Oleh Karelius, S.Si, M.Sc
Peningkatan jumlah penduduk setiap tahunnya membuat peningkatan akan energi terus bertambah terutama energi listrik. Masih tergantungnya energi berbahan baku fosil perlu mendapat perhatian khusus selain tidak berkelanjutan bahan baku tersebut juga dapat meningkatkan konstentrasi gas rumah kaca secara pesat. Biomasa merupakan salah satu energi terbarukan yang sangat potensial dan saat ini dapat menggantikan bahan bakar fosil seperti batubara dan juga disel. Pemanfaatan biomassa sebagai sumber energi sangatlah penting, terutama hasil sampingan dari kehutanan, perkebunan dan peternakan.
Berdasarkan deklarasi Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) pada Climate Change Synthesis Report terindikasi 25% gas rumah kaca berasal dari industri listrik dan panas dimana 40% berasal dari industri batubara. Pembangkit listrik berbahan baku batu bara menjadi penyumbang terbesar emisi gas CO2 (karbon dioksida) ke atmosfer yakni sebesar 70%. Selain gas CO2 batu bara juga mengemisikan gas lain yang juga berbahaya bagi lingkungan antara lain CO (karbon monoksida), HC (hidro karbon) dan NOx (nitrogen oksida) serta particulate matter (PM) yang dapat mengganggu kesehatan manusia secara langsung.
Selain itu, ketika batubara menipis atau habis, dimana akan terjadi pengurangan dalam suplai energi listrik serta banyaknya pengangguran. Cadangan batubara di Indonesia diperkirakan sebesar 26.2 milyar ton, jika tidak ditemukan cadangan baru maka umur cadangan batubara tersebut masih 56 tahun (ESDM 2019). Dengan kondisi tersebut, bahan baku potensial yang ramah lingkungan dan berkelanjutan serta dapat terintegrasi dengan PLTU adalah biomassa. Dibandingkan dengan energi ramah lingkungan lainnya seperti sel surya dan angin, biomassa memiliki keunggulan dalam kestabilan dan dapat dikontrol sesuai dengan kebutuhan. Dari segi lingkungan, emisi CO2 yang dilepaskan ketika proses pembakaran sesuai dengan jumlah serapan oleh tumbuhan, bahkan dapat bernilai negatif jika menggunakan pengikat karbon sebelum dilepaskan ke atmosfer.
Salah satu daerah yang memiliki potensi biomassa besar adalah Provinsi Kalimantan Tengah di Pulau Kalimantan bagian Indoensia. Luas wilayah Provinsi Kalimantan Tengah yaitu 153.564 km2 atau 15.356.400 hektar (ha) dengan jumlah penduduk yang terbagi di 14 kabupaten dan kota sebanyak 2.660.209 jiwa (BPS, 2019). Dengan wilayah yang luas dan penduduk yang tidak rapat potensi berupa hasil sampingan perkebunan dan kehutanan sangatlah besar. Perkebunan di Provinsi Kalimantan Tengah didominasi oleh perkebunan kelapa sawit dan marupakan salah satu produsen terbesar kelapa sawit di Indonesia.
Produksi kelapa sawit di Kalimantan Tengah terus meningkat setiap tahunnya, menurut data Badan Pusat Statistik produksi sawit sebersar 2,9 juta ton menjadi 6 juta ton pada tahun 2018 dengan luas areal dari 1 juta hektar tahun 2012 menjadi 1,5 juta hektar pada tahun 2018. Limbah yang dihasilkan dari industri minyak sawit antara lain tandan kosong (23%), serat mesokarp (12%) dan cangkang kelapa sawit (5%) dari setiap ton tandan buah segar.
Dengan nilai kalori yang lebih tinggi dibandingkan limbah padat lainnya, cangkang sawit sangat potensial untuk dijadikan sebagai bahan bakar dengan melalui proses termokimia untuk meningkatkan kulaitasnya sebagai bahan bakar.
Salah satu proses termokimia adalah torrefaksi yang merupakan perlakuan awal dalam untuk membuat biomassa menjadi bahan bakar yang memiliki sifat lebih baik, seperti peningkatan nilai kalor dan kadar karbon.
Torrefaksi umumnya dilakukan pada rentang suhu 200-300 oC dengan penahanan suhu 30-60 menit di kondisi inert nitrogen dan tekanan sesuai atmosfer lingkungan. Torrefaksi merupakan proses pirolisa ringan yang secara termokimia mengubah struktur biomassa dengan menghilangkan kelembaban dan zat volatil. Perbedaan torrefaksi dan pirolisis adalah pada suhu yang digunakan, dimana proses pirolisis menggunakan suhu lebih tinggi yang mengakibatkan penguapan total pada material yang dapat diuapkan.
Perubahan sifat biomassa setelah proses torrefaksi seperti peningkatan nilai kalor, grindability dan sifat hidrofobik membuat biomass ini sangat potensial sebagai sumber energi terbarukan (Penulis Dosen Prodi Kimia FMIPA Universitas Palangka Raya)