Oleh: Anang A Yaqin
Apakah aku bersamaMU saat aku datang dan pulang? Dimanakah aku dalam kehendakMU ketika aku melalui setiap tikungan dan persimpangan di jalan terjal alam raya ini? Yang aku tahu ada jejakMU mewujud dalam kemurnian pencarian hakikat. Di lorong yang gelap dimana bathin terperangkap rasa was-was dengan nalar buntu, aku esensial dan aku eksistensial bersatu bermodalkan cinta. Maka aku dan Engkau sejati tersatukan dalam kekuatan cinta kasih abadi. (Jasinga, 2020)
Pasca Sigmund Freud (1856), psikologi mengalami perubahan paradigmatik dalam menempatkan ilmu psikologi sebagai pijakan analisa atas prilaku individu secara eksistensial. Penekanan pada aspek alam bawah sadar dan dorongan yang bersifat primitif manusia yang menentukan tindakan seseorang oleh Freud banyak mendapatkan bantahan secara substansial manakala diperhadapkan dengan keadaan kesadaran eksistesial yang muncul atas keinginan-keinginan pemenuhan kebutuhan ruhani. Ketidaksadaran semu, sebagai akumulasi dari pergumulan keseharian tidak bisa bertahan dalam gugatan para pengusung kekuatan dimensi spritualitas yang hadir secara inheren dengan kekuatan panji bendera cinta kasih. Manusia, tidak melulu pada pergumulan alam bawah sadar dan dorongan primitif seperti hasrat seksual. Manusia utuh multidimensi sebagai kumpulan energi yang terkait dengan tujuan-tujuan kehadiran di alam raya.
Penolakan Freud terhadap kehadiran aku ruhani, pada periode awal, terbantahkan dengan pembuktian kehadiran sejarah kontinyuitas kehadiran agama-agama besar baik yang monotheist maupun polytheist. Agama dalam pengertian non institusional, adalah bagian dari proses pencarian aku ruhani atas masalah-masalah kesejatian manusia. Agama pada dasarnya adalah jawaban atas masalah pencarian aku hakikat. Aku di lorong yang tidak pasti, dalam sesak oleh desakan nafas kehidupan dunia permisif, dan lelah oleh ancaman keterpurukan ragawi, mencari jawaban-jawaban instingtif yang bermuara pada penyerahan diri atas kekuatan energi tak terbantahkan dalam fenomena jagat raya. Alam bawah sadar tidak mampu memberikan jawaban komprehensif atas keterdesakan manusiawi seperti ini.
Bantahan terhadap Freud kemudian melahirkan Psikologi humanistik yang berusaha mendekati prilaku manunsia secara lebih utuh. Abraham Maslow (1908) menjadi pelopor utama dalam soal ini. Manusia tidak saja secara wujud badag, tapi pada wujud alus yang sesungguhnya memang memiliki karakter dan ciri berbeda dengan mahkluk penghuni bumi secara umum. Erich Fromm (1900), menawarkan konsep cinta kasih sebagai pijakan yang menjadi dasar pencarian hakikat kemanusiaan. Aku berbuat karena ada kebersamaan dalam diri kita yang hakiki yang disatukan oleh keinginan-keinginan bersama. Kita menjadi menjadi hakiki karena kita memiliki ikatan dan rasa yang sama. Aku eksistensial adalah kita dalam perasaan yang sama. Maka, kemanusiaan mendapatkan kekuatannya untuk berbuat dan meneruskan aku hakikinya.
Kita dalam perspektif Fromm, adalah keadaan pengakuan atas rasa bersama membentuk pengakuan bersama. Keadaan ini memiliki kekuatan yang besar untuk membentuk tindakan pada masing-masing personalnya. Kita bukan aku. Kita miliki energi untuk mewujudkan diri pada masing-masing. Dalam kita ada ikatan yang tak kasat tapi mengikat, menghadirkan komitmen dan rasa aman. Cinta adalah proses menjadi dan memiliki. Begitu kata Erich Fromm.
Aku ruhani dalam Lanskap monotheis
Pergolakan ruhani akan muncul pada setiap menusia dengan tingkatan yang berbeda-beda. Freud memotret ini sebagai cikal bakal adanya penumpukan alam bawah sadar seseorang yang pada akhirnya membentuk dunia batin seseorang. Sebagai seorang atheist, Freud tidak menangkap proses keterasingan dan kesadaran akan fenomena kekaguman seseorang pada kehadiran alam raya yang luar biasa. Tidak juga menangkap akan hadirnya kesenangan akan keindahan cita rasa sebagai kelanjutan atas kekaguman terhadap situasi-situasi kealaman seperti yang menjadi pijakan dasar kalangan behavioral dalam melihat motivasi tindakan individu.
Dunia ruhani akan membutuhkan asupan berbentuk keindahan, rasa aman, janji kebahagiaan dan ketentraman. Dunia ruhani bergerak dalam ruang tak terbatas atau terkungkung oleh raga badag atau jagat kasat. Pergerakan dunia ruhani seseorang ada pada kemampuannya berimajinasi, berpikir tentang harapan-harapan dan pembentukan dunia non-material. Keadaan yang sesungguhnya dominan hadir pada diri seseorang. Nampak seolah-olah citra eksternal sangat menentukan dunia ruhani. Dan ini yang jadi patokan kalangan psikolog behavioral dalam melihat seseorang. Padahal, yang terjadi adalah adanya proses interaksi dialektis antara kedalaman yang terbentuk secara alamiah dalam diri seseorang dengan keadaan eksternal. Maka, kalangan psikolog humanistik berusaha memadukan keduanya secara komprehensif, sehingga dapat menganalisa prilaku individu.
Lepas dari perdebatan masing-masing mazhab psikologi, potret aku eksistensial sesungguhnya telah secara proporsional ditempatkan oleh agama. Agama sejauh ini telah mampu memberikan tempat, pisau analisis sekaligus juga jawaban atas kebutuhan asupan ruhani seseorang. Kalangan monotheist (islam) menjelaskan tentang aku ruhani sekaligus memberi jawaban atas kebutuhan asupannya pada tingkatan pada tingkatan yang berbeda-beda tergantung pada kemampuan seseorang memberi tafsir atas teks suci agama. Betapapun ada tafsir standar (umum) atas teks, sesungguhnya terdapat ruang untuk seseorang memberikan penafsiran sendiri, sehingga individu tersebut menemukan jawaban dan memupuk keyakinannya. Pelajaran, pengalaman dan harapan dalam beragama, membentuk aku ruhani dan mencari asupan-asupan dengan berbagai jalan. Pada tingkatan tertentu, para pencari asupan ruhani mengambil jalan sufisme untuk menyentuh dunia makrifat, melampaui dunia nalar yang hanya bisa sampai pada aku hakikat.
Aku hakikat atau aku makrifat adalah proses pemenuhan asupan ruhani. Tercapainya pemenuhan aku ruhani ini, sejatinya adalah proses puncak aku eksistensial seorang manusia. Seseorang mampu mengenali dirinya, mengenali kebutuhan ragawi dan bathiniyahnya, sehingga kehadiran di jagat adalah kenyataan atas pengakuan jati diri. Upaya seperti ini akan terus berlangsung secara kontinyu, sejauh manusia merasa dia bisa melakukan sesuatu atas kehendak dan jawaban atas kehadirannya. (Penulis watawan senior tinggal di Bogor)