Tanggapan dari Putra Bungsu Buya Hamka

Mengenang Kepergian Buya Hamka (5)

Oleh Dasman Djamaluddin

Bulan Juli ini, Buya Hamka meninggal dunia di usia 73 tahun. Tepatnya tanggal 24 Juli 1981 di Jakarta. Diberitakan ia gagal organ multipel. Sangatlah tepat jika figur Buya Hamka memberikan contoh kepada generasi muda.

Melalui Muhammad Nazi, saya menerima caratan dari Amir Syakib, putra bungsu Buya Hamka. Catatan itu bertanggal 21 Juli 2020. Isi catatan tersebut:

“Amir Syakib: Jangan lupa….cerita di buku dengan di film berbeda… bagaimana menggambarkan secara visual adegan cerita dalam buku dan film… Apalagi film itu dirilis abad moderen sekarang, dan skenario pun akan menjadikan adegan secara visual yang seprrti itu… Beda cerita dengan film yang dibuat diabad modern….”

Saya merasa bersyukur sekali, bahwa tulisan saya dibaca putra dan putri Buya Hamka. Jika melihat foto di atas, memang putra putri Buya Hamka sekarang hanya tinggal empat orang dari 10 bersaudara. Enam saudara saudari anak Buya Hamka telah meninggal dunia.

Melihat foto di atas, dari kiri adalah Afif Hamka, Azizah Hamka, Fathiyah Hamka (usia 73 tahun) dan Syakib Arselan Hamka atau Amir Syakib (ia mengatakan putra bungsu Buya Hamka).

Saya juga menemukan foto lama, terlihat Syakib yang paling kiri, Azizah, Istri Buya Hamka Sitti Khadijah, Fathiyah Hamka -Vickri (pakai baju merah) dan paling kanan sekali Syakib Arselan Hamka.

Berbicara tentang istri Buya Hamka, setelah istri pertamanya meninggal dunia, beliau menikah lagi. Dalam catatan wikipedia, sebagaimana cerita Nabi Muhammad SAW, Hamka menikah setelah istri pertamanya meninggal dunia yaitu Sitti Raham (1929-1972). Kemudian setelah istri pertama Buya Hamka meninggal dunia, maka pada tahun 1973 hingga meninggalnya Buya pada 24 April 1981, Buya Hamka menikah dengan Hajjah Siti Khadidjah.

Kembali kepada film Hamka, saya mungkin terlalu menggemari film Sophan Sophiaan dan Widyawati. Karena tidak butuh waktu lama, satu tahun semenjak film “Pengantin Remaja” diliris, Sophan dan Widyawati menikah pada tanggal 9 Juli 1972 di Masjid Al-Azhar. Ini sebenarnya inti tulisan saya terdahulu, agar para pemain film yang memerankan tokoh ulama, bisa hendaknya seperti bintang-bintang filim Sophan Siphiaan dan Widyawati, sehingga jika harus menokohkan sebuah film percintaan, mereka sudah suami isteri di dunia nyata.

Perlu juga dipahami Buya Hamka itu milik ummat Islam Indonesia. Selain sebagai pendakwah, ia juga pernah menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI).Tokoh ulama kharismatik yang dipercaya sebagaiKetua Umum MUI pertama di Indonesia pada tahun 1975.

Tetapi kemudian Buya Hamka mengundurkan diri dari Ketua Umum MUI. Karena Menteri Agama menekan Buya Hamka untuk menarik fatwanya, maka Buya Hamka memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua Umum MUI  19 Mei 1981.

Di harian “Republika, ” 23 Desember 2014, Putra mantan Ketua Umum MUI, Buya Hamka, Irfan Hamka membantah ayahnya melarang mengucapkan selamat hari Natal kepada kaum Kristiani. Irfan mengatakan, dalam fatwa yang dikeluarkan Buya pada 1981, isinya bukan pelarangan mengucapkan selamat Natal atau mengharamkannya.

Tapi, kata dia, yang diharamkan Buya adalah mengikuti ibadah Natal. Dia menjelaskan, maksud ayahnya tersebut, umat Islam dilarang mengikuti ibadah umat yang merayakan Natal, seperti menyanyi di gereja, membakar lilin atau apapun yang termasuk ibadah pada hari Natal.

Dia mengisahkan, ayahnya dulu juga pernah mengucapkan selamat Natal bagi penganut Kristen. Dulu saat tinggal di Kebayoran Baru, ungkap dia, ada dua orang tetangga yang merupakan Kristiani. Nama kedua orang itu adalah Ong Liong Sikh dan Reneker.

Saat ayahnya merayakan Idul Fitri, keduanya memberikan ucapan selamat kepada Buya. Begitu pun sebaliknya Buya juga mengucapkan selamat kepada kedua tetangganya tersebut. “Selamat, telah merayakan Natal kalian,” kata Irfan saat menirukan ucapan ayahnya kepada Republika, Selasa, 23 Desember 2014.

Ulama penulis novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck tersebut mengegaskan, dalam kata ‘Natal kalian’ untuk membatasi akidah. Pasalnya, dalam Alquran dijelaskan ‘Bagimu Agamamu, Bagiku Agamaku’. Bahkan, lanjut Irfan, Buya juga pernah meminta istrinya untuk memberikan rendang kepada tetangganya. Tapi, rendang tersebut diberikan bukan saat malam Natal, melainkan tahun baru masehi.

Irfan Hamka telah meninggal dunia pada 11 Juli 2015, di usia 71 tahun, tidak lama setelah pernyataannya di atas. Ia lahir di Medan, 24 Desember 1943. Ia adalah seorang wartawan dan penulis Indonesia. Irfan merupakan mantan aktivis ’66 yang tergabung dalam Laskar Ampera, sebuah perhimpunan mahasiswa yang giat menuntut reformasi sosial politik pada tahun 1960-an.

Irfan menegaskan tidak masalah mengucapkan selamat Natal, asalkan disertakan kata kalian atau bagi kaum Kristiani. Sebab, kata tersebut yang membedakan antara aqidah masing-masing agama. Dia juga meminta umat Islam untuk tidak mengucapkan selamat kepada umat Kristen sebelum umat tersebut merayakan ibadahnya. Karena, menurut Irfan, kata selamat diucapkan setelah peristiwa itu terjadi. (Penulis wartawan senior tinggal di Jakarta)

About redaksi

Check Also

Inovasi Ketahanan Pangan Kota Semarang Kembali Raih Penghargaan Tingkat Nasional

Semarang,KORANPELITA com – Inovasi Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang di bidang ketahanan pangan kembali mendapatkan apresiasi …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap selesaikan captcha sekali lagi.

Eksplorasi konten lain dari www.koranpelita.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca