Gempuran Moralitas Dan Profesionalitas Kasus Joko Candra

Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH

Menjadi pemikiran, bagaimana para pejabat tinggi, bertabur bintang bisa tergoda dalam pelarian Djoko Tjandra, kendatipun pada akhirnya dan akhirnya tertangkap. Kasus yang menggemparkan jagat penegakan hukum tanah air ini jawabnya ada dua. Pertama secara moral (moral hazard), dan kedua secara professional, atau profesionalitas.

Keduanya saling berhubungan sehingga menyebabkan buron itu puluhan tahun berkeliaran, menjadi warga negara Papua Nugini dan bahkan bisa menjadi raja properti di negeri jiran, Malaysia.

Pelajaran berharga yang kemudian harus menjadi pengingat khususnya untuk siapa yang sedang memegang kuasa. Hendaknya selalu mewaspadai untuk menghadapi godaan. Senantiasa bepegang kepada kebersihan moral dan bertindak profesional. Jika teledor, sungguh fatal akibatnya. Bisa dijatuhi sanksi baik administratif maupun sanksi lain yang menyebabkan berakhirnya profesi, yang merupakan sejarah pahit dan kelam dalam kehidupan.

Moral Hazard
​Pada dasarnya moral hazard berhubungan dengan sisi kekuatan moral untuk menghadapi berbagai godaan yang bertentangan dengan profesinya. Moralitas diuji Ketika dalam pelaksanaan profesi tiba tiba muncul godaan. Dalam Bahasa hubungan bisnis, misalnya direkonstruksikan dengan terjadinya transaksi. Ketika salah satu pihak dalam transaksi, dalam kaitan ini adalah pemegang kekuasaan dan otoritas kebijakan memiliki peluang untuk menanggung risiko tambahan yang berdampak negatif pada dirinya. Keputusan ini didasarkan bukan pada apa yang dianggap benar, tetapi apa yang memberikan tingkat manfaat tertinggi, karenanya merujuk pada moralitas dan prospek yang besifat materi.

​Pada sisi moralitas, moral hazard berarti ‘jebakan moral’, yang bermakna the hazard arising form the uncertainty or honesty of the insured’, jadi moral hazard dipakai sebagai istilah untuk perilaku yang bersifat ketidak jujuran atau kejahatan. Terjadi di berbagai lini, dan menimpa subyek hukum yang kecil atau besar, berpangkat tinggi atau berpangkat rendah, yang memegang atau mempunyai kekuasaan untuk melakukan sesuatu.

Pelajaran yang berdimensi moral hazard pada kasus Joko Candra, secara makro atau dalam dimensi kekuasaan pejabat penegak hukum Indonesia bisa diibaratkan seperti drama sinetron yang bersambung, berseri tidak bisa berhenti. Berbagai persoalan bangsa Indonesia yang berkaitan dengan kejahatan tindak pidana luar biasa (extraordinary crime) yang sifatnya merugikan keuangan negara, termasuk perilaku aneh yang juga mendegradasi kualitas moral masih terus terjadi, contoh konkret tentang moral hazard ini.

Fenomena yang menyedihkan dan memprihatinkan inilah yang kemudian menyangkut dan berhubungan dengan moral hazard. Tidak saja dalam makna yang khusus yaitu menimpa para pemegang kuasa dan penegak hukum. yang dilakukan oleh para panyelenggara negara, lebih dari itu, juga kemudian merambat kepada perilaku yang direfleksikan oleh masyarakat. Refleksi dimaksud tecermin pada perilaku beringas, cenderung menggunakan kekerasan dan berpikir negatif thinking.

Profesionalitas
​Profesionalitas secara sederhana adalah perilaku profesional. Perilaku dari pemegang kekuasaan dalam hal ini penegak hukum yang sesuai dengan standar operasional prosedur, dan standar moralitas. Untuk standar operasional prosedur sudah jelas, terbakukan dalam peraturan perundang undangan. Untuk standar moral ini yang kemudian menjadi masalah ketika berhadapan dengan berbagai godaan.

