Ini cerita yang sudah lama. Lama sekali tersimpan di laci hati. Saya sampai harus banyak diam, membawa angan jalan mundur 23 tahun ke belakang. Tahun 1997 yang penuh perjuangan.
Tahun 1997, Amerika sedang dipanggang musim panas. Tapi saya senang. Pendadaran sepanjang dua tahun, tuntas. Rasa-rasanya, masih tidak percaya, asale wong Nganjir iso sekolah S2 tekan luar negeri. Saya tak berhenti memuji Illahi. Bersyukur.
Rasa syukur yang saya ucap tanpa sudah, ditingkah ulah manah yang terselip sedih. Sebab, harus buru-buru meninggalkan kota Corvallis. Memang, bukan sedih yang diiringi tangis. Toh, banyak hari di Corvallis yang dihiasi oleh kenangan manis. Kenangan yang akan terus tersimpan rapi di balik bilik ingatan.
Di Corvallis, saya menemukan Rita dan Ted sebagai orangtua. Juga dua putrinya, Summer dan Brittany sebagai saudara. Ada pula teman-teman seperjuangan saat bekerja di McNary Dining Hall atau menjadi loper koran. Atau, teman berburu barang-barang garage sale.
Yakinlah, sama seperti saya, ingatan teman-teman akan mampir ke rambut masing-masing. Rambut yang dibarkan panjang. Bukan senjaga, apalagi karena ingin mengikuti tatanan rambut masa itu. Bukan. Bagi saya, alasannya, karena agak owel alias malas mengeluarkan dua kali lipat gaji pencuci piring yang hanya $7 per jam.
BACA JUGA: NKS Menulis Corvallis-1: Tirakat hingga Amerika Serikat
Sesekali, karena mulai tidak nyaman dengan rambut panjang, saya meminta istri untuk jadi tukang cukur. Maunya, biar terlihat sedikit lebih ganteng menawan. Namun apa daya. Benar kata orang bahwa kita perlu menyerahkan pekerjaan kepada ahlinya. Hanya karena ingin ngirit, hati terhimpit perasaan: mau marah takut istri tersinggung, tidak marah, malu dengan potongan rambut yang enggak tahu gaya apa.
Apa boleh buat. Selama satu bulan penuh, saya harus selalu menutupi kepala dengan topi. Sekalipun kuliah, topi tetap terpasang agar dosen dan teman-teman tak tahu kalau potongan rambut saya belang-belang. Sejak itu saya tak lagi meminta istri untuk memangkas rambut dan memilih berambut sedikit panjang awut-awutan.
Ingatan yang terasa memorabilia dari Corvallis adalah saat teman-teman yang begitu baik ikut melepas saya dan anak-istri. Benar. Seperti tak tega, mereka mengantar jauh sampai batas kota.
Kami memang tak langsung pulang kampung. Tapi menuju tempat persinggahan baru. Kota eksotis bernama Montreal, Kanada. Jauh dari Corvallis, menyeberang negara ke sebelah utara bagian timur Kanada.
Dari Corvallis, saya diantar banyak rombongan mendekati perbatasan antara USA dan Kanada di bagian barat. Istri menghubungi rekan kerja saat di IPTN yang suaminya bekerja di Boeing. Intinya ingin mampir ke rumahnya.
Sayangnya keluarga Mas Toni dan Mbak Wawung sedang liburan dan kembali ke tanah air. Walau begitu, keluarga baik ini justru menawarkan untuk menggunakan rumahnya sebagai tempat singgah sementara sebelum meneruskan perjalanan ke Vancouver yang selanjutnya ke Montreal menggunakan pesawat.
Tawaran Mbak Wawung diterima dengan bahagia. Layaknya pucuk dicinta ulam pun tiba. Tiga keluarga malah ikut mengantarkan saya hingga Seattle: Mas Dwi Larso, Bang Ado, dan Bang Berni.
BACA JUGA: NKS Menulis Corvallis-2: Nganjir, Mimpi Pertama di Amerika
Di hari yang telah direncanakan, dengan konvoi tiga mobil sampailah saya di Seattle. Tidak langsung ke rumah Mbak Wawung, namun menghampiri beberapa lokasi wajib dikunjungi. Tak cukup sehari untuk menikmati destinasi ini: The Museum of Flight, Space Needle icon kebanggaan Kota Seattle, Pike Place Market yang menawarkan makanan lezat, dan Kerry Park.
Saat berkunjung ke The Museum of Flight, saya dan rombongan melihat Museum Penerbangan yang sangat luas ini untuk melihat sejarah penerbangan. Saking luasnya, tak bisa hanya sebentar mengelilinginya. Apalagi bayi Vallisa antusias seolah saat besar nanti akan banyak numpak montor mabur dalam bekerja atau berwisata. Ia mencoba menaiki pesawat yang digunakan presiden Amerika Serikat. Juga menaiki pesawat seolah ia yang menerbangkannya.
Sejarah penerbangan dipertontonkan dari saat percobaan Wright bersaudara bereksperimen terbang dengan meniru burung dengan sayap. Sampai kisah penjelajahan angkasa. Semua cerita itu ada di sana.
Museum penerbangan ini berada di Boeing Field, di utara Bandara Internasional Sea-Tac. Karena di lokasi Boeing, guide museum menjelaskan bahwa dirinya dan banyak orang Amerika merasa malas untuk bepergian jika tidak dengan pesawat buatan Boeing. Untuk hal ini, sampai ada ungkapan: “If it is not Boing, I am not going.”
Kami pun mengunjungi lokasi yang eksotik. Sebuah wilayah tempat orang-orang memandang takjub kota Seattle dari sebuah ketinggian. Pilihannya adalah naik ke sebuah menara di Space Needle. Menara ini memiliki ketinggian 184 meter. Tentu harus rela antre yang tidak sebentar untuk gentian memakai lift.
Lokasi lain untuk menikmati kota Seattle dari kejauhan adalah dari Kerry Park. Letaknya di sebuah bukit yang dapat memandang dengan lapang kota Seattle termasuk Space Needle.
BACA: NKS Menulis Corvallis-3: Tiga Hari Bersama Host Family
Usai menikmati indahnya Seattle, saya dan rombongan menuju rumah Mas Toni dan Mbak Wawung yang kuncinya diletakkan di sebuah tempat rahasia. Dan, kami sangat menikmati rumah besar itu. Di halaman belakang ada lapangan basket kecil yang langsung menggoda saya untuk ikut tanding dua lawan dua, walau saya sadar, tidak pernah benar-benar bisa main basket.
Di hari ketiga di Seattle, saya dan anak-istri harus pergi. Menaiki bus dengan banyak bawaan persis seperti saat pulang kampung di hari-hari mudik. Saya meninggalkan Seattle menuju Vancouver, sebuah kota di Provinsi British Columbia, Kanada.
Di perbatasan negara antara USA dan Kanada, kami mesti menyiapkan semua berkas keimigrasian saat dicek di atas bus.
Sesampai di bandara Vancouver, kami check in untuk menuju wilayah timur Kanada, Montreal. Memperhatikan pengumuman penerbangan, saya mendengar dua bahasa digunakan. Bahasa pertama yang digunakan di bandara ini saya masih mengenali dengan baik. Ya, bahasa Inggris. Lalu disusul bahasa yang saya tak begitu paham yang diawali biasanya dengan kata “bonjour”.
BACA: NKS Menulis Corvallis-4: Selimut Rindu Warna Biru
Perjalanan tidak langsung ke tujuan. Terlampau jauh untuk ditempuh, jadi kami mesti transit di Calgary, Provinsi Alberta, Kanada. Sebenarnya Calgary masih termasuk Kanada bagian barat, namun karena kemungkinan pertimbangan jumlah penumpang, pesawat yang saya tumpangi transit di kota ini. Sayangnya hanya transit di kala malam tiba, sehingga tidak bisa melihat indahnya Rocky Mountain yang terkenal itu.
Perjalanan dilanjutkan menuju Montreal, sebuah kota yang cukup besar di provinsi Quebec. Saya dan keluarga kecil akan merenda cerita yang berbeda dalam tiga bulan ke depan. Tiga bulan yang pasti menyenangkan karena masih hangat, karena akan melihat dedaunan berubah warna.
Kedatangan saya ke kota itu, memang bukan sekadar singgah, karena ada kesempatan magang. Atau bahasa kerennya on the job training di sebuah perusahaan konsultan Sobesco Ernst & Young.
Tentu bukan kebetulan, mengingat tahun itu Pemerintah Kanada memberi bantuan untuk meningkatkan kualitas pengawasan dan penguatan industri jasa keuangan non-bank khususnya asuransi dan dana pensiun kepada pemerintah Indonesia. Banyak regulasi dan sistem pengawasan yang diterapkan di Kanada diterapkan di Indonesia dengan sejumlah penyesuaian.
Pak Yves Guerard muda dari Sobesco E&Y sangat menyokong penempatan pegawai Kementerian Keuangan untuk belajar menerapkan ilmu yang didapat dari bangku kuliah. Hingga saat ini Pak Yves sangat perhatian dengan perkembangan ilmu aktuaria di Indonesia. Ia pun rela belajar Bahasa Indonesia hingga mahir walau saya tetap kebingungan menangkap maknanya karena aksen Perancis yang sangat kental.
Saya tidak sendirian on the job training di Sobesco E&Y. Ada dua sahabat saya yang sama-sama belajar aktuaria di Amerika Serikat, yang persiapan bahasa inggris juga bersama-sama. Hanya saja Yusman dan Nani Patria telah lebih dahulu di sana. Saat saya tiba di Montreal, mereka sudah bersiap untuk pulang ke Jakarta. Meski begitu, saya masih sempat bertemu sebelum mereka benar-benar mengangkat koper.
Bahkan untuk urusan sewa apartemen selama tiga bulan, Yusman dan Nani membantu saya untuk mendapatkannya. Saya tak lagi ingat nama apartemen itu. Tapi seandainya diberi waktu untuk kembali mengunjungi, rasanya saya bisa dengan mudah menemukannya.
Layaknya seorang senior kepada yuniornya, Yusman dan Nani menunjukan beberapa tempat penting yang mesti dikunjungi selagi di Montreal. Sayangnya tak banyak waktu, sehingga tak banyak tempat diperkenalkan.
Saya hanya bertemu dengan mereka sehari saja sebelum mereka pergi. Pulang ke Indonesia. Sejak itu, saya mesti sendiri meski tak benar-benar sendiri, karena ada anak dan istri.
Lalu, Senin pertama bulan Agustus 1997, datang. Mulailah saya bertemu dengan orang-orang pintar di bidang aktuaria. Saat mereka bicara, saya tak paham sama sekali. Mungkin mereka saking pintarnya. Atau jangan-jangan karena berbeda bahasa. Yang saya tahu hanya kata di awal saja. Mereka selalu mengatakan, “Bonjour.” (bersambung)
Nami Kulo Sumarjono. Salam NKS