Jujur. Saya harus jujur, termasuk jujur pada diri sendiri bahwa ini berat. Sangat berat. Saya bahkan butuh jeda yang sangat lama, untuk benar-benar berani menuliskan soal ini. Munggah kaji.
Pada NKS seri pertama, memang belum dituliskan. Atau lebih tepatnya, tidak berani dituliskan. Jadi, jeda yang saya butuhkan, dua tahun, sejak NKS satu terbit pada 11 September 2018.
Barangkali benar kata mas irwan, yang membantu menulis buku NKS pertama bahwa munggah kaji bukan sekadar naik haji. Jadi pada NKS pertama, sengaja tidak dituliskan, agar saya bisa menulis sendiri. Ada dua tema yang oleh mas irwan sengaja diserahkan pada saya penulisannya: sekolah di Amerika dan munggah kaji.
Dua tema itu, menurut mas irwan, membutuhkan sentuhan personal. Ada sisi kontemplasi yang tidak bisa dituliskan dengan baik selain oleh diri sendiri. Tugas pertama, menulis hari-hari manis di Corvallis, hampir sudah selesai.
Memang perlu persiapan mental untuk menulis Corvallis, sebab itulah pengalaman pertama saya naik pesawat, pengalaman pertama ke luar negeri, pengalaman pertama yang melankoli karena ingat Nganjir, kampung saya di Kulon Progo.
Saya menangis karena atase cah Nganjir kok bisa sekolah sampai ke pelosok Amerika. Sesuatu yang di masa lalu, saat masih di Nganjir, sama sekali tidak berani saya bayangkan. Takut menjadi cah cebol nggayuh lintang, si pungguk merindukan bulan.
BACA JUGA NKS Menulis Lebaran: Manakala Corona Mengubah Cara Bersilaturahmi
Tentu tidak semua bisa dibaca, karena ada titik-titik tak baik diusik, yang biarkanlah tetap tersimpan di laci hati, sebagai kenangan yang amat pribadi. He..he..he…
Baik. Saya harus menarik nafas dalam-dalam, sebelum melanjutkan cerita ini. Mengapa? Karena beban kedua jauh lebih menindih. Beban menuliskan perjalanan munggah kaji. Jika soal Corvallis sudah menguras tangis, munggah kaji jauh lebih dramatis. Bukan hanya tangisan yang akhirnya menemani hari-hari di tanah suci, tapi sekaligus penyerahan diri tanpa tendensi. Wes mbuh, mongso borong kersaning Gusti.
Memang benar, nulis bab munggah kaji, terasa tidak biasa. Saya hampir menyerah menulisnya. Suasana hati yang saya rasakan nyaris dwi windu itu, seperti selalu menemani, sampai kini. Saat itu, saya merasa dibawa ke sebuah lembah tak terjamah. Saya dipaksa meraba hati, menyapa sepi, seorang diri, menepi dari duniawi.
Tapi yang terang, munggah kaji bisa dipahami sebagai keberkahan. Keberkahan yang rasa-rasanya, menghampiri saya secara massif, sejak niat menguat.
Saya akan cerita agak mundur agak jauh ke belakang sebagai sebuah latar. Tahun itu, tahun panas 1999. Tiba-tiba saja, istri memutuskan untuk mengambil golden shakehand dan keluar dari perusahaan BUMN bidang pembuatan pesawat terbang di Bandung.
Awalnya saya agak bingung. Tapi ia bilang, rejeki kami habis-habis juga walau dia dan saya sama-sama bekerja. Saya tersenyum dan membatin, mendengar alasan itu, semoga bukan karena kecewa karena batal beasiswa sekolah S2 ke luar negeri.
BACA NKS Menulis Empat Tahun Menjabat-5: Mari Meniti Lantai demi Lantai
Keputusan besar sudah diambil, sambil menghitung pesangon yang lumayan juga, meski jangan dibayangkan ratusan juta. Tapi cukup menambah tabungan untuk membeli sebuah rumah sederhana.
Jika saya menyebutnya rumah sederhana, ya memang sesederhana itu kemampuan kami membeli rumah. Rumah kampung tak jauh dari Ciliwung. Tepatnya di Kampung Mangga, Jalan STM Mandiri Depok. Saat itu sekitar bulan Agustus 1999.
Walaupun lega punya rumah sendiri, tapi setiap kali berdiri di sisi Ciliwung, selalu ada sembilu menyapu perasaan. Sebab, saat melempar pandangan ke sisi seberang sungai, ada perbedaan strata yang nyata.
