenai tokoh pers menjadi bagian dari sejarah komunikasi melalui studi jurnalisme.
Metode penelitian yang digunakan Denia Purnamayanti dalam penelitian ini adalah “metode performance research” dengan menggunakan data naratif.
Hasil analisis data menemukan bahwa; (1) kiprah Herawati Diah dalam
sejarah pers Indonesia tidak dikenal oleh masyarakat; (2) belajar sejarah melalui seni dan merupakan cara belajar yang menyenangkan; (3) Mengetahui tokoh pers merupakan hal yang penting untuk dipelajari oleh masyarakat. Analisis data juga menemukan bahwa pemikiran Herawati Diah dan kecintaannya terhadap dunia jurnalistik dipengaruhi oleh lingkungan keluarga dan latar belakang pendidikannya di Amerika.
_Herawati Diah_
Mengapa Herawati menjadi topik penelitian? Menurut Denia Purnamayanti, karena, selain Herawati sendiri menaruh perhatian kepada isu-isu perempuan, juga menaruh perhatian kepada kebudayaan Indonesia. Sebagai contoh surat kabar berbahasa Inggris “The Indonesian Observer,” yang memiliki misi mengangkat nama Indonesia dalam dunia internasional, selain memberitakan pandangan negara Asia – Afrika mengenai kondisi politik pada saat itu.
Melalui “The Indonesian Observer,” inilah Herawati Diah mengkampanyekan
kebudayaan Indonesia di samping selain itu, “The Indonesian Observer” juga memiliki ciri khas disetiap terbitannya, yakni menanggapi peristiwa yang hangat melalui kartun.
Kartun yang ditulis di “The Indonesian Observer” banyak mendapatkan teguran dari pemerintah Orde Baru, salah satunya kartun yang digambar oleh Harmoko berjudul “Chee and Chuck”. Kartun kedua yang mendapatkan perhatian pemerintah, juga kartun yang dibuat Harmoko pada tahun 1964 yang
menggambarkan peristiwa pemberontakan PKI 1965 (Diah, 2005).
Tokoh pers Indonesia, Herawati Diah patut dikenal oleh generasi penerus bangsa. Ia lahir di Tanjung Pandan, Belitung, 3 April 1917. Meninggal dunia tanggal 30 September 2014 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. (Penulis wartawan senior tinggal di Jakarta)