Terletak di Desa Banjaroyo, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta, Sendangsono adalah tempat ziarah Goa Maria yang dikelola oleh Paroki St. Maria Lourdes di Promasan, barat laut Yogyakarta.
Yogyakarta, Koranpelita.com
Terletak di Desa Banjaroyo, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta, Sendangsono adalah tempat ziarah Goa Maria yang dikelola oleh Paroki St. Maria Lourdes di Promasan, barat laut Yogyakarta.
Sendangsono dapat ditempuh dalam waktu sekitar 15 menit dari jalan raya Wates dengan melewati jalan yang relatif sempit kecil menuju ke arah barat. Meski relatif sempit dan berliku, namun jalan tersebut bisa dibilang mulus itu bisa dilewati mobil dengan cukup leluasa.
Memasuki komplek ziarah yang luasnya hampir satu hektar ini, peziarah akan melewati jalan salib besar yang dimulai dari gereja yang ada di bagian bawah kompleks Sendangsono. Rute jalan salib kurang lebih berjarak satu kilometer hingga ke pemberhentian terakhir di atas Sendang.
Selain sebagai tempat yang ramai dikunjungi peziarah dari seluruh Indonesia khususnya pada bulan Maria yakni Mei dan bulan Oktober, tempat ini juga digunakan para peziarah untuk mengambil air yang bersumber dari sendang dipercaya berkhasiat menyembuhkan penyakit.
Awalnya, menurut sejumlah sumber, Sendangsono merupakan tempat pemberhentian atau peristirahat sejenak para pejalan kaki dari Kecamatan Borobudur Magelang ke Kecamatan Boro (Kulon Progo) atau sebaliknya. Konon, tempat itu banyak dikunjungi karena keberadaan sendang atau mata air yang muncul di antara dua pohon sono.
Kesejukan dan kenyamanan tempat itu ternyata juga dimanfaatkan untuk bertapa oleh sejumlah rohaniawan Buddha dalam rangka mensucikan dan menyepikan diri.
Nilai spiritualistik muncul dan menguat seiring dengan adanya kepercayaan yang didasarkan pada suatu legenda bahwa tempat itu juga dihuni Dewi Lantamsari dan putra tunggalnya, Den Baguse Samija.
Dari situ bisa dilihat bahwa sebenarnya nilai rohani Sendangsono sudah terbangun bahkan sebelum Gereja Katolik berkarya di tempat itu.
Keberadaan Sendangsono tak luput dari peran Romo Van Lith SJ, rohaniawan Belanda yang lama tinggal di Pulau Jawa. Hal itu juga menandakan bahwa Sendangsono tidak bisa dilepaskan dari lingkaran sejarah Gereja Katolik di Pulau Jawa mengingat Romo Van Lith sendiri merupakan salah satu rohaniwan yang menyebarkan ajaran Katolik di Pulau Jawa.
Sejarah Sendangsono
Pada 14 Desember 1904 silam Romo Van Lith membaptis 171 warga setempat dengan air dari kedua pohon sono, termasuk Bapak Barnabas sebagai katekumen pertama.
Dua puluh lima tahun kemudian tepatnya 8 Desember 1929 Sendangsono dinyatakan resmi menjadi tempat penziarahan oleh Romo J.B. Prennthaler SJ.
Patung Bunda Maria di Sendangsono dipersembahkan oleh Ratu Spanyol yang begitu susahnya diangkat beramai-ramai naik dari bawah Desa Sentolo oleh umat Kalibawang.
Pada 1945 Pemuda Katolik Indonesia berkesempatan berziarah ke Lourdes, dari sana mereka membawa batu tempat penampakan Bunda Maria untuk ditanamkan di bawah kaki Bunda Maria Sendangsono sebagai reliqui sehingga Sendangsono disebut Gua Maria Lourdes Sendang Sono.
Dibangun secara bertahap sejak tahun 1974, hanya dengan mengandalkan sumbangan umat. Budayawan dan rohaniawan, YB Mangunwijaya yang memberi sentuhan arsitektur. Konsep pembangunan kompleks Sendangsono ini bernuansa Jawa, ramah lingkungan. Bahan bangunannya memanfaatkan hasil alam.
Tahun 1991, kompleks bangunan Sendangsono mendapat penghargaan arsitektur terbaik dari ikatan arsitek Indonesia, untuk kategori kelompok bangunan khusus.
Pada 17 Oktober 2004 dengan diadakan suatu prosesi dan misa ekaristi kudus pada jam 10.00 oleh Mgr. Ign. Suharyo Pr. untuk memperingati 100 tahun Sendangsono. (esa)