Rumah sederhana, yang saya beli dengan tabungan dan pesangon istri, terasa semakin bersahaja dibandingkan dengan rumah-rumah mewah di seberang sungai. Jarak perbedaannya bagai langit dan bumi.
Beberapa kali, di awal-awal menempati rumah itu, saya masih sering berdiri di bibir Ciliwung. Tapi lama-lama mulai ngenes. Karena saat saya menghadap ke arah timur, dari depan rumah, saya hanya bisa memandangi perumahan elit bernama Pesona Khayangan.
Sering, saya geleng-geleng kepala sendiri. Ciliwung di beranda rumah, telah membelah status sosial saya dengan orang-orang kaya di seberang sungai. Jika sudah seperti itu, saya menarik nafas, untuk kemudian mencari penghibur bahwa suatu saat bisa pindah ke seberang Ciliwung.
Tapi sebelum bisa pindah, kepada anak-istri, saya menyebut rumah kami yang sederhana itu sebagai rumah Pesona Khayalan. Nama yang terasa utopia, tapi bukan tidak mungkin kelak saya bisa benar-benar memiliki rumah di Pesona Khayangan.
BACA JUGA NKS Menulis Corvallis-4: Selimut Rindu Warna Biru
Tinggal di Pesona Khayalan, di dekat Pesona Khayangan, ternyata tetap bahagia. Benar juga kata istri, rejeki saat berkumpul setelah ia mengundurkan diri, terus bertambah. Saya bisa membeli sepeda motor di tahun berikutnya, tahun 2000.
Di tahun itu juga, setelah menempati rumah Pesona Khayalan lebih dari satu tahun, saya diberi rejeki lain. Putri kedua. Saya ingat betul, waktu itu, sepuluh hari pertama bulan Ramadhan.
Dengan motor yang belum lama bisa saya beli, saya mengantar istri yang sedang kesakitan menjelang persalinan. Saya meminta untuk bertahan jangan sampai lahiran di jalanan. Agak repot juga, karena saya tak boleh ngebut namun juga tak boleh pelan.
Sampai di rumah sakit, bayi kami seperti sudah tak sabar untuk melihat kehidupan. Tapi masih harus menunggu, karena dokter belum siap. Benar. Begitu dokter sampai di rumah sakit, lahirlah putri kedua kami. Saya beri nama Sekar Wulan Ramadhani. Bunga yang lahir di Bulan Suci Ramadhan.
Sejak itu, dua puteri menghiasi rumah kami. Saya tidak berusaha mengingat-ingat jarak sosial dengan orang-orang di seberang sungai, toh hidup saya sudah lebih dari cukup. Cukup Bahagia, karena semakin lengkap setelah Sekar lahir.
Meski kecil-kecilan, kami sering shopping. Tidak jauh-jauh karena andalan saya hanya sepeda motor. Anak yang besar duduk di depan, sementara ibunya menggendong bayi Sekar duduk di belakang.
BACA NKS Menulis Kulon Progo: Nge-pit Membelah Bukit Menoreh
Tempat shopping yang juga andalan adalah Ramayana Depok, Depok Mall, Hero atau Superindo. Ya memang ke tempat-tempat itulah, kantong saya masih bisa berkompromi, selain mall yang lebih besar belum ada di Depok.
Sesekali, dengan atraksi yang sama (saya pegang stang motor, anak pertama duduk di depan saya, istri gendong bayi) kami menikmati pagi di Universitas Indonesia. Sekaligus mengenalkan kedua puteri kami pada kampus kebanggaan bangsa itu, siapa tahu ingin kuliah di sana, suatu hari nanti.
Rutinitas seperti itu, sudah memberi kami bahagia. Terbukti, kedua putri kami bisa tumbuh dengan baik, sehat, dan (Alhamdulillah) pinter-pinter.
Tapi karena anak-anak sudah besar, sepeda motor makin hari, makin tak lagi muat menampung kami berempat. Alhamduilillah (lagi) Tuhan Yang Maha Penyayang, lagi-lagi memberi jalan.
Tahun 2002 saya promosi, meningkat dari staf menjadi pejabat. Di satu sisi, ini adalah berita gembira namun di sisi lain bertambah tanggungjawab. Tentu saya selalu meminta doa dari orang terdekat serta orangtua dengan harap dapat menjalankannya.
Dan, setelah bersabar beberapa waktu lamanya, saya melongok tabungan, sepertinya sudah cukup untuk mendapatkan kendaraan beroda empat.
Jelas bukan cukup untuk membeli mobil baru, tapi sudah membuat haru. Mungkin tidak bisa membayar secara lunas, namun sudah membuat hati puas. Memang ada rasa sedih di kala dibawa pulang mudik, mobil itu beberapa kali mesti berhenti. Mogok.
Punya mobil yang sering mogok, bukan halangan untuk bahagia. Apalagi bisa membuat orangtua di Nganjir ikut bahagia. Hidup saya rasanya, memang sudah genap. Rumah sudah saya miliki walau di komplek perumahan yang saya namai perumahan pesona khayalan. Saya dan istri juga dianugerahi dua putri yang sehat. Kendaraan pun ada.
Lalu, tanpa dinyana istri yang baru kembali dari mengaji tiba-tiba menanyai. Pertanyaan yang sangat menusuk hati.
BACA NKS Menulis: Pijat Refleksi demi Refleksi Awal Tahun
“Apakah dengan semua yang telah kita miliki ini kita sudah dikategorikan mampu untuk menunaikan ibadah haji?” Saya masih agak tidak percaya dengan pertanyaan itu. Tapi begitulah kata istri yang mungkin dapat ilmu hasil dari ngaji. Atau jangan-jangan teringat anaknya saat TK yang mengikuti manasik haji.
Saya jadi teringat kata Bu Yatty atasan saya di Kementerian Keuangan. Prinsip hidupnya patut diteladani. Beliau mengatakan bahwa tak ingin memiliki mobil sendiri jika belum menunaikan ibadah haji. Ukuran mampu menurut beliau untuk ibadah haji adalah kemampuan memiliki kendaraan yang memang harganya cukup untuk membayar ONH alias ongkos naik haji.
Soal haji, saya juga mendapat pelajaran sangat penting, di masa-masa pendadaran di Bandung. Saat itu, saya tinggal di rumah Mas Kasam dan Mbak Kemie, kakak sepupu saya yang sudah sukses jadi pengusaha.
Mereka adalah pengusaha yang meniti dari sangat bawah hingga menjadi pengusaha papan atas. Saat saya tanya kapan beliau dan keluarganya berwisata ke luar negeri layaknya orang-orang terpandang yang bertandang ke Singapura, Korea, Eropa, atau Jepang. Jawaban beliau membuat saya tercengang. Menurut beliau luar negeri yang pertama kali harus di kunjungi adalah Arab Saudi menunaikan ibadah munggah haji.
Dan benar, beliau bersama keluarga besar naik haji yang selanjutnya mengirim dan membiayai para karyawan teladannya naik haji setiap tahunnya. Baru setelah itu, berwisata ke negara-negara yang wajib dikunjungi dengan tetap memilih tujuan wisata dalam negeri yang lebih banyak.
Dua teladan itu, seperti nyambung dengan pertanyaan istri soal naik haji. Tapi dasar, pengetahuan agama saya yang masih minim, membuat saya tidak serta merta menjawab pertanyaan istri yang pada intinya mengajak merencanakan munggah haji. Apalagi jika melihat catatan di buku tabungan, mungkin baru cukup untuk berangkat haji, tapi belum cukup untuk pulang haji.
Benar bahwa ongkos haji tidak harus langsung dilunasi. Saya tahu maksud istri agar dapat diniatkan mendaftarkan diri dan jika mendapat rejeki barulah dilunasi.
BACA JUGA NKS Menulis Hari Pahlawan: Aku Pahlawan Masa Kini
Saat diskusi masalah haji dengan istri, saya merasa belum saatnya dan saya merasa masih terlalu muda. Umur saya waktu itu masih di bawah 40 tahun. Apalagi saya belum benar ibadahnya, belum cukup ilmunya, dan yang jelas adalah belum merasa siap. Sekalipun hanya untuk meniatkan diri dengan membuka tabungan haji tanpa tahu kapan bisa melunasi.
Saya memang sudah niat. Paling tidak, setiap kali ada kolega berangkat haji, saya mohon nama saya dipanggil di depan Ka’bah. Itu, kabarnya, semakin meringankan langkah menuju tanah suci.
Akhirnya, saat niat menguat, tahun 2004 saya sepakat saat istri mengajak ke salah satu bank pemerintah untuk membuka tabungan haji. Antrean belum selama yang sekarang. Tabungan dengan setoran minimal saja yang saya mampu. Minimal sudah ada niat kuat.(bersambung)
Nami Kulo Sumarjono. Salam NKS