Kegagalan mengelola godaan yang menyebabkan menyimpangnya standar prosedur operasional ini yang menyebabkan pribadi penegak hukum atau penguasa menjadi tidak profesional.
​Profesionalitas adalah sebutan terhadap kualitas sikap para anggota suatu profesi terhadap profesinya serta derajat pengetahuan dan keahlian yang mereka miliki untuk melakukan tugas-tugasnya. Berbeda dengan pengertian profesionalisme yang merupakan sebutan yang mengacu pada sikap mental dalam bentuk komitmen dari para anggota suatu profesi untuk senantiasa mewujudkan dan meningkatkan kualitas keprofesionalannya.

Dengan demikian profesionalitas lebih menggambarkan suatu keadaan derajat keprofesian seseorang dilihat dari sikap, pengetahuan, dan keahlian yang diperlukan untuk melaksanakan tugas.
Profesionalitas dapat dipandang sebagai suatu paham tentang komunikasi pengetahuan yang langsung terwujud dalam pengalaman individu atau kelompok, yang kemudian dibuktikan dengan ketahanan dan jalan keluar yang baik dan smart Ketika menghadapi godaan dalam tugasnya. Ketahanan ini dibuktikan dengan tidak dilanggarnya moral hazard dalam kinerja kekuasannya. Kekuatan motivasi untuk mengorientasikan tugas semata untuk tugas, dan tidak untuk pribadi menjadi ukuran yang secara moral dipertanggungjawabkan kepada tugas pengabdiannya.

Profesionalitas bukanlah suatu konsep yang sederhana sebab merupakan bagian dari hubungan dengan masyarakat, sehingga pelaksanaan akan membawa perubahan langsung, pada pengelolaan manajemen individual yang baik dan benar, yang akan berarti juga merupakan suatu masalah yang sangat serius untuk pengelolaan karier seorang penegak hukum atau pemegang kuasa.

Profesionalitas mengacu pada sikap profesional para pemegang kekuasaan. Didasari oleh derajat pengetahuan dan keahlian yang mereka miliki dalam rangka melakukan pekerjaannya.
Pada kasus Joko Candra, jelas sekali bahwa profesionalitas tidak ditegakkan sebagaimana mestinya. Profesionalitas yang harusnya dijadikian dasar kinerja tidak dijadikan sebagai penguat dan motivasi. Justru yang mengemuka adalah upaya mencari legitimasi untuk mendukung dan memberi label moralitas yang tak cacat dalam pengambilan kebijakan. Hal yang tentu saja mengkhawatirkan, apa lagi dilaksanakan olkeh pelaksana yang berpengaruh besar dan luas terhadap masyarakat.

Jabatan tinggi dan taburan bintang yang diusandang ternyata berjalan seiring dengan beratnya godaan yang datang. Artinya semakin tinggi kedudukan, dan semakin gemerlap bintang yang disandang juga semakin berat pula tingkat godaan profesionalitas yang kemudian harus dihadapi. Harga yang dibayar, Ketika profesionalitas dilanggar, yang berarti tidak profesional juga sangat berat.

Kendatipun dalam Bahasa samar dan klise, maka kepada siapa saja yang merasa memegang kekuasaan harus professional. Senantiasa berpegang kepada profesi dan menghindari diri dari berbagai godaan yang bersifat moral hazard menjadi kuncinya. Jangan tergoda dan harus kuat menghadapi gempuran moralitas kekuatan ini sangat dibutuhkan tidak saja sebagai benteng moral diri, tetapi juga berimplikasi kepada kekuatan moral masyarakat dalam menghadapi berbagai godaan dan tantangan kehidupan. (Penulis Notaris tinggal di Sampit)

About redaksi

Check Also

Inovasi Ketahanan Pangan Kota Semarang Kembali Raih Penghargaan Tingkat Nasional

Semarang,KORANPELITA com – Inovasi Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang di bidang ketahanan pangan kembali mendapatkan apresiasi …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap selesaikan captcha sekali lagi.

Eksplorasi konten lain dari www.koranpelita.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca