Saya berdebar. Karena akhirnya, cah Nganjir munggah kaji. Keberangkatan ke tanah suci, saya siapkan betul, termasuk fisik yang menjadi penopang utama ibadah ini. Setiap hari, sebelum benar-benar berangkat, saya ajak istri lari pagi. Atau sekadar jalan kaki di Kampus UI.
Mendekat berangkat, saya makin giat bersiap. Hanya satu yang tidak saya lakukan. Membuat walimatus safar atau perjamuan (bisa juga disebut pesta) yang diadakan untuk melepas calon jamaah haji. Nanti, sepulang haji, tradisi ini Kembali dilakukan.
Tentu bukan saya tidak setuju dengan tradisi baik itu. Ini lebih lantaran saya tak ingin diketahui banyak orang. Kesiapan mental menyandang gelar haji rasanya belum juga kuat. Maklum, ilmu agama masih tak seberapa. Alasan lainnya adalah saya dan istri tak ingin merepotkan rekan kerja, sahabat, tetangga dan famili untuk datang.
Tradisi itu oleh saya dan istri diganti dengan mendatangi satu per satu tetangga kanan kiri berjumlah tak lebih 70 rumah untuk mohon doa restu kelancaran ibadah haji. Satu kotak berisi nasi beserta lauk pauk menyertai sebagai sedikit berbagi kebahagiaan kami. Sementara kepada rekan kantor, jauh hari saya meminta ijin kepada atasan, namun dalam memberitahu kepada rekan dan bawahan hanya beberapa hari sebelum keberangkatan.
Sebelum berangkat, saya mintai tolong ipar saya untuk datang mengurusi anak-anak, terutama si bungsu yang masih susah bangun pagi dan berangkat sekolah. Belum lagi urusan makan yang biasanya didahului dengan perdebatan akibat saking susahnya disuruh makan.
BACA JUGA: NKS Munggah Kaji-1: Saat Niat Menguat…
Sehari sebelum meninggalkan tanah air, kami menginap di asrama haji di Bekasi. Kami sudah dibagi kelompok yang terdiri dari lima keluarga. Bagusnya pengelompokan ini didasarkan berbagai pertimbangan dari pendidikan, usia, dan lain sebagainya. Pertimbangan itu untuk memperlancar komunikasi dan silaturahmi serta untuk mengurangi konflik.
Dan, saya ternyata berada di usia tertua kedua di kelompok lima sekawan ini. Lima keluarga bahagia itu saya coba urutkan dari pasangan calon haji-hajjah yang paling muda: Dodik-Novi, Hakim-Ani, Heri-Weni, Jono-Fia, dan Widi-Ayi.
Usianya paling muda adalah 25 tahun, keluarga muda yang baru memiliki bayi setahun. Sementara usia tertua 43 tahun. Oleh pimpinan rombongan, Pak Heri ditetapkan sebagai ketua regu yang terus berkoordinasi kepada pimpinan rombongan dan memastikan anggota regunya aman.
Tanggal 21 November 2008. Itulah tanggal bersejarah, saat saya dan istri meninggalkan Indonesia. Kami masuk Kloter 54, yang merupakan kloter-kloter akhir pemberangkatan haji. Kloter ini mengarah langsung ke Mekkah menggunakan pesawat Saudi Air. Berbeda dengan kloter-kloter awal yang ibadah di Madinah terlebih dahulu.
Saya berdoa. Doa bepergian disambung pelafalan kalimat talbiyah. Saat itu, saya bayangkan, di langit malam terdengar kalimat talbiyah: “Labbaik Allahumma Labbaik, labbaika la syarika laka labbaik inna al hamda wa an ni’mata laka wa al mulk la syarika laka”.
Senang, haru, menyaru menjadi satu. Lalu satu per satu jamaah tertidur. Hari memang sudah cukup malam. Semoga saat bangun nanti bisa segar kembali.
Saat memasuki miqat, kami dibangunkan dan diingatkan oleh pilot bahwa saatnya untuk mengenakan pakaian ihram dan berniat untuk haji yang diawali dengan rangkaian ibadah umrah terlebih dahulu.
Inilah yang saya maksud ibadah haji mengandung tatanan simbolik. Kita diwajibkan mengenakan pakaian Ihram, mengandung makna melepaskan dan membebaskan diri dari simbol-simbol dan lambang material, melupakan dan mengosongkan diri dari mentalitas keduniawiaan, menjauhkan diri dari nafsu serakah dan kesombongan.
Kain ihram untuk laki-laku terdiri dari dua lembar kain tanpa jahitan yang dipakai untuk menutup aurat sebagian atas dan seluruh bagian bawah. Sementara, kain ihram untuk perempuan harus menutup semua badan kecuali wajah dan telapak tangan. Sunnahnya kain ihram berwarna putih.
Nah yang penting diingat bahwa saat menggunakan pakaian ihram, calon jemaah harus menghindari beberapa perbuatan, seperti bersetubuh, berkata kasar, membunuh hewan, hingga memotong rambut. Ini dilakukan untuk tetap menjaga kesucian selama melakukan ibadah haji atau umrah.
Setelah melewati imigrasi dan mengambil bagasi, selanjutnya saya dan rombongan menuju ke penginapan dengan menggunakan bus. Penginapan berjarak cukup lumayan jauh pada tahun itu sekitar 8 km.
BACA JUGA: NKS Munggah Kaji-2: Labbaik Allahumma Labbaik…
Penginapan itu berada di wilayah Nuzhah. Namun alhamdulillah dekat dengan terminal bus yang mengangkut jamaah ke Masjidil Haram pulang pergi. Pimpinan rombongan meminta kita untuk istirahat sejenak dengan tetap menghindari hal-hal yang dilarang saat mengenakan pakaian ihram.
Di penginapan, satu kamar diisi berlima: saya, Pak Heri, Pak Widi, Pak Hakim dan Pak Dodik. Sementara para istri berlima berada di kamar lain, namun kebetulan di satu lantai. Kondisi in tentu jangan dibandingkan dengan mengambil haji plus.
Kami tidak tinggal di hotel namun seperti wisma yang disewakan saat musim haji tiba. Di bagian paling atas di atap wisma, terdapat tempat yang lapang yang diperuntukkan menjemur pakaian. Saya baru memahami alasan diminta oleh pimpinan rombongan untuk membawa tali yang ternyata manfaatnya adalah untuk menjemur pakaian.
Di kamar kami saling menceritakan tentang diri dan cerita tentang menguatnya niat naik haji. Sebagai keluarga muda, yang harus mereka rela tinggalkan adalah anak yang sedang lucu-lucunya. Tapi kami berlima sepakat sesungguhnya di kala kita kuat, di saat kita sehat, dan itu biasanya saat kita muda, menjalankan ibadah haji lebih terasa mudah dan nikmat.
Itulah cerita hari pertama bersama mereka. Saya bahagia bertemu dengan anak-anak muda penuh semangat menjalankan rukun Islam. Dan, bersama mereka untuk 40 hari ke depan, rasanya saya tak akan ada rasa bosan.
Setelah istirahat dirasa cukup, kami menaiki bus untuk menuju Masjidil Haram. Ada degup kencang di dada seperti saat akan bertemu kekasih hati yang dirindu setengah mati. Ini adalah pertama kali kaki saya akan melangkah menuju Masjidil Haram. Akhirnya sampai juga.
Oleh pembimbing, kami diajak orientasi sebelum nanti kita melaksanakan ibadah karena saking besarnya masjid yang menampung jutaan umat ini. Saat itu pembangunan masjid masih berjalan. Kami diarahkan untuk ke lantai dua.
Terlihat Ka’bah. Hati saya sudah mulai bergetaran. Ndredeg sekaligus tratapan. Begitu saja, airmata mengalir dari sumur hati melewati dua mata yang sembab. Entah oleh getaran apa, tapi saya hanya bisa merintih perih di depan Ka’bah. Menangisi diri sendiri yang rasa-rasanya, belum mampu menjadi umat yang baik.
Tangisan juga terasa akibat haru yang mendayu-dayu. Haru yang beribu-ribu itu datang, karena saya yang hanya cah Nganjir, dengan bekal ilmu agama yang serba terbatas, tapi diundang datang, bersujud di tanah paling suci.
Tangisan semakin menyesakkan dada, karana bayangan masa lalu terlintas. Bapak Simbok, orangtua yang dengan kasih sayangnya membesarkan saya dan enam anak lainnya. Sungguh sebuah sabar yang tak tertakar.
Saya teringat dosa-dosa dan kesalahan saya saat tidak mematuhi petuah orangtua untuk mengaji dan sholat tepat waktu. Sementara saya pun masih pelit untuk berbakti. Bayangan bapak ibu mertua pun muncul. Mereka diberi cobaan sakit yang tidak ringan. Sebagai anak, saya belum mampu merawatnya dengan ikhlas dan penuh kesabaran.
Inilah pengakuan polos dan jujur saya sebagai hamba. Belum lagi melihat orang thawaf, mengitari Ka’bah, yang memberi pemandangan menakjubkan, membuat merinding, menjerat hati untuk semakin tertunduk.
Kami sholat ashar dengan masih dengan pakaian ihram. Sholat pertama pertama kalinya di Masjidil Haram. Oleh pembimbing haji, kami diminta mengisi waktu untuk mengaji dan ditunjukkan tempat-tempat penting yang nantinya rangkaian ibadah akan dilaksanakan. Rangkaian ibadah selanjutnya dipilih di malam hari dan tentu kami mesti tetap menjaga agar tidak melanggar larangan berihram.
Pemilihan melanjutkan rangkaian ibadah di malam hari, sejatinya sangat masuk akal. Walau sebenarnya saya sudah tidak sabar untuk segera menunaikannya. Rombongan jamaah yang berjumlah kurang lebih 165 yang terbagi dalam 4 rombongan kecil tidak sedikit yang sudah berusia senja.
Di siang hari udara sangat panas dan jutaan manusia datang bergelombang kebanyakan melaksanakan rangkaian ibadah di siang hari. Walau malam juga tak pernah sepi, minimal panas matahari tak membuat lelah yang berlebih. (bersambung)
Nami Kulo Sumarjono. Salam NKS