Pilihan Politik Erdogan dalam Mengakomodir Nilai-Nilai Islam

Oleh Dasman Djamaluddin_

Republik Turki adalah sebuah negara besar di kawasan Eropa dan Asia. Wilayahnya terbentang dari Semenanjung Anatoliadi Asia Barat Daya dan daerah Balkan di Eropa Tenggara.

Turki berbatasan dengan Laut Hitam di sebelah utara; Bulgaria di sebelah barat laut; Yunani dan Laut Aegea di sebelah barat; Georgia di timur laut; Armenia, Azerbaijan, dan Iran di sebelah timur; dan Irak dan Suriah di tenggara; dan Laut Mediterania di sebelah selatan. Laut Marmara yang merupakan bagian dari Turki digunakan untuk menandai batas wilayah Eropa dan Asia, sehingga Turki dikenal sebagai negara transkontinental.

Betapa pentingnya peranan Turki dengan melihat batas-batas wilayahnya, tidak mengherankan ketika pemerintah Turki menetapkan Hagia Sophia kembali menjadi masjid, tak lagi berstatus sebagai museum, muncul pro kontra dari masyarakatnya.

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengumumkan salat akan kembali dilakukan di bangunan ikonik itu saat salat Jumat pada 24 Juli 2020.

“Insyaallah, kami akan melakukan salat Jumat bersama-sama pada 24 Juli dan membuka kembali Hagia Sophia untuk beribadah,” kata Erdogan dalam pernyataannya dilansir AFP, Sabtu, 11 Juli 2020.

Meski kembali menjadi masjid, Erdogan memastikan umat non-Muslim tetap bisa berkunjung ke Hagia Sophia.

“Seperti semua masjid kami, pintu Hagia Sophia akan terbuka lebar untuk penduduk lokal dan asing, Muslim dan non-Muslim,” terangnya.

Pengadilan Tinggi Tata Usaha Turki atau Dewan Negara pada Jumat, 10 Juli 2020 telah membatalkan dekrit yang dikeluarkan Presiden pertama Turki, Mustafa Kemal Atatürk, pada 1934. Saat itu, Ataturk menyetujui perubahan fungsi Hagia Sophia dari masjid ke museum.

Erdogan kemudian dengan cepat menyerahkan proses administrasi “Masjid Hagia Sophia” kepada direktorat urusan agama untuk digunakan sebagai tempat ibadah umat Islam.
Warga berkumpul untuk salat malam setelah keputusan pengadilan yang memutuskan museum Hagia Sophia kembali menjadi masjid, di Istanbul, Turki, Jumat, 10 Juli 2020.

Erdogan selanjutnya meminta semua pihak menghormati keputusan pemerintahannya yang mengubah kembali Hagia Sophia menjadi masjid.

“Masalah tujuan apa yang akan digunakan Hagia Sophia adalah masalah hak-hak kedaulatan Turki,” terang Erdogan.

Sementara itu, warga Muslim Turki menyambut gembira kembalinya Hagia Sophia menjadi Masjid. Mereka bahkan mengungkapkan rasa syukur dengan salat berjemaah di depan Hagia Sophia. Warga berkumpul untuk salat malam setelah keputusan pengadilan yang memutuskan museum Hagia Sophia kembali menjadi masjid, di Istanbul, Turki, Jumat, 10 Juli 2020.

Bangunan menakjubkan yang masuk situs warisan dunia UNESCO ini pertama kali dibangun pada abad keenam sebagai katedral Kristen di bawah Kekaisaran Bizantium sebagai pusat dari Konstantinopel.

Setelah penaklukan Ottoman pada 1453, Hagia Sophia diubah menjadi masjid. Kemudian diubah menjadi museum pada masa pemerintahan Mustafa Kemal Ataturk, pendiri sekularisasi Turki modern pada 1930-an.

Selama menjadi museum, Hagia Sophia telah menjadi magnet pariwisata Turki di Istanbul. Sebanyak 3,8 juta wisatawan domestik dan mancanegara mengunjungi Hagia Sophia sepanjang 2019.

Recep Tayyip Erdoğan adalah seorang politikus Turki yang menjabat sebagai Presiden Turki sejak 2014. Sebelumnya, ia menjabat Perdana Menteri Turki sejak 14 Maret 2003 sampai 28 Agustus 2014.

Bangunan Hagia Sophia atau Agia Sofya, sekarang ini awalnya dibangun sebagai sebuah gereja antara tahun 532-537 atas perintah Kaisar Rowami Timur Yustinianus I dan merupakan Gereja Kebijaksanaan Suci ketiga yang dibangun di tanah yang sama, dua bangunan sebelumnya telah hancur karena kerusuhan. Bangunan ini didesain oleh ahli ukur Yunani, Isidore dari Miletus dan Anthemius dari Tralles.

Gereja ini dipersembahkan kepada Kebijaksanaan Tuhan, sang Logos, pribadi kedua dari Trinitas Suci, pesta peringatannya diadakan setiap 25 Desember untuk memperingati kelahiran dari inkarnasi Logos dalam diri Kristus. Walaupun sesekali disebut sebagai Sancta Sophia (seolah dinamai dari Santa Sophia),sophia sebenarnya pelafalan fonetis Latin dari kata Yunani untuk kebijaksanaan.

Pada 1453 M, Konstantinopel ditaklukkanoleh Utsmani di bawah kepemimpinan Sultan Mehmed II, yang kemudian memerintahkan pengubahan gereja utama Kristen Ortodoks menjadi masjid. Dikenal sebagai Hagia Sophia
dalam ejaan Turki, bangunan yang berada dalam keadaan rusak ini memberi kesan kuat pada penguasa Utsmani dan memutuskan untuk mengubahnya menjadi masjid. Berbagai lambang Kristen seperti lonceng, gambar, dan mosaik yang menggambarkan Yesus, Maria, orang-orang suci Kristen, dan para malaikat ditutup dengan kain hitam. Berbagai atribut Keislaman seperti mihrab, minbar, dan empat menara, ditambahkan. Hagia Sophia tetap bertahan sebagai masjid sampai tahun 1931 M. Kemudian bangunan ini ditutup bagi umum oleh pemerintah Republik Turki dan dibuka kembali sebagai museum empat tahun setelahnya pada 1935.

Pada tahun 2014, Hagia Sophia menjadi museum kedua di Turki yang paling banyak dikunjungi, menarik hampir 3,3 juta wisatawan per tahun.

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kementerian Budaya dan Pariwisata Turki, Hagia Sophia merupakan tempat di Turki yang paling menarik perhatian wisatawan pada 2015.

Dari pengubahan awal bangunan ini menjadi masjid sampai pembangunan Masjid Sultan Ahmed (juga dikenal dengan Masjid Biru) pada 1616, Hagia Sophia merupakan masjid utama di Istanbul. Arsitektur Bizantium pada Hagia Sophia
mengilhami banyak masjid Utsmani, seperti Masjid Biru, Masjid Şehzade (Masjid Pangeran), Masjid Süleymaniye, Masjid Rüstem Pasha, dan Masjid Kılıç Ali Pasha.

_Pro Kontra_

Keputusan Presiden Turki Recep Tayyib Erdogan mengubah Hagia Sophia menjadi masjid menimbulkan kontroversi di dalam dan luar negeri. Namun kritik dalam negeri Turki hanya sayup-sayup terdengar.

Keadaan di Turki sendiri kini tengah dilanda masalah ekonomi. Peningkatan pengangguran dan turunnya nilai mata uang Lira jadi masalah yang harus diselesaikan Erdogan. Kondisi ini masih diperparah pandemi Covid-19.

Erdogan mengambil langkah mengubah Hagia Sophia yang pengkritik luar negeri sebut pelarian dari masalah ekonomi. Tetapi ada suara dari oposisi Turki yang malah menentang itu.

“Hagia Sophia adalah warisan dunia, sebuah karya manusia yang luar biasa. Apa perlu memulai debat sekarang? Ketika 97 persen sektor pariwisata beku, hotel tutup dan ratusan ribu orang jadi pengangguran,” kata Wali Kota Istanbul sekaligus anggota partai oposisi Turki, Ekrem Imamoglu dilansir dari “The Washington Post,” Senin, 13 Juli 2020.

Pernyataan itu disampaikan Imamoglu sebulan sebelum Erdogan resmi mengumumkan konversi Hagia Sophia. Untuk saat ini, oposisi Turki belum mengeluarkan pernyataan resmi apapun.

Tapi nampaknya pihak oposisi pragmatis mendukung kebijakan yang bisa mendorong ekonomi lagi.  Asisten professor Brooklyn College, Louis Fishman menyoroti kampanye Erdogan mengembalikan Hagia Sophia menjadi masjid didukung atas dasar nasionalisme. Erdogan bersiasat cantik dengan mengusung narasi kedaulatan Turki atas Hagia Sophia.

“Turki adalah negara di mana agama dan nasionalisme bertemu, jadi banyak gerakan anti-Erdogan malah mendukung prinsip kedaulatan Turki terhadap monumen itu (atas dasar nasionalisme),” ujar Fishman.

Lalu bagaimana suara umat Kristen Turki?. Mereka cenderung lebih memilih diam karena dianggap tak punya kekuatan politik.

Tayyip Erdogan selama ini dianggap sebagai pemimpin Turki yang berani. Sebagai contoh, bagaimana kritikannya kepada Perdana Menteri Israel Shimon Peres waktu itu, tahun 2009.

Presiden Turki Erdogan sedang berada di Davos, Swiss, bulan Januari 2009, ketika berlangsung pertemuan Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum).

Erdogan terlihat sangat berani mengeritik tajam kebijakan Israel di wilayah Palestina. Sudah tentu ini pulalah yang menyebabkan Turki belum juga diterima sebagai anggota Forum Ekonomi Dunia.

Erdogan sangat marah dan berkali-kali mengungkapkan di forum itu kekejaman yang dilakukan tentara Israel membunuh anak-anak Palestina. Kritik tajam Erdorgan membuat moderator dialog itu berusaha mengingatkan Erdorgan, tetapi tetap saja orang kuat di Turki itu meneruskan kecamannya hingga ia selesai berkomentar. Apa yang dilakukan Erdorgan selanjutnya? Ia berdiri dan langsung meninggalkan forum.

Memang di sesi dialog itu tidak kelihatan wakil dari Amerika Serikat yang selama ini mendukung Israel, tetapi yang banyak bersuara menolak Turki masuk jadi anggota adalah Belanda dan Jerman.

Kalau kita kaitkan dengan kudeta militer yang gagal di Turki pada 15-16 Juli 2016 lalu, saya rasa masih berkaitan dengan ucapan Erdogan mengecam keras Israel di Davos itu. Karena bagaimanapun cepat atau lambat, Erdogan harus disingkirkan.

Apakah Erdogan akan terus bertahan dengan dukungan warga Turki Muslim yang merasa terbantu dengan perubahan Hagia Sophia menjadi sebuah masjid? (Penulis Wartawan senior tinggal di Jakarta)

About redaksi

Check Also

Inovasi Ketahanan Pangan Kota Semarang Kembali Raih Penghargaan Tingkat Nasional

Semarang,KORANPELITA com – Inovasi Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang di bidang ketahanan pangan kembali mendapatkan apresiasi …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap selesaikan captcha sekali lagi.

Eksplorasi konten lain dari www.koranpelita.